Interdisiplin
Ilmu dan Sikap Menghargai Perbedaan
Oleh : Inggrit Panji Sentosa
Ketika kita hidup, kita tidak hanya membahas terkait
satu hal saja. Kita tidak membahas selama hidup ini hanya makan saja, tidak
membahas hanya belajar saja, atau tidak membahas hanya nafsu birahi saja, namun
hal-hal tersebut dipersatukan. Hal-hal tersebut lalu
saling mempengaruhi satu sama lain, membentuk sebuah jaring-jaring yang
tunggal. Seperti inilah pengetahuan atau lebih khususnya ilmu. Dalam ilmu kita
tidak membahas terkait disiplin-disiplin ilmu yang kita dalami saja, namun juga
ada keterkaitannya dengan ilmu yang
lain. Lalu bagaimana jika kita hanya mendewakan disiplin ilmu yang kita dalami?
Mengapa harus berada pada kesatuan jaring tersebut? Apa akibatnya bagi kita?
Bagaimana hubungannya dengan permasalahan sosial?
Persyaratan untuk tumbuh di
masa depan yaitu keharusan untuk memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara intensif untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi peningkatan kualitas sumber daya insani, dan pendidikan menjadi
sangat penting. Kemampuan mengembangkan kerjasama akan menjadi kunci
keberhasilan. Landasan komunikasi perlu dibentuk sehingga partisipasi dari
bawah dan sinergi pemikiran multidisiplin antar komunitas dapat dibina dan
pemanfaatan bersama sumberdaya secara efisien dimungkinkan. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat mengharuskan masyarakat untuk terus
mengaktualisasi diri dan belajar sepanjang hayat. Lingkungan belajar perlu
diciptakan agar masyarakat tetap kritis dan kreatif menghasilkan pemikiran
baru. (Sudikan :2-3)
Dalam
kuliah Bambang Sugiharto pernah memaparkan bahwa pengetahuan belum tentu ilmu,
namun ilmu sudah pasti pengetahuan. Ilmu merupakan sistem pengetahuan yang
telah tersusun, sedangkan pengetahuan secara hemat adalah “apa yang kita tahu”.
Tentu dalam ilmu haruslah sesuai dengan kaidah ilmiah, hal ini membuat ilmu cenderung
bersifat empirik, atau yang dapat diindra. Ilmu juga bersifat Positivistik,
atau butuh pembuktian-pembuktian rasional dengan ukuran supaya dapat diterima.
Sedangkan pengetahuan lebih bersifat umum, misalnya pengetahuan terkait keTuhanan
(religius) dan pengetahuan moral, pengetahuan ilmu akan kesulitan untuk
menjelaskan hal ini, karena Tuhan bersifat abstrak, artinya tidak dapat
diterima secara indrawi, dan hal ini membuat sulit untuk dibuktikan, apalagi
diukur, bukan berarti tidak dapat dibuktikan.
Interdisipliner
(interdisciplinary) adalah interaksi
intensif antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun
yang tidak, melalui program-program penelitian, dengan tujuan melakukan
integrasi konsep, metode, dan analisis. Multidisipliner (multidisciplinay) adalah penggabungan
beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu.
Transdisipliner (transdisciplinarity)
adalah upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun
kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin (Prentice, 1990, dalam Sudikan).
Interdisiplin ilmu menunjukan adanya jaring-jaring
yang menyatukan pengetahuan dalam menyikapi atau menghadapi suatu permasalahan.
Contohnya seperti ketika menjual lele, dalam hal ini kita tak bisa sekedar
menjual saja jika tidak ingin rugi. Kita juga membutuhkan pengetahuan terkait
harga pasaran, tentu dalam hal ini ilmu ekonomi dibutuhkan untuk memprediksi
harga. Dibutuhkan juga keilmuan perikanan untuk mengetahui seberapa jauh
kualitas lele tersebut. Atau pada contoh lain, pada saat kita praktek biologi,
terutama pengujian perubahan biologis yang menggunakan bahan kimiawi, tentu
dalam hal ini kita perlu memahami bahan kimia yang digunakan, dan juga berapa
takaran yang pas dalam menggunakan, artinya dalam praktek biologi kita juga
perlu pemaham kimiawi dan matematis.
Ketika kita hanya tertuju pada satu disiplin saja
dalam pembahasan masalah seperti contoh yang telah diberikan, tentunya akan
menjadi sebuah kerancuan. Ilmu ekonomi tidak akan tahu bagaimana memperhatikan
ikan, dan biologi tidak akan tahu bagaimana ukuran angka dalam takaran. Memang
tidak salah ketika berpendirian teguh pada keilmuan sendiri, malah dengan ini
pengetahuan dalam disiplin tersebut akan diketahui lebih dalam jika hanya
terfokus pada bidang tersebut, namun dengan syarat dapat menerima pandangan
dari orang lain yang juga memiliki kedalaman akan disipllin yang lain. Pada
akhirnya ketika sudah benar-benar mengetahui pengetahuannya secara mendalam,
akan tersadar bahwa apa yang dibahasnya tidak hanya membahas hal itu.
Pendekatan yang dilakukan hanya dengan satu disiplin
ilmu saja atau yang biasa dikatakan monodisiplin dapat membuat keterasingan
dalam dirinya, ataupun alienasi pada keilmuan lain. Penutupan diri
dikhawatirkan oleh penulis dapat menegasikan pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sering kita lihat adanya ketidak sesuaian antara lingkungan alam dengan usaha
industri yang dijalankan, misalnya pada pabrik tekstil yang limbahnya dibuang
ke sungai, yang pada akhirnya air tersebut akan dikosumsi oleh konsumen produk
tekstil pabrik tersebut, lalu jika orang-orang itu mati, siapa yang akan
membeli produk tersebut. Seperti itu juga bidang-bidang keilmuan, terkadang secara prinsip ekonomi tidak sesuai dengan
bidang lingkungan, hal-hal ini biasa kita jumpai dalam kehidupan.
Tidak
berarti ketidak susuaian itu berarti buruk, malah dengan ketidak sesuaian
tersebut akan menimbulkan rasa untuk menemukan jalan keluar, atau menghasilkan
sintesa anatara tesis dan anti-tesis. Hal ini terjadi jika kedua belah pihak
bisa saling menghargai. Kurangnya menghargai adalah salah satu permasalah dalam
bidang pengetahuan, keinginan untuk menang sendiri akan membuat sebuah proses
terhambat. Terus mengafirmasi suatu pengetahuan hanya akan menghambat
pengetahuan tersebut. Ketika terus dibantah akan terjadi proses dialektik dalam
pengetahuan kita, yang artinya ada sebuah proses yang lebih cepat. Hal inipun akan terjadi jika kedua belah pihak saling
menghargai. Perlu diingat bahwa Pengetahuan ilmiah bukan
sebagai pengetahuan yang pasti benar, namun pengetahuan yang mendekati
kebenaran. Artinya, suatu kepercayaan yang mempunyai dasar kokoh untuk
menganggap suatu pernyataan tentang dunia sampai tingkatan pengeukuran tertentu
adalah benar.(Sudarminta, 2002: 169)
Pada era positivistik ini, yang mana suatu pengetahuan
dapat dikatakan benar apabila dapat diuji dengan pengukuran-pengukuran. Hal ini
dirasa akan mereduksi makna dari pengetahuan yang bersifat kualitatif ataupun
pengetahuan yang intuitif. Hal ini dapat dikatakan
sebagai salah satu faktor mengapa adanya alienasi oleh ilmu-ilmu tertentu yang
empirik terhadap beberapa keilmuan ataupun pengetahuan tanpa metodologi ilmiah.
Timbulnya ketidak percayaan ini membuat sebuah lubang ketidak menghargai orang
lain. Ketika hanya dilakukan secara terukur saja dalam penyelesaian suatu
permasalahan sulit untuk menuju esensi dari suatu hal. Mungkin beberapa
penyelesaian masalah akan lebih cepat dan rasional dalam menyelesaikan
masalahnya, dalam beberapa kasus seperti penggusuran secara paksa ataupun
seperti orang utilitarianisme bunuh diri, memang akan terukur efektifitas
penyelesaian masalahnya, namun kadang akan melupakan bagaimana psikologis orang
sekitar yang terlibat. Bagaimana bisa sebuah taraf kejiwaan seseorang dapat
diukur dengan meteran?
Pola interdisiplin dirasa sangat perlu ditanamkan
sejak dini. Bagaimana pola pendidikan di Indonesia sendiri sangat multidisiplin,
namun adanya penyimpulan antara bidang-bidang sehingga dapat digunakan secara
bersama dirasa masih kurang. Yang dapat dilihat pada sekolah-sekolah adalah
memisahkan (dalam artian dikotak-kotakan) anak-anak disiplin sosial dengan
disiplin ilmu alam. Bukan menunjukan bahwa seseorang harus mengetahui segala
hal, namun lebih kearah bagaimana menghargai orang lain. Jika pendiidkan moral
menjadi tema besar disekolah seharusnya hal itu sulit terjadi. Tidak hanya
disekolah terkadang kita sering bertemu dengan orang tua yang memaksakan
kehendaknya, dan tidak menerima alasan dari anaknya, hal ini dikhawatirkan
secara tidak langsung akan menimbulkan pola prilaku yang tidak menghargai orang
lain, dan menyebabkan sebuah kebuntuhan dalam menyikapi sebuah masalah yang
hanya dilakukan dengan monodisiplin.
Pola pendidikan yang paling dekat dengan interdisiplin
bagi anak adalah pola pendidikan filsafat. pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan
sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan
berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan
kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak(ilmiah), sehingga
anak bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan
keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya
kepada orang lain dengan lancar (wattimena, 2016 : 164-165) filsafat berperan
sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Berdiri sekaligus menjembatani dua
kutub. Kutub pertama adalah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai
agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa sikap kritis. Kutub yang kedua adalah
relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga
semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain.
(Wattimena, 2016:168) Pemahaman agama
juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati terhadap kelompok lain. Pola ini
bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui fundamentalisme dan fanatisme yang
menjadi akar dari segala bentuk terorisme.(Wattimena, 2016:167) Anak pun lalu
diajarkan untuk terbiasa dengan perbedaan sudut pandang. Pola semacam ini akan
sangat berguna bagi anak, supaya bisa bisa hidup dengan damai di dalam
masyarakat multikultur. (Wattimena, 2016:169)
Pada akhirnya pentinggnya interdisiplin ilmu dalam
menyelesaikan masalah bukan hanya dalam artian suatu permasalahan yang
diselesaikan saja. Namun yang ingin
disampaikan disini adalah bagaimana pola prilaku yang dibentuk. Dalam hal ini
secara umum menyadarkan diri bahwa kehidupan ini pada kenyataannya adalah
plurar, dan interdisiplin membimbing manusia agar bersikap multikultur ( adanya
kesadaran akan identitas yang lain ). Masalah akan dapat terselesaikan secara
lebih komperhensif jika dilakukan secara interdisiplin. Lalu manusia sebagai
mahluk sosial akan lebih kuat ketika sudah berhasil menghargai orang lain. Kita
sebagai manusia secara umum dan sebagai mahasiswa secara khusus tidak boleh
mengasingkan diri dengan realitas kehidupan yang beraneka ragam. Permasalahan perbedaan
hanya terjadi jika orang tersebut jarang menerima gesekan-gesekan perbedaan,
dan hanya berada pada zona afirmasi kebenarannya.
Daftar Pustaka
Sudarminta,
J., 2002, Epistemologi Dasar,
Kanisius, Yogyakarta
Sudikan,
Setya Y., tanpa tahun, Pendekatan
Interdisipliner, Multidisipliner, dan Transdisiplin Dalam Studi Sastra.
Univesrsitas Negeri Surabaya
Watimena,
Reza A. A., 2016, Pendidikan Filsafat
Untuk Anak? Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis Untuk Konteks Indonesia, Jurnak
Filsafat, Vol.26, No.2 : 163-168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar