Desentralisasi IKPB Melalui Penambahan Pasal Komisariat
Oleh : Anugrah Agung Setiawan
Ikatan keluarga
Pelajar Belitong (IKPB) dalam pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) ke XV yang diselenggarakan di Gedung SKB
Kabupaten Belitung pada 27-29 Januari 2018 silam. Semakin memperkuat dan mempertegas AD/ART,
hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahir pasal-pasal baru penambahan ayat
disana-sini sebagai penguat dari apa yang sudah ada sebelumnya. Ketimbang
menghapus peserta MUNAS ke XV memang lebih banyak melakukan revisi-revisi
berupa penguatan dan penegasan terhadap beberapa point, ayat, pasal dan Bab
yang sudah tercantum sebelumnya.
Sebagai salah
satu contoh di dalam AD/ART IKPB sudah lama termaktub perihal tentang kewenangan
cabang membentuk ranting/sektor. Akan tetapi tidak ada lagi ayat yang secara
khusus membahas tentang pembentukan ranting/sektor. Selain itu juga AD/ART
hasil MUNAS ke XIV di Camping Ground Bukit Pangkuan juga belum sepakat dalam
penyebutan ranting atau sektor hal tersebut terlihat masih tertulisnya
ranting/sektor pada point F ayat 3 pasal 13. Sudah barang tentu ketidak
sepakatan itu akan melahirkan perbedaan penyebutan disetiap cabang ada yang
menggunakan istilah ranting dan adapula yang menggunakan istilah sektor.
Walaupun merunut
penasihat IKPB Cabang Yogyakarta bahwa kata yang sebelumnya digunakan ialah
“komisariat” karena pada masa itu IKPB merujuk pada sebuah organisasi yang juga
menggunakan istilah “komisariat” dan hal tersebut sudah menjadi pakem di dalam IKPB.
Barangkali mungkin pada MUNAS ke XIV terjadi sedikit kekeliruan dalam
menentukan istilah apa yang akan dipergunakan sektor/ranting/komisariat.
Sehingga lahirlah kata Sektor/ranting. Walaupun juga, pada cabang Jogja kata
sektor lebih familiar pada masa jabatan Eky Fereza mungkin untuk mengetahui
asal muasal dan asbab musabab penggunaan kata sektor/ranting dapat
diklarifikasi langsung kepada pelaku sejarah yang terlibat kala itu.
Oleh karena itu
dalam Musyawarah Nasional ke XV disepakati untuk hanya mencantumkan kata
komisariat saja yang dinilai sudah lebih dulu pakem digunakan selama berpuluh-puluh
tahun dalam IKPB menurut keterangan salah seorang penasehat IKPB. Hal tersebut
juga diharapkan dapat memberikan keseragaman antar cabang yang ada. Supaya
tidak ada perbedaan antar cabang yang satu dengan cabang yang lain dalam
penyebutan komisariat. Selain itu hal yang paling fundamental ialah guna
mencegah multitafsir yang mungkin saja terjadi apabila kata sektor/komisariat
tidak dihilangkan salah satu.
Kesepakatan
untuk menetapkan penggunaan kata komisariat dalam AD/ART MUNAS ke XV juga diiringi
dengan penambahan beberapa pasal tentang komisariat mulai dari penambahan pasal
tentang struktur kepemimpinan komisariat dan struktur kekuasaan komisariat
hingga penambahan ayat atau pun point yang terdapat di dalam pasal tambahan.
Secara tidak langsung hadirnya pasal-pasal baru tersebut membuat IKPB menjadi terdesentralisasi.
Awalnya perihal tentang komisariat hanya tercantum dalam point F ayat 3 pasal
13 kini dengan adanya penambahan pasal khusus membahas tentang komisariat
menjadikan keberadan komisariat lebih terlihat dan tidak abu-abu seperti
sebelumnya.
Walaupun pada
AD/ART Hasil Munas ke XV bunyi point F ayat 3 pasal 13 masih sama menyebutkan
bahwa Cabang memiliki wewenang membentuk komisariat jika diperlukan. Hanya
berubah pada kata “komisariat” saja karena pada
AD/ART Hasil Munas ke XIV berbunyi “ranting/sektor”.
Namun perubahan
tersebut tentunya menjadi angin segar bagi mahasiswa dan mahasiswi Belitong
yang menimba ilmu di kota-kota ataupun wilayah-wilayah yang belum terjamah oleh
IKPB. Dengan keberadaan ayat dan pasal tentang komisariat kini memungkinkan
mahasiswa dan mahasiswi yang jauh dari pusat ataupun cabang untuk bisa berIKPB.
Sebagai contoh
kita ambil saja mahasiswa dan mahasiswi Belitong yang ada di kota Surakarta.
Meskipun sejak dulu sudah ada mahasiswa dan mahasiswi yang menimba ilmu disana
akan tetapi hingga 2018 belum pernah berdiri ataupun terbentuk IKPB di wilayah
tersebut (Surakarta). Oleh karena itulah kini kesempatan untuk ber-IKPB terbuka
lebar bagi mahasiswa dan mahasiwi Belitong di Surakarta. Sekarang tinggal
bagaimana tindak lanjut dan semangat dalam melahirkan dan membangun IKPB di
tanah Surakarta.
Hal yang paling
utama ialah komitmen, komitmen yang dimaksudkan disini ialah bukan hanya
sekedar ucapan kata komitmen melainkan realisasi dari kata komitmen itu
sendiri. Ketika IKPB sudah terlahir dan berdiri di Surakarta (misalnya) maka
tidak boleh berhenti di tengah jalan atau mati suri atau mungkin mati tanpa
meninggalkan jejak. Seperti yang sudah pernah terjadi di beberapa daerah
seperti di Kalimantan, Lampung dan Padang.
Tentunya hal
semacam itu tidak boleh lagi terjadi dan terulang kembali. Artinya
desentralisasi IKPB berupa komisariat juga membutuhkan tekat dan keyakinan yang
kuat dari daerah/wilayah bakal calon komisariat. Karena aturan itu dibuat dan
dibahas semalam suntuk bukan untuk dipermainkan dan dikesampingkan melainkan
untuk ditaati dan dipergunakan dengan sebaik mungkin.
Lahirnya
keputusan untuk melakukan desentralisasi IKPB hingga ke akar rumput tersebut
merupakan harapan supaya semangat berIKPB tidak hanya dimiliki
mahasiwa/mahasiswi Belitong di Bandung,
Bangka, Belitong, Bogor, Jakarta, Palembang, Semarang, dan Yogyakarta.
Melainkan juga bisa dirasakan dan miliki oleh mahasiswa/mahasiwi yang berada di
kota-kota kecil dan wilayah/daerah yang belum terjamah oleh IKPB seperti
Cimahi, Purwakarta, Surakarta, Purwokerto, Magelang, Malang, Surabaya Dll.
Semoga dengan
lahirnya kebijakan desentralisasi IKPB hingga tingkat komisariat dapat
dipergunakan dan dijaga sebaik mungkin dan jangan sekali-kali dilalaikan. Selain
itu apabila nantinya bisa terealisasi IKPB pada tingkatan komisariat supaya
tidak melampaui kekuasan tugas dan wewenang dari cabang dan pusat. Mungkin
kiranya butuh satu lagi pemahaman apabila telah terwujudnya komisariat supaya
hadirnya komisariat lebih berfokus mendukung program-program cabang dan tidak
membuat program kerja yang memberatkan dan melampaui tugas dan wewenang sebagai
komisariat.
Selain itu
pengawasan dan pembinaan harus tetap diberikan oleh cabang-cabang yang menaungi
komisariat. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman ataupun kegagalan dalam
berkomunikasi. Kiranya antara pusat, cabang dan komisariat harus dapat
membangun sinergisitas berupa intergrasi dan inerkoneksi. Melakukan garis-garis
komando ataupun garis-garis koordinasi. Komisariat yang berada di level paling
bawah berkomunikasi dengan cabang yang berada di tengah antar pusat dan
komisariat dan menerima instruksi ataupun perintah yang diamanahkan cabang.
Begitu pula cabang melakukan koordinasi dengan pusat dan menerima, menjalankan
serta meneruskan instruksi yang diberikan oleh pusat sebagai level tertinggi
dalam struktur kekuasaan dan struktur kepemimpinan seperti yang sudah diatur
dalam AD dan ART hasil Musyawarah Nasional ke XV di Gedung SKB Belitung 2018.