Rabu, 27 September 2017

EPISTEMOLOGI IKPB CABANG YOGYAKARTA "Interdisiplin Ilmu dan Sikap Menghargai Perbedaan"

Interdisiplin Ilmu dan Sikap Menghargai Perbedaan
Oleh : Inggrit Panji Sentosa

Ketika kita hidup, kita tidak hanya membahas terkait satu hal saja. Kita tidak membahas selama hidup ini hanya makan saja, tidak membahas hanya belajar saja, atau tidak membahas hanya nafsu birahi saja, namun hal-hal tersebut dipersatukan. Hal-hal tersebut lalu saling mempengaruhi satu sama lain, membentuk sebuah jaring-jaring yang tunggal. Seperti inilah pengetahuan atau lebih khususnya ilmu. Dalam ilmu kita tidak membahas terkait disiplin-disiplin ilmu yang kita dalami saja, namun juga ada keterkaitannya  dengan ilmu yang lain. Lalu bagaimana jika kita hanya mendewakan disiplin ilmu yang kita dalami? Mengapa harus berada pada kesatuan jaring tersebut? Apa akibatnya bagi kita? Bagaimana hubungannya dengan permasalahan sosial?
Persyaratan untuk tumbuh di masa depan yaitu keharusan untuk memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara intensif untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peningkatan kualitas sumber daya insani, dan pendidikan menjadi sangat penting. Kemampuan mengembangkan kerjasama akan menjadi kunci keberhasilan. Landasan komunikasi perlu dibentuk sehingga partisipasi dari bawah dan sinergi pemikiran multidisiplin antar komunitas dapat dibina dan pemanfaatan bersama sumberdaya secara efisien dimungkinkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat mengharuskan masyarakat untuk terus mengaktualisasi diri dan belajar sepanjang hayat. Lingkungan belajar perlu diciptakan agar masyarakat tetap kritis dan kreatif menghasilkan pemikiran baru. (Sudikan :2-3)
Dalam kuliah Bambang Sugiharto pernah memaparkan bahwa pengetahuan belum tentu ilmu, namun ilmu sudah pasti pengetahuan. Ilmu merupakan sistem pengetahuan yang telah tersusun, sedangkan pengetahuan secara hemat adalah “apa yang kita tahu”. Tentu dalam ilmu haruslah sesuai dengan kaidah ilmiah, hal ini membuat ilmu cenderung bersifat empirik, atau yang dapat diindra. Ilmu juga bersifat Positivistik, atau butuh pembuktian-pembuktian rasional dengan ukuran supaya dapat diterima. Sedangkan pengetahuan lebih bersifat umum, misalnya pengetahuan terkait keTuhanan (religius) dan pengetahuan moral, pengetahuan ilmu akan kesulitan untuk menjelaskan hal ini, karena Tuhan bersifat abstrak, artinya tidak dapat diterima secara indrawi, dan hal ini membuat sulit untuk dibuktikan, apalagi diukur, bukan berarti tidak dapat dibuktikan.
Interdisipliner (interdisciplinary) adalah interaksi intensif antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak, melalui program-program penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi konsep, metode, dan analisis. Multidisipliner (multidisciplinay) adalah penggabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu. Transdisipliner (transdisciplinarity) adalah upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin (Prentice, 1990, dalam Sudikan).
Interdisiplin ilmu menunjukan adanya jaring-jaring yang menyatukan pengetahuan dalam menyikapi atau menghadapi suatu permasalahan. Contohnya seperti ketika menjual lele, dalam hal ini kita tak bisa sekedar menjual saja jika tidak ingin rugi. Kita juga membutuhkan pengetahuan terkait harga pasaran, tentu dalam hal ini ilmu ekonomi dibutuhkan untuk memprediksi harga. Dibutuhkan juga keilmuan perikanan untuk mengetahui seberapa jauh kualitas lele tersebut. Atau pada contoh lain, pada saat kita praktek biologi, terutama pengujian perubahan biologis yang menggunakan bahan kimiawi, tentu dalam hal ini kita perlu memahami bahan kimia yang digunakan, dan juga berapa takaran yang pas dalam menggunakan, artinya dalam praktek biologi kita juga perlu pemaham kimiawi dan matematis.
Ketika kita hanya tertuju pada satu disiplin saja dalam pembahasan masalah seperti contoh yang telah diberikan, tentunya akan menjadi sebuah kerancuan. Ilmu ekonomi tidak akan tahu bagaimana memperhatikan ikan, dan biologi tidak akan tahu bagaimana ukuran angka dalam takaran. Memang tidak salah ketika berpendirian teguh pada keilmuan sendiri, malah dengan ini pengetahuan dalam disiplin tersebut akan diketahui lebih dalam jika hanya terfokus pada bidang tersebut, namun dengan syarat dapat menerima pandangan dari orang lain yang juga memiliki kedalaman akan disipllin yang lain. Pada akhirnya ketika sudah benar-benar mengetahui pengetahuannya secara mendalam, akan tersadar bahwa apa yang dibahasnya tidak hanya membahas hal itu.
Pendekatan yang dilakukan hanya dengan satu disiplin ilmu saja atau yang biasa dikatakan monodisiplin dapat membuat keterasingan dalam dirinya, ataupun alienasi pada keilmuan lain. Penutupan diri dikhawatirkan oleh penulis dapat menegasikan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Sering kita lihat adanya ketidak sesuaian antara lingkungan alam dengan usaha industri yang dijalankan, misalnya pada pabrik tekstil yang limbahnya dibuang ke sungai, yang pada akhirnya air tersebut akan dikosumsi oleh konsumen produk tekstil pabrik tersebut, lalu jika orang-orang itu mati, siapa yang akan membeli produk tersebut. Seperti itu juga bidang-bidang keilmuan, terkadang  secara prinsip ekonomi tidak sesuai dengan bidang lingkungan, hal-hal ini biasa kita jumpai dalam kehidupan.
Tidak berarti ketidak susuaian itu berarti buruk, malah dengan ketidak sesuaian tersebut akan menimbulkan rasa untuk menemukan jalan keluar, atau menghasilkan sintesa anatara tesis dan anti-tesis. Hal ini terjadi jika kedua belah pihak bisa saling menghargai. Kurangnya menghargai adalah salah satu permasalah dalam bidang pengetahuan, keinginan untuk menang sendiri akan membuat sebuah proses terhambat. Terus mengafirmasi suatu pengetahuan hanya akan menghambat pengetahuan tersebut. Ketika terus dibantah akan terjadi proses dialektik dalam pengetahuan kita, yang artinya ada sebuah proses yang lebih cepat. Hal inipun akan terjadi jika kedua belah pihak saling menghargai. Perlu diingat bahwa Pengetahuan ilmiah bukan sebagai pengetahuan yang pasti benar, namun pengetahuan yang mendekati kebenaran. Artinya, suatu kepercayaan yang mempunyai dasar kokoh untuk menganggap suatu pernyataan tentang dunia sampai tingkatan pengeukuran tertentu adalah benar.(Sudarminta, 2002: 169)
Pada era positivistik ini, yang mana suatu pengetahuan dapat dikatakan benar apabila dapat diuji dengan pengukuran-pengukuran. Hal ini dirasa akan mereduksi makna dari pengetahuan yang bersifat kualitatif ataupun pengetahuan yang intuitif. Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu faktor mengapa adanya alienasi oleh ilmu-ilmu tertentu yang empirik terhadap beberapa keilmuan ataupun pengetahuan tanpa metodologi ilmiah. Timbulnya ketidak percayaan ini membuat sebuah lubang ketidak menghargai orang lain. Ketika hanya dilakukan secara terukur saja dalam penyelesaian suatu permasalahan sulit untuk menuju esensi dari suatu hal. Mungkin beberapa penyelesaian masalah akan lebih cepat dan rasional dalam menyelesaikan masalahnya, dalam beberapa kasus seperti penggusuran secara paksa ataupun seperti orang utilitarianisme bunuh diri, memang akan terukur efektifitas penyelesaian masalahnya, namun kadang akan melupakan bagaimana psikologis orang sekitar yang terlibat. Bagaimana bisa sebuah taraf kejiwaan seseorang dapat diukur dengan meteran?
Pola interdisiplin dirasa sangat perlu ditanamkan sejak dini. Bagaimana pola pendidikan di Indonesia sendiri sangat multidisiplin, namun adanya penyimpulan antara bidang-bidang sehingga dapat digunakan secara bersama dirasa masih kurang. Yang dapat dilihat pada sekolah-sekolah adalah memisahkan (dalam artian dikotak-kotakan) anak-anak disiplin sosial dengan disiplin ilmu alam. Bukan menunjukan bahwa seseorang harus mengetahui segala hal, namun lebih kearah bagaimana menghargai orang lain. Jika pendiidkan moral menjadi tema besar disekolah seharusnya hal itu sulit terjadi. Tidak hanya disekolah terkadang kita sering bertemu dengan orang tua yang memaksakan kehendaknya, dan tidak menerima alasan dari anaknya, hal ini dikhawatirkan secara tidak langsung akan menimbulkan pola prilaku yang tidak menghargai orang lain, dan menyebabkan sebuah kebuntuhan dalam menyikapi sebuah masalah yang hanya dilakukan dengan monodisiplin.
Pola pendidikan yang paling dekat dengan interdisiplin bagi anak adalah pola pendidikan filsafat. pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak(ilmiah), sehingga anak bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar (wattimena, 2016 : 164-165) filsafat berperan sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Berdiri sekaligus menjembatani dua kutub. Kutub pertama adalah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa sikap kritis. Kutub yang kedua adalah relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain. (Wattimena, 2016:168)  Pemahaman agama juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk terorisme.(Wattimena, 2016:167) Anak pun lalu diajarkan untuk terbiasa dengan perbedaan sudut pandang. Pola semacam ini akan sangat berguna bagi anak, supaya bisa bisa hidup dengan damai di dalam masyarakat multikultur. (Wattimena, 2016:169)
Pada akhirnya pentinggnya interdisiplin ilmu dalam menyelesaikan masalah bukan hanya dalam artian suatu permasalahan yang diselesaikan saja. Namun yang ingin disampaikan disini adalah bagaimana pola prilaku yang dibentuk. Dalam hal ini secara umum menyadarkan diri bahwa kehidupan ini pada kenyataannya adalah plurar, dan interdisiplin membimbing manusia agar bersikap multikultur ( adanya kesadaran akan identitas yang lain ). Masalah akan dapat terselesaikan secara lebih komperhensif jika dilakukan secara interdisiplin. Lalu manusia sebagai mahluk sosial akan lebih kuat ketika sudah berhasil menghargai orang lain. Kita sebagai manusia secara umum dan sebagai mahasiswa secara khusus tidak boleh mengasingkan diri dengan realitas kehidupan yang beraneka ragam. Permasalahan perbedaan hanya terjadi jika orang tersebut jarang menerima gesekan-gesekan perbedaan, dan hanya berada pada zona afirmasi kebenarannya.

Daftar Pustaka

Sudarminta, J., 2002, Epistemologi Dasar, Kanisius, Yogyakarta
Sudikan, Setya Y., tanpa tahun, Pendekatan Interdisipliner, Multidisipliner, dan Transdisiplin Dalam Studi Sastra. Univesrsitas Negeri Surabaya
Watimena, Reza A. A., 2016, Pendidikan Filsafat Untuk Anak? Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis Untuk Konteks Indonesia, Jurnak Filsafat, Vol.26, No.2 : 163-168











Tidak ada komentar:

Posting Komentar