Senin, 21 Maret 2016

Sejarah : IKPB Dari Masa Ke Masa karya Lukman Hakim (Koor. Divisi PSDM IKPB Jogja 2012)

IKPB Sebagai Sebuah Organisasi Wadah Kreatifitas Pelajar Belitung
”Pengusung, Pengagas dan Penggerak Menuju Perubahan”

Melihat betapa cepatnya penulis berkerja, sementara kita hanya mampu mengerutkan dahi. Seseorang mungkin baru berniat untuk menyusun sebuah tulisan yang berkaitan dengan sejarah organisasi yang didirikan 57 tahun yang lalu ini tepatnya pada tanggal 13 Mei 1955, ternyata penulis lebih dulu menyusunnya. Hal ini secara pribadi pada dasarnya sebuah kebanggaan sekaligus bersamaan dengan kekecewewaan bagi saya pribadi karena diusia tua ini belum sempat untuk menulis sejarah tentang organisasi yang membesarkan saya.  Namun demikian, di usianya yang uzur organisasi ini memang sudah seharusnya memiliki sejarah yang dibukukan agar dapat dijadikan acuan dan landasan terutama bagi generasi penerus guna menjaga keberlangsungan organisasi ini. Menjadi penting juga, karena
tanpa adanya tulisan sejarah mengenai organisasi ini otomatis akan menimbulkan “kegelisahan” secara intelektal untuk mendapatkan jawaban sekitar semangat juang para perintis awal IKPB serta nilai-nilai yang disusung yang tentu saja hendak disampaikan. Inilah setidaknya yang dialami para anggota IKPB saat ini dari gelagat keseharian yang saya amati. Amat riskan rasanya, di abad nuklir ini, dimana seluruh sarana dan prasarana dalam bentuk komunikasi yang memudahkan seseorang mengakses masa lalu dan memprediksi masa depan IKPB sama sekali tidak memiliki cacatan baku mengenai sejarah nya sendiri, karenanya saya secara pribadi bersyukur karena adanya tulisan ini.
Penulis dalam hal ini dengan segala kemampuan intelektualnya, sudah barang tentu tidak terbebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka sudah menjadi hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak dari hasil kerjanya ini. Masih dalam hal ini, selaku seseorang intelektual yang mencari kebenaran sudah tentu akan memanfaatkan beragam sumber dan informasi atas pemikiran dan pendapat yang dikemukakan. Hal ini saya saksikan dalam tulisan ini. Penulis pada dasarnya tidak hanya menjabarkan sejarah (lihat bagian ke 3 dan sebagian bagian 4). Namun juga memaparkan konstruksi pemikirannya dalam bagian 1,2 dan sebagian dalam bagian lainnya dalam tulisan ini. Saya menganggap hal ini adalah hal yang lumrah karena untuk mengetahui semangat perjuangan dan tujuan dari berdirinya IKPB seseorang harus mampu melakukan pembacaan terhadap latar belakang yang mengitarinya seperti sisi historis, meminjam bahasa penulis “religiusitas” dan juga konstruksi yang dilakukan dengan pemikiran para tokoh yang dianggap sesuai dengan semangat dan nilai-nilai ke-IKPB-an.
Mengapa harus menuliskan sejarah mengenai IKPB ? pertanyaan semacam ini sering kali saya dengar dan tentu saja ditujukan kepada saya pribadi. Sejarah memang hanyalah masa lalu, bulukan dan usang. Namun meminjam bahasa dari Lakatos seorang filsuf kenamaan Hungaria bahwa Filsafat ilmu tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah kosong; sejarah ilmu tanpa filsafat ilmu adalah buta”. Menunjukkan kepada kita bahwa ilmu tanpa sejarah yang melekat padanya sama sekali tidak bermakna apa-apa dan demikian sebaliknya. Maka disinilah letak pentingnya sejarah dalam pandangan pribadi saya.
Dalam tulisan ini, jika saya amati penulis berusaha untuk memberikan hasil bacaannya terhadap realitas intelektual yang dalam bahasa penulis “kaum muda Belitung” dengan memberikan gambaran mengenai sisi geografis dan mata pencaharian penduduk serta tidak terlepas sisi dimensi religius masyarakat yang di bawah bayang-bayang kesemuanya ini sisi intelektual terbentuk. Ternyata didapatkan bahwa memang terdapat nilai-nilai yang diusung walau itu dilakukan, jika menurut penilaian saya “dilakukan tanpa sadar” oleh kaum muda Belitung pada masa era awal. Implementasinya tentu saja gagasan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ini pada akhirnya merupakan cerminan bagi rentetan generasi setelahnya dan berjalan seiring waktu hingga kini. Karenanya disadari atau tidak IKPB pada dasarnya dilahirkan dari tokoh-tokoh awal yang disampaikan oleh penulis dalam tulisan ini. Akhirnya, saya secara pribadi mengakui bahwa merekalah pengusung, merekalah pengagas dan merekalah pengerak kaum intelektual Belitung hingga saat ini untuk sampai pada suatu perubahan. Saya berharap tulisan ini dapat digunakan sebagai awal pengkajian mengenai ke-IKPB-an, tentu saja IKPB sebagai sebuah organisasi yang kreatif dan memberikan dampak positif kepada daerah asal tempat para pelajar dilahirkan ataupun dibesarkan.
Kepada penulis saya sampaikan salut atas kerja keras dan jerih payahnya dalam menyusun tulisan ini. Selama ini memang belum ada tulisan yang saya nilai berbobot perihal sejarah organisasi IKPB. Sehingga dengan adanya tulisan ini setidaknya dapat menyejukkan para aktor intelektual yang haus akan sejarah IKPB yang selama ini menjadi pertanyaan.


Yogyakarta, 25 Juni 2012.
   
   Nazwar Chalidin Amar






Kata Pengantar
Boleh dibaca boleh juga dilewati saja
Membuat sebuah kata pengantar untuk tulisan yang berkaitan dengan sejarah masa lalu tidaklah selalu mudah, apa lagi dengan adanya keterkaitan batin dan intelektual dengan sejarah tersebut. Namun demi rasa hormat yang sangat kami harus seobjektif mungkin menggambarkan keseluruhan fakta yang tentu saja dengan merendahkan hati dan diri seraya menyadari bahwa adanya unsur ketidak mungkinan dari penulis untuk memberikan kenyataan fakta sejarah yang sesunguhnya. Meminjam bahasa yang digunakan Immanuel Kant[1] bahwa manusia pada dasarnya hanyalah mampu menggambarkan sebagian fenomena dari sebuah peristiwa dan tidak mungkin menggambarkan keseluruhan fenomena, karenanya kami menyadari bahwa tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari usaha yang mungkin suatu saat akan disempurnakan oleh generasi penerus yang bersedia masuk dan terjun dalam peristiwa sejarah ke-IKPB-an.
Hal ini perlu mengingat perjalanan sejarah yang selama ini kita yakini sebatas pada masa lalu pada dasarnya juga adalah rangkaian dari perjalanan masa yang akan datang dan rangkaian perjalanan waktu tersebut akan melekat padanya sebuah peristiwa-peristiwa penting yang hendaknya dicatat agar dapat menjadi acuan dan pengajaran bagi generasi-generasi yang akan datang. Melihat begitu panjangnya rentang waktu yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini, mungkin akan tampak jelas keterbatasan dan dengan banyaknya kekurangan disana-sini sehingga diperlukan sikap kritis karena dengan segenap kemampuan intelektual dari penulis sudah tentu tetap saja tidak terlepas dari kekurangan.
Tulisan ini diharapkan menjadi salah satu tulisan yang komprehensif dalam menggambarkan kelahiran dan perkembangan IKPB. Tulisan ini juga diharapkan menjadi sebuah tulisan yang mampu menggambarkan sejarah kelahiran dan perkembangan IKPB tidak sebagai sebuah sejarah yang mati, namun sepenuhnya tulisan ini berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu dalam tulisan ini juga digambarkan secara estafet peristiwa sejarah dan perkembangan IKPB bahkan hingga detik peristiwa ketika tulisan ini di buat.[2] 
Akhirnya kepada alumni, anggota serta simpatisan IKPB kami sampaikan maaf yang sebesar-besarnya jika tulisan ini tidak mampu untuk menggarkan semangat dan esensi yang sesungguhnya dari nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh IKPB. Terima kasih juga kami sampaikan kepada senior-senior (tidak mungkin kami sebutkan satu persatu) telah memberikan data dan informasi serta sesepuh kami Bapak Nazwar Chalidin Amar yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga dalam penyusunan serta bersedia merevisi tulisan ini. Kepada Allah kami berserah, semoga setiap usaha dan kebaikan selalu terlaksana demi tegaknya “untaian kebaikan” dalam diri kami dan IKPB kami.

                                                                                                                   Yogyakarta, 1 Juni 2012.
                                                                                                                            Lukman Hakim 









Daftar Isi
Sambutan Bupati Belitung, Oleh: Ir. H. Darmansyah Husein
Sebuah Pengantar: IKPB Sebagai Sebuah Organisasi Wadah Kreatifitas Pelajar Belitung ”pengusung, pengagas dan penggerak menuju perubahan” Oleh Nazwar Chalidin Amar
Kata Pengantar
Bagian Pertama
Belitung Era 1950-Pra Tambang Inkonvensional
-          Kondisi Geografis Belitung
-          Mata Pencaharian Masyarakat
-          Religiusitas dan pengaruhnya
-          Pengaruh religiusitas pada kaum muda Belitung
Bagian Kedua
Refleksi Spirit Perjuangan dan Pembebasan
-          Sprit Perjuangan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
-          Spirit Pembebasan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
Bagian Ketiga
Historisitas IKPB
-          IKPB dan Latar Belakang Berdirinya
-          Nilai-Nilai yang disusung
-          Pembudayaan Nilai
Bagian Keempat
IKPB Saat Ini
-          Pasang surut IKPB
-          IKPB saat ini
-          Pemudaran nilai
-          Refleksi nilai ke-IKPB-an dan manfaatnya

Kepustakan
Lampiran-lampiran
Riwayat Singkat Penulis








                                    Bagian Pertama
                       Belitung Era 1950-Pra tambang        
                       inkonvensional











1.   
         Belitung Era
         1950- Pra Tambang inkonvensional
Sangat berkesan mengamati perkembangan yang terjadi pada pulau Belitung. Sebuah pulau kecil yang letaknya masuk dalam gugusan kepulauan andalas dalam tanah Air. Melayu yang menjadi identias kesukuan dan Melayu juga yang menjadi bahasa keseharian menjadikan Belitung masuk dalam rumpun kesatuan bersama pulau-pulau Sumatra lainnya baik dari sisi kultur dan bahasa. Namun demikian, harus diakui multi dimensi juga ikut tumbuh dan berkembang di pulau Belitung.
Faktanya, walau Melayu menjadi entitas yang dominan namum social and cultural encounter juga terdapat dalam pulau tersebut. Etnis yang dapat ditemui dan menjadi pemandangan yang biasa adalah etnis Tionghua[3] yang juga turut mendiami pulau Belitung sejak lama bahkan bisa dikatakan hingga kini kedua etnis hidup dan saling melakukan interaksi tanpa adanya konflik.[4] Melihat fakta yang demikian sepertinya konsep Freud mengenai thanatos[5] tidak terjadi dalam kehidupan masyarakat Belitung. Ungkapan ini memang terkesan berlebihan, namun setidaknya konflik dalam sekala besar yang berkaitan dengan persoalan etnik belum terjadi di Belitung.
Dengan memperhatikan kondisi masyarakat Belitung yang plural dari segi kultur dan religi menjadi bukti betapa besarnya potensi dan kekuatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan jika tentu saja proses integrasi terus terlaksana dan tidak menghadapi hambatan. Namun akan menjadi mala petaka yang dahsyat jika multi dimensi ini disikapi dengan latah dan tidak bertanggung Jawab, atau adanya kecendrungan memperjuangkan kepentingan individu dan golongan tertentu.
Fenomena ini sangat positif setidaknya untuk memberikan gambaran awal kita mengenai semangat juang masyarakat Belitung, terlepas dari segala keterbatas pemahaman dan konsep mengenai teori-teori interaksi namun kemudian secara alami dapat menjalin kebersaman. Tampaknya tanpa harus melirik tulisan-tulisan yang berkaitan dengan sistem dan struktur teori masyarakat, kita akan dapat menemukan pola rancang kehidupan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat Belitung.              
A.    Kondisi Geografis Belitung
                                                                         



Gambar 1.1.
Letak Pulau Belitung dalam Peta Indonesia
(Sumber: www. earth. google.com)
Secara astronomis, Kabupaten Belitung terletak antara 107008 BT sampai 107058BT dan 02030’ Lintang Selatan sampai 03015’ Lintang Selatan, dengan luas seluruhnya 229.369 ha atau kurang lebih 2.293,69 km2. Secara keseluruhan, dalam peta dunia Pulau Belitung dikenal dengan Billitonit yang bergaris tengah Timur-Barat kurang lebih 79 km dan garis tengah utara selatan kurang lebih 77 km. Adapun secara geografis, batas-batas Kabupaten Belitung adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara                       : Berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
- Sebelah Timur                       : Berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur,
- Sebelah Selatan                     : Berbatasan Dengan Laut Jawa,
- Sebelah Barat                        : Berbatasan Dengan Selat Gaspar.
Secara topografi, daerah yang paling tinggi Pulau Belitung adalah diketinggian 500 m yakni pada puncak Gunung Tajam. Sedangkan daerah hilir (pantai) terdiri atas beberapa daerah aliran sungai (DAS) utama yakni :
1.   Sebelah Utara         : DAS Buding,
2.   Sebelah Selatan      : DAS Pala dan Kembiri,
3.   Sebalah Barat         : DAS Brang dan Cerucuk[6].   
            Kedaan permukaan tanah pulau Belitung juga penting untuk kita ketahui, karena dari satu sisi ini kemudian akan diketahui bagaimana cara yang ditempuh masyarakat untuk bertahan hidup. Keadaan tanah pada permukaan Kabupaten Belitung pada umumnya didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alivial dan batuan granit. Menurut letaknya keadaan tanah yang demikian menyebar merata dan hampir menyeluruh di permukaan tanah kepulauan Belitung. Dalam riset yang pernah dilakuakan Fakultas kehutanan Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Pemerintah Kabupatem Belitung pada tahun 1983 dikatakan,
secara umum tanah di Kab Belitung memiliki tingkat produktifitas yang rendah sampai sedang karena miskin unsur hara dan bahan organic, bereaksi masam (pH rendah), kapasitas atau kemampuan penukaran kation (KPK) dan kejemuhan basah yang rendah. Karena sifat-sifat tersebut, maka tanah ini diperlukan pengapuran, pemupukan dan pengawetan tanah…[7]
Sedangkan secara topografi mengenai aliran sungai, Pulau Belitung pada umumnya bergelombang dan berbukit-bukit mengakibatkan terbentuknya pola aliran sungai yang bersifat sentrifugal, dimana sungai-sungai yang ada berhulu didaerah pegunungan dan mengalir kedaerah pantai. Sedangkan daerah aliran sungai mempunyai pola aliran sungai berbentuk pohon[8].
Pengaruh yang demikian mengakibatkan kreatifitas masyarakat menjadi jauh lebih berkembang dengan berbagai macam aktivitas seperti bebanjor (memancing ikan dengan sistem inap), nanggok (menangkap ikan dengan menggunakan alat yang terbuat dari bambu atau rotan yang berbentuk seperti loyang dimana bentuk pola seperti saringan) dan ngembubu (memasang jerat atau perangkap ikan di dalam air yang mengalir).
Dalam kaitannya dengan iklim, Pulau Belitung secara keseluruhan memiliki iklim tropis dan basah dengan curah hujan bulanan pada tahun 2006 antara 3,3 mm sampai dengan 691,6 mm dengan jumlah hujan antara hari 1 sampai 30 hari tiap bulannya[9].
            Dalam kedaan iklim yang demikian, maka otomatis bentuk hutan yang ada pada Pulau Belitung secara keseluruhan dapat dikategorikan sebagai hutan hujan tropis. Biasanya hutan hujan tropis memiliki ciri-ciri yang otentik baik dalam bentuk pohon dan rerumputan.
Bentuk pepohonan yang ada pada dataran Pulau Belitung (setelah terjadi penebangan) adalah pohon yang memiliki ukuran medium (sedang), sedangkan pepohonan yang memiliki ukuran sangat besar hanya terdapat pada hutan yang jauh dari pemukiman dan hutan yang belum pernah digunakan sebagai ladang (kebun) oleh warga.
B.     Mata Pencaharian Masyarakat Belitung
Melihat topografi pulau Belitung dan keadaan iklim yang ada, didapatkan beberapa aktivitas utama yang menjadi sumber kehidupan. Pada dasarnya kehidupan masyarakat Belitung dari sisi mata pencaharian tidak jauh berbeda dengan kebanyakan masyarakat di nusantara. Namun ada keunikan tersendiri sesuai dengan nilai dan kultur budaya yang berkembang.
Kita ambil contoh dan sejalan dengan yang di ungkapkan A.A Fyzee bahwa pulau Jawa yang memiliki budaya sawah maka budaya dan nilai yang berkembang akan berbeda dengan pulau Belitung yang tidak memiliki budaya tersebut. Dalam sisi ini Belitung dengan keadaan geografis yang yang berbeda akan lebih cocok dengan konsep kebudaan tegalan yang kemudian melahirkan dampak sosial dan psikologis yang berbeda dengan konsep budaya sawah. [10]    
Berbeda dengan sistem pertanian yang ada di pulau Jawa dan daerah yang lain diluar pulau Belitung, masyarakat di pulau ini tidak menggunakan[11] konsep sawah dalam praktek pertanian namun lebih tepat menggunakan konsep ladang.[12] Kondisi permukaan tanah yang terdiri dari  kwarsa dan pasir, batuan alivial dan batuan granit memang tidak tepat jika menggunakan konsep sawah.
Ada bentuk perkembangan yang harus diterima dari sisi psikologis dalam penerapan konsep ladang ini. Jika masyarakat Jawa pada umumnya yang menggunakan sistem sawah secara peskologis akan tunduk pada pemerintah maupun jajaran pengatur yang ditugaskan oleh pemerintah karena adanya ketergantungan pada sistem irigasi,[13] maka tidak demikian halnya dengan masyarakat Belitung. Sistem ladang yang murni mengandalkan jumlah curah hujan melahirkan kondisi psikologis lebih mandiri dan tidak membutuhkan adanya pengatur dalam hal ini bisa juga kita sebut sebagai pemerintah.





Gambar 1.2
Pembukaan Lahan untuk Perkebunan
Sumber: Observasi Lapangan
Namun ada satu sisi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, walau masyarakat Belitung memiliki kemandirian dalam bidang pertanian, terdapat sistem budaya yang menempatkan seorang Dukun Kampong[14] yang memiliki andil besar dalam kehidupan keseharian masyarakat Belitung. Sosok ini tidak hanya masuk dalam lini mata pencaharian saja namun juga pengaruhnya masuk dalam sendi kehidupan yang lain, dalam bahasa yang berbeda masyarakat Belitung tidak tunduk dan patuh pada pemerintah namun lebih tunduk dan patuh pada nilai-nilai budaya yang dengan unsur metafisik spiritual.[15]
Selain pertanian sebagai mata pencarian masyarakat pulau Belitung, ada beberapa mata pencaharian yang lain yang juga menjadi sumber kehidupan semisal masyarakat yang tinggal pada daerah pesisir, secara otomatis akan menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Selain itu juga sejak masuknya Belanda ke Belitung sekitar awal abad ke 19 M dengan tujuan mengeksplorasi sumberdaya alam Belitung telah ada masyarakat lokal yang menjadi pekerja yang direkut secara langsung oleh Pemerintah Belanda dan ini berlangsung hingga masa eksplorasi yang dilakukan Belanda usai karena kemerdeaan RI dan bahkan setelah pengambil alihan fungsi eksplorasi timah oleh Pemerintah Indonesia masyarakat lokal masih ada yang menggantungkan hidupnya dari timah dengan menjadi pekerja pada Perusahaan Timah. Hanya saja persentasenya sangat kecil dibandingan mata pencaharian utama masyarakat Belitung pada umumnya dan masyarakat yang bermata pencaharian ini berpusat pada daerah-daerah yang menjadi tempat eksplorasi timah.  

  
C.    Religiusitas dan Pengaruhnya
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang paling pemurah, yang mengajarkan (manusia) dengan perantra pena.” (Q.S Al-alaq 1-4)
Berbicara mengenai religiusitas[16] berarti berbicara mengenai tata nilai yang berkembang di masyarakat. Baik itu Islami maupun “non” Islami. Religiusitas merupakan juga denyut jantung kehipan masyarakat, dia tumbuh dan berkembang seiring dengan pertubuhan budaya dan peradaban yang merupakan hasil stimulus dari kebudayaan. Religiusitas akan terus berproses dan dalam sifatnya yang kemudian bertransformasi mejadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah sistem sosial.
Jika religiusitas yang juga berfungsi sebagai tata nilai maka ia berkaitan erat dengan “pola pikir” yang hidup dalam masyarakat sehingga erat pula kaitannya dengan kebudayaan itu sendiri. Dalam perspektif ini, tata nilai yang melandasi gerak dan aktivitas individu dalam masyarakat ada hubungannya dengan literatur, pola pendidikan, wejangan-wejangan, idiom-idiom, kitab suci, buku-buku keagamaan, wasiat leluhur dan lain sebagainya yang digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan pola pikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Itulah tata nilai yang tumbuh dimasyarakat tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari realitas sosial yang melingkarinya.[17]
Selama ini kecacatan tata nilai kebanyakan terjadi akibat gagalnya proses dialogis yang mengabaikan satu sisi penting, yakni mengabaikan dimensi sejarah sehingga sehingga terkesan timbulnya gap dari tata nilai yang seharusnya (ought) dengan realitas yang ada (is). Jika gap yang ada di biarkan maka akan menimbulkan anarki pola pikir yang berdampak pada terbentuknya sistem sosial yang tidak menguntungkan bagi masyarakat itu sendiri.
Bentuk tata nilai yang ada dalam masyarakat Belitung tergolong berasal dari banyak sumber. Tidak hanya agama yang menjadi pembentuk utama namun sesuai dengan adat dan tradisi Melayu, banyak nya idiom-idiom yag tersebar di masyarakat baik dalam bentuk ajaran-ajaran moral dan mitos turut mempengaruhi pola pikir masyarat Belitung. Ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan bentuk penghormatan terhadap alam misalnya merupakan paketan tradisi leluhur yang turun-temurun yang tetap terjaga pada era tahun 1950-an hingga berakhir pda maraknya eksplorasi timah yag dilakukan masyarakat lokal dalam bentuk tambang inkonvensional.[18]
Sebuah fakta yang juga tidak bisa diabaikan, Melayu dalam sekalanya yang lebih luas, dikenal oleh dunia Islamic studies sebagai salah satu sember referensi utama mengenai kajian disiplin keilmuan Tasawuf selain India dan Parsi (sekarang Iran), namun sayangnya nili-nilai mengenai satu kajian dalam Islamic studies ini tidak menajadi tren sentra dalam keseharian masyarakat Belitung atau mungkin karena keterbatasan data yang didapatkan penulis sehingga belum mencium adanya tata nilai mengenai dimensi Tasawuf.[19]
Religiusitas sebagai tata nilai terkesan bersifat diaspora, tanpa adanya kejelian dalam melakukan kajian tidak menutup kemungkinan potongan-potongan dimensi yang memiliki andil dalam pembentukan religiusitas tidak terdeteksi. Belitung seperti yang telah disinggung sebelumnya memiliki sosio kultural yang berbeda dengan budaya lain. Kita tidak dapat dengan serta merta menyamakan unsur religiusitas masyarakat Belitung dengan masyarakat Pulau Jawa karena mereka memiliki nilai sosio kultural yang berbeda. Namun demikian, kenyataannya unsur ketidak samaan ini dominan pada sisi partikular (matter) dan terdapat kesamaan-kesamaan pada sisi universal (form). Sehingga diharapkan para pengkaji unsur religiuitas tidak terjebak pada tataran partikular saja namun juga harus melirik pada nilai-nilai universal yang terbangun.
Sebagian pemahaman masyarakat Belitung mengenai religiusitas yang berkaitan dengan nilai dogmatis dan teologis muncul tidak hanya berasal dari doktrin-doktrin kegamaan semata. Namun juga terdapat idiom dalam bentuknya yang baku, buah dari tradisi leluhur yang tersampaikan secara oral dan turun temurun.
Dalam prakteknya nilai religiusitas pada dasarnya memiliki tujuan dan kepentingan untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah tindakan politik, keagamaan maupun sosial. Kata benar disini di pandang sebagai pengeJawantahan bentuk pengabdian kepada Tuhan. Karena itu religiusitas sebagai tata nilai mengutamanakan semua penekatan-penekanan moral dan faktor-faktor psikologis yang melahirkan kerangka berfikir yang benar bagi tindakan. Tata nilai ini kemudian memeperingatkan kepada manusia terhadap kesombongan dan rasa cukup-diri (self-sufficiency), yakni humanism murni.[20]
Dewasa ini kita menyadari bahwa perubahan sosial adalah sesatu yang tidak mungkin terhindari. Kemajuan IPTEK yang dipandang sebagai bagian dari modernitas juga bak getah, melakat pada setiap individu masyarakat Belitung. Jika dulu anak-anak masa usia bermain menggunakan alat-alat yang sederhana dalam permainan mereka, kini sudah jauh berbeda. Jika dulu sepulang sekolah anak-anak usia bermain meyempatkan diri untuk datang kerumah “guru ngaji”, kini juga sudah demikian halnya.
Untuk menanamkan nilai religiusitas sebagai tata nilai bukan berarti IPTEK dan modernitas bukan pasangan yang cocok, namun menurut hemat penulis, hendaknya ada kesadaran diri pada setiap individu untuk menggali lebih jauh potongan-potongan pembentuk unsur religiusitas yang kelak akan mejadi identitas masyarakat Belitung.
­­--“Why should I claim to guide men before I myself am guided”--
(King Akbar)
D.    Pengaruh Religiusitas Pada Kaum Muda Belitung
Melalui kacamata sejarah, setidaknya ada 12 teori yang dapat teridentifikasi hingga saat ini yang menceritakan tentang pross masuknya Islam ke nusantara. Dari 12 teori yang diungkapkan salah satu teori yang dominan dan selama ini kita kenal adalah teori Gujarat yang oleh Ahmad Mansur Suryanegara disebut sebagai teori lama. Teori ini mendapat kritik dari HAMKA[21] pada tahun 1958 yang melahirkan teori baru yang disebut dengan teori Mekkah. Koreksi HAMKA ini disampaikan dalam Pidato Dies Natalis ke-8 Perguan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAI)[22] Yogyakarta pada tanggal 26 September 1959. Kritik ini pulalah yang disampaikan dan diperkuat oleh HAMKA dalam Seminar Sejarah Masuk Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963.[23] 
Terlepas dari perdebaan perihal masuknya Islam di nusantara, HAMKA sendiri pada dasarnya menolak konsep klasik dengan meyakini bahwa masuknya Islam pada abad 13 di nusantara karena pada kurun waktu tersebut telah berdiri kekuasaan politik Islam yang saat itu bertempat di Samudra Pasai (sekarang aceh). Dengan demikian, pengaruh yang kuat dari Samudra Pasai akan sampai pada daerah yang lain yang masuk dalam lingkup pulau Sumatra termasuk Belitung walaupun data yang berkaitan dengan masuknya Islam di Belitung pertama kali belum di dapatkan.
Perkiraan ini memang terkesan spekulatif, namun setidaknya jika memang masuknya Islam di Belitung terjadi setelah kurun waktu abad 13, tetap saja nilai dan pengaruh Samudra Pasai lebih dominan walau digantikan dengan sistem politik Islam yang lain (baca : Kerajaan Islam lain yang berdiri di Sumatra-Penulis).
Pada kurun waktu tahun 1950 agama yang berkembang di Belitung didominasi oleh Islam dan hingga kini masih tetap sama. Proses penyampaian paham keagamaan didapatkan secara turun temurun dari orang tua dan belajar secara langsung dengan “guru ngaji” walau entitas pertemuan tidak terlalu intens.[24]
Pemerintah dalam hal ini, pada kurun waktu tahun 1950-an juga telah membuat madrasah yang bertujuan memberikan pemahaman keagamaan dengan mendatangkan tenaga pengajar yang dominan dari Padang Pandang (Sumatra Barat), dan sebagian juga ada yang berasal dari pulau Jawa Khususnya Yogyakarta.[25]
Pengaruh religiusitas pada akhirnya akan mengarah pada tujuan yang berpangkal kepada kebajikan. Salah satu unsur yang ada semisal kehidupan yang “sakinah” (kedamaian) baik dalam tataran keluarga dan bermasyarakata hal ini telah disinggung dalam poin sebelumnya dalam tulisan ini bahwa religiusitas berarti berkaitan dengan tata nilai, namun tidak membicarakan bagaimana bentuk tata nilai tersebut.
Sebagai tata nilai, dengan keterbatasan sumber akses keagamaan pada kurun waktu 1950-an di Belitung, tidak menyurutkan niat dan semangat sebagian kaum muda pada saat itu untuk terus menggali potensi dalam bentuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun secara persentase jumlah yang memiliki keinginan untuk meneruskan pendidikan relative kecil dibandingkan yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun setidaknya semangat sebagian orang ini dikemudian hari menjadi contoh bagi generasi-generasi setelahnya.[26]
Disinilah kita temukan fakta bahwa pengaruh religiusitas yang kemudian membentuk tata nilai tidak hanya cukup pada sisi konsepsi saja, namun juga harus di telurkan dalam bentuk praktis, dimana setiap orang yang dalam masa on going process dapat melihat contoh-contoh yang kemudian mengantarkan dirinya pada tindakan dan tujuan akhir.
Religiusitas pada akhirnya tidak hanya sekedar dalam tataran konsepsi metafisik semata, namun juga dapat didekati secara ilmiyah. Tindakan dari segelintir kaum muda Belitung yang memberanikan diri jauh dari kedua orang tua dan sanak saudara oleh sebagian kalangan biasa disebut dengan the science of religion, atau the scientific study of religion atau juga sering disebut dengan the comparative study of religion. Karena nyatanya kaum muda tersebut (pada kurun waktu ini) dalam perjalanannya tidak hanya mempelajari kajian-kajian yang berkaitan dengan Islamic studies namun juga mengkaji kajian keilmuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang “non” Islamic studies.
Dengan demikian jika Ernest Gallner[27] menandai era postmodernisme dengan maraknya studi tentang fundamentalism, relativism dan deconstructionism, maka kaum muda Belitung pada masa itu sudah melakukan hal serupa dengan melakukan interkoneksi keilmuan yang baru-baru ini marak sekali diperbincangkan.
Kajian dalam sub judul ini secara akademik bukan bertujuan untuk memberikan batasan-batasan studi keilmuan yang di lakukan oleh segelintir kaum muda Belitung pada kurun waktu 1950-an tetapi lebih dimaksudkan untuk menerangkan implikasi dan konsekuensi religiusitas yang ada dalam diri kaum muda pada saat itu kemudian akan mampu kita kaitkan dengan keadaan realitas saat itu dan implikasinya hingga saat ini.
Dengan demikian, setelah kita mengetahui bagaimana kondisi sosial masyarakat Belitung pada saat itu mulai dari keadan geografis, mata pencarian, kondisi religiusitas dan juga bagaimana konsepsi pendidikan. Kini kita dapat membayangkan bagaimana usaha dan semangat yang ada pada segelintir kaum muda yang memberanikan diri meninggalkan pulau Belitung jauh dari orang tua dan sanak keluarga guna meneruskan jenjang pendidikan. Akhirnya, deskripsi bagaimana spirit dan semangat juang mereka akan di uraikan dalam bagian kedua dari tulisan sederhana ini.
 
   


  
  






















                                    Bagian Kedua
                       Refleksi Spirit Perjuangan dan
                       Pembebasan













2.   
       Refleksi Spirit Perjuangan dan
        Pembebasan

Didiklah dan persiapkan generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zaman mu” (Ali bin Abi Thalib)

Pesan dari Kalifah Ali bin Abithalib di atas sengaja saya kutip untuk menggambarkan spirit perjuangan dan pembebasan kaum muda Belitung generasi awal untuk meneruskan jenjang pendidian ke tanah rantau meninggalkan keluarga dan sanak saudara demi sebuah kata “cita-cita”.
Di balik pesan Khalifah Ali secara tersurat maupun tersirat pada dasarnya menggarkan betapa pentingnya arti dari sebuah pendidikan baik bagi diri sendiri maupun bagi generasi penerus yang juga kelak akan berorientasi pada sebuah kemajuan peradaban. Tidak lah ada satupun peradaban di muka bumi ini yang tidak bertopang pada ilmu pengetahuan baik empiris rasioanl maupun mistik metafisik semuanya merupakan satu kesatuan dalam kerangka besar ilmu pengetahuan. Mereka kaum muda generasi awal, adalah embrio semangat dan perjuangan para kaum muda saat ini dalam menempuh jalur dan jenjang pendidian. Kini dapat kita saksikan arus perubahan yang sangat signifian dari hasil semangat juang dan pemebebasan dari kaum muda generasi awal dalam dunia pendidikan.
Mau tidak mau, rela atau terpaksa hal ini telah menjadi fakta sejarah bahwa kini segenap jajaran Pemerintahan Belitung telah diisi oleh orang-orang yang berpendidikan. Cerdas secara akademik dan kenyang akan pengalaman. Mereka, hampir secara keseluruhan adalah aktor-aktor penerus semangat muda generasi awal yang juga melakukan hal yang sama. Meninggalkan Belitung, jauh dari orang tua dan sanak saudara demi merasakan jenjang pendidikan yang lebih baik.
Hendaknya di garis bawahi, tidak semua kaum muda Belitung memiliki latar belakang keluarga yang sama. Ada sebagian dari kaum muda hingga saat ini hanya semata-mata “bondo nekat[28] demi mencapai cita-citanya. Semangat kaum muda seperti inilah yang harus kita berikan apresiasi yang lebih dan kaum muda seperti inilah yang justru bisa lebih mampu meresap makna spirit perjuangan dan pembebasan kaum muda generasi awal.
Masih terngiang dalam benak penulis hingga saat ini ketika dalam percakapan kecil dengan salah satu senior yang kini bisa tersenyum riang buah dari usahanya yang lalu. Beliau bukanlah orang berada pada masanya. Kedua orang tua yang petani dimana hasil dari pertanian hanya cukup untuk menafkahi kehidupan sehari-hari nyaris memupuskan keinginan beliau untuk menempuh jenjang pendidikan selepas lulus SD di Belitung.
Selepas lulus SD tawaran sederhana di lontarkan orang tua laki-laki beliau pada saat itu dengan berkata “jang ko nak nyangkul ki bapak ape nak sekula” sambil tersenyum beliau meneruskan, entah waktu itu karena masih masa kanak-kanak atau karena memang adanya keinginan yang besar untuk terus sekolah bilau menjawab “sekulah pak”. Jawaban ini bukan tanpa konsekuensi.[29] Setelah mendengar Jawaban beliau kemudian orang tua beliau melanjutkan percakapan
mun ko nak sekulah, ke Jawe gilah ikut abang ko nok kereje bejual koran. Bantuk-bantuk belau lah disanak sambil ko sekulah. Jangan lupak shalat, belajar pandai-pandaila, bagi waktu juak pandai-pandaila, maaf misal bapak dak dapat ngirimek ko duit tiap bulan. Kini bapak bawaek ko surat kidang abang ko, mun la sampai sanak ko berik kan surat ini kan belau.”
Perkataan ini terbatas dalam bentuk kalimat, namun secara maknawi perkataan ini seperti tak terbatas menembus dimensi ruang dan waktu. Waktu itu penulis tidak bisa membayangkan seorang anak berusia 12 tahun pada saat itu harus meninggalkan keluarga demi sebuah cita-cita. Dengan kehidupan yang keras, bekerja sambil terus sekolah. subuh hari beliau loper Koran siang hari beliau ngasong di terminal dan terkadang di stasiun.
Cerita ini hanya sekelumit dari sekian banyak kisah yang di alami para kaum muda Belitung dalam menempuh jenjang pendidikan di tanah rantau. Namun dapat dipastikan setiap hati orang tua selalu menginkan anaknya mendapat pendidikan yang terbaik. Bukan demi kepentingan mereka tetapi demi masa depan anak-anak mereka yang lebih baik. Bukan untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai tempat bersandar bagi mereka dimasa tua layaknya parasit. Namun agar anak-anak mereka tidak memiliki nasib yang sama dengan mereka. Alangkah sangat disayangkan jika generasi penerus kaum muda saat ini telah mengalami reduksi nilai yang akut seperti yang kita saksikan saat ini. Karenanya, pengkajian nilai dari manapun sumber data yang didapat sangat penting kita lakukan dan menjadi tanggung jawab bersama.





A.    Spirit Perjuangan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
tidak ada yang abadi di dunia selain perubahan” (Heraclitus)[30]
Dewasa ini kita sering menemukan berita dengan tema “perjuangan” di media informasi baik cetak maupun elektronik. Perjuangan dalam makna nya, secara universal adalah usaha menuntut perubahan untuk menuju kepada sesuatu yang lebih baik. Sedangkan nilai partikular “perjuangan” bisa dalam bentuk apa saja. Pendidikan, penuntutan hak yang berkaitan dengan keadilan, usaha melepaskan diri dari kolonialism dan lain sebagainya adalah bentuk-bentuk perjuangan yang bersifat partikular semata.
Untuk melakukan suatu perubahan, sudah semestinya diawali dengan perjuangan karena perubahan tidak terjadi dengan sendirinya. Pada titik inilah letak kesulitan-kesulitan dan kesiapan dalam menerima segala bentuk konsekuensi. Inilah salah satu nilai penting yang harus di hayati kaum muda Belitung saat ini.
Sejak kurun waktu 1950-an hingga saat ini telah banyak  kaum muda yang memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikan, namun sangat dikhawatirkan karena adanya pergeseran paradigma (shift paradigms) dalam perjalanannya. Jika perjuangan kaum muda era 1950-an murni berusaha untuk menciptakan perubahan baik pada diri dan lingkungan, namun kini mulai bergeser pada materi sebagai tujuan.
Pergeseran paradigma ini oleh sebagian sejarawan diyakini sebagai bagian dari perjalanan sejarah, meminjam bahasa dari Manuel Castello, bahwa dunia terus mengalami perubahan dengan ditunjukkan kemajuan dari segala sisi seperti kemajuan teknologi informasi dan jaringan komunikasi yang kini terjadi secara global dan mempengaruhi segala bentuk persendian dalam kehidupan. Akibatnya kini manusia menjadi terintegrasi kedalam sistem pemahaman yang pluralistik.  Manuel Castelo memberikan bahasa untuk fenomena ini dengan istilah “Network Society” yang dicirikan dengan ragam aktivitas yang terkait dengan perekonomian, kemudahan pola komunikasi dan transformasi sejarah.[31]
Pada dasarnya bukanlah bertujuan memberikan penghakiman pada sebagian orang yang meyakini materi sebagai satu-satunya jalan keluar bagi permasalahan dalam kehidupan. Jika pemahaman ini dapat kita arahkan pada nilai dasar dari tujuan yang semestinya, maka shifting paradigms dalam maknanya tidak perlu terjadi. Setiap orang boleh saja tetap pada pendiriannya materi atau perubahan diri, namun tetap tidak melupakan nilai universal dari perjuangan, apa dan untuk apa perjuangan tersebut.
Perjuangan kaum muda Belitung dalam bidang pendidikan pada dasarnya adalah sesuatu yang memang dan harus dilaksanakan. Hal ini bertujuan agar kita dapat mempersiapkan diri pada segala bentuk perubahan saat ini dan masa yang akan datang. Mungkin kita sering menanyakan, mengapa kaum muda harus berjuang terutama dalam bidang pendidikan ?, sedangkan perjuangan ini belum tentu dapat kita nikmati di masa kini. Untuk menJawab pertanyaan ini mari kita kembalikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa perjuangan yang dilakukan adalah bertujuan melakukan perubahan dan perubahan terjadi memang bukan pada saat ini namun secara berangsur sesuai dengan seberapa besar perjuangan kita.
Disisi lain, pendidikan juga sangat penting guna menghadapi permasalahan-permasalahan di masa depan yang di prediksi akan dipenuhi dengan isu kemiskinan dan kesenjangan di era globalisasi.[32] Kaum muda Belitung, kaitannya dengan isu ini diharapkan mampu memantapkan kembali tujuan dari perjuanganya dalam bidang pendidikan. Menyiapkan sejak dini akan arus global yang penuh akan sosial and kultural encounter dalam bentuk interaksi.
Isu ini juga disinggung oleh Ahmad Tafsir dengan mengatakan,“kita akan memasuki pasar bebas. Ini berarti akan terjadi suatu interaksi antar Negara di dalam investasi, bisnis barang maupun jasa. Masyarakat Indonesia akan membuka diri bagi interaksi degan bangsa-bangsa lain. Interaksi ini menuntut bangsa Indonesia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan peningkatan kemandirian, kerja keras serta etos kerja yang tinggi dan sifat tahan uji bahkan tahan banting. Mengharapkan proteksi dari manapun akan sia-sia. Pasar bebas ini tidak hanya akan mempengaruhi aspek ekonomi, tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung.”[33]
   Disinilah letak makna perjuangan yang dilakukan para kaum muda Belitung sejak masa awal (diharapkan hingga saat ini) era 1950-an. Menjadikan dirinya menjadi orang-orang yang mandiri, memiliki etos kerja yang tinggi dan tahan uji dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Karena mereka menyadari bahwa hanya dengan berjuang demi pendidikan yang lebih baik maka akan menjadikan mereka orang-orang yang siap, ulet dan tahan banting.
Dalam mengahadapi perjuangan dalam dunia pendidikan, kaum muda Belitung berhadapan langsung pada 3 (tiga) hal yang penting yakni proses selama menempuh pendidikan, “network society” dan dirinya sendiri di sisi yang lain. Dalam menyikapi kondisi ini kaum muda Belitung harus mampu menempatkan diri bersama kedua hal yang lainnya dengan saling berhubungan.
Bagan 1.1 Pembentuk Tata Nilai Universal

Pendidikan
 

Kaum muda Belitung

Network Society
 





                                 

Tata nilai Universal
                                                                                                                         
            Ket :
-          Kaum Pemuda Belitung ditempatkan sebagai aktor sejarah pembentuk tata nilai universal.
-          Pendidikan sebagai salah satu hal yang sangat penting harus diperjuangkan sehingga diberikan tanda garis panah penuh (tidak putus-putus).
-          Pluralitas keilmuan menuntut kaum muda Belitung tidak hanya terpaku pada satu disiplin keilmuan semata, namun diharapkan juga menguasai basik-basik keilmuan yang lain.[34]
-          Digambarkan panah tidak penuh (putus-putus) menunjukkan bahwa masing-masing konsep dari keilmuan sangat bermanfat dalam kehidupan dan tidak ada dikotomi keilmuan, karena masing-masing konsep keilmuan bersifat kondosional dan kontekstual. Dalam bahasa lain tidak ada eksklusifitas keilmuan.
-          Kaum muda Belitung sebagai aktor sejarah akan selalu menghalami perjumpan (encounter) dengan kondisi sosial kekinian dan masa depan, dihubungakan dengan garis tidak penuh (putus-putus) bermakna, dengan tingkap pendidikan yang memadai dan tinkat religiusitas yang baik maka penaruh yang timbul di masa depan (network society), dapat disaring dan dambil sisi manfaat yang juga dapat digunakan dalam penbentukan tata nilai.
B.     Spirit Pembebasan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
Bagi kaum muda saat ini mungkin sub judul ini tidak memiliki makna yang berarti. “Spirit pembebasan”, apa yang harus di bebaskan, terkungkung dari apakah sehingga diperlukan pembebesan ?, jika memang diperlukan pembebesan, lalu pembebesan dari sisi apa dan apa yang dilakukan agar pembebasan tersebut terwujud.
Dalam realitas global saat ini yang di dalamnya meminjam bahasa Manuel Castello segai “network society” segla bentuk informasi komunikasi dipermudah. Setiap manusia dapat melihat realitas fakta yang terjadi dari segala penjuru dunia manapun tanpa lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Hal yang hanya menjadi mitos jaman dulu kini menjadi kenyataan fakta dengan bantuan teknoligi. Seseorang tanpa harus memindahkan jasmaninya ke Inggris untuk mengetahui keadaan ekonomi dan politik yang terjadi disana semua dapat diketahui melalui media E-Net yang kini juga sudah bukan barang langka.
Ini semua bagian dari pross perjalanan sejarah yang menempatkan manusia sebagai aktor yang menjadi pelaku dari semua kemajuan dan peradaban yang terbentuk. Sejak Aristoteles[35] yang membangkitkan semangat rasional keilmuan dengan jargonnya “al-insan hayawan an-natifun”, bahwa manusia adalah hewan (baca : Mahkluk-penulis) yang berfikir, landasan ilmu pengetahuan hingga abad ini pada dasarnya hanyalah catatan kaki yang dikembangkan dari rumusannya yang dicetuskan pada 2300 tahun yang lalu.     
            Konsep ini memang bukan tanpa kritik, karena rasional bukan lah satu-satunya cara untuk mencapai kebenaran, dalam hal ini Ghazalai menambahkan bahwa manusia bukan hanya mahkluk yang berfikir namun juga berahklak karena adanya landasan nilai spiritual yang langsung berasal dari Tuhan melalui utusan-utusannya. Karenanya manusia dalam hal ini harus mempu menempatkan dirinya secara bijak terhadap sumber-sumber keilmuan tersebut.
            Kaum muda Belitung dalam hal ini hendaknya juga berlaku bijak dalam menyikapi sumber keilmuan agar tidak ada kesan pengunggulan satu sumber keilmuan sehingga mengenyampingkan sumber keilmuan yang lain. Pembenaran terhadap satu sumber keilmuan saja akan menumbuhkan sifat sombong dan meremehkan orang lain, serta berakhir pada pembanggaan diri. Dalam hal ini Qur’an sendiri menegur dengan keras orang-orang yang demikian dalam (Q.s Al-a’raf :166, An-nisa’ : 36, Ibrahim : 21 dan lain-lain).
            Fokus pembebasan kaum muda Belitung, selain membebaskan dirinya dari kebodohan dengan jalan pendidikan juga membebaskan dirinya dari kehidupan euforia yang akut yang kebanyakan terjadi belakangan ini. Dalam hemat penulis, spirit pembebasan tidak akan pernah terwujud jika dua hal ini masih menjadi bagian keseharian dalam kehidupan kaum muda Belitung. Kebodohan yang dipertahankan dan sifat euforia yang bahkan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai salah satu budaya. Jika sudah menjadi budaya maka sudah dengan sendirinya menjadi peradaban, jika sudah menjadi peradaban maka sudah dengan sendirinya menjadi tata nilai. Pikiran-pikiran sempit sebagian kalangan inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi kaum muda dalam upayanya melakukan pembebasan.
            Upaya kaum muda dengan membebaskan dirinya dari kebodohan pada dasarnya adalah upaya untuk mengarahkan dirinya kepada hakekat sesungguhnya sebagai manusia dan pendidikan dalam ini adalah cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan pendidikan manusia mampu membentuk diri seutuhnya, mampu mengerti, mengenal dan memahami realitas sosial yang dihadapi. Dengan pendidikan pula kaum muda Belitung mampu menyadari potensi diri sebagai mahkluk yang berfikir (hayawan an-natifun), merasakan kehadiran jiwa spiritualnya dengan adanya interaksi dan rasa serta adanya kesadaran secara jasmaniah dengan memaksimalkan potensi diri yang dimiliki.
            Melalui kaca mata pendidikan proses pembebasan kaum muda Belitung dari kebodohan akan lebih mudah tercapai, dengan pendidikan pula segala bentuk perubahan akan tercapai tentu perubahan kepada yang lebih baik. Setidaknya demikian pendapat dari John Locke[36] yang mengatakan “Sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat di isi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan yang terus-menerus.” Karena dengan pendidikan kaum muda Belitung dapat tercerahkan paradigm, sikap dan prilakunya.
            Akan tetapi, selama ini kita sering mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan sebagai proses pendidikan. Jelas ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan. Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dan pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itu pun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekadar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, melainkan  dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.
Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia. Dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
             Faktanya, sering tanpa kita sadari poses pembebasan dari kebodohan yang dilakukan kaum muda Belitung kehilangan nilai yang paling fundamental. Pendidikan yang dalam cita-citanya bertujuan memanusiakan manusia, justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem pendidikan Barat yang dalam bahasa Paulo Friere[37] sebagai sistem pendidikan untuk kebebasan harus kita pertanyakan kembali. Makna kebebesan hingga saat ini yang selalu sampai di telinga kita adalah makna kebebebasan yang berasal dari Barat sebagai pengagas konsep. Jarang pemikir-pemikir dalam dunia pendidikan, berpikir lebih jauh apakah konsep mengenai kebebasan yang di lahirkan di Barat sesuai dengan kondisi Timur (Indonesia umumnya dan Belitung pada khususnya) jika kita kontektualisasikan.
            Dalam sudut pandang Friere kebebasan selalu terkait dengan kepentingan-kepentingan di muka bumi yaitu kepentingan yang masih bersentuhan dengan materialisme dan positivisme, tetapi belum mempunyai kaitan secara vertikal dengan wujud tunggal sebagai pencipta alam semesta. Hal ini yang kemudian melahirkan gagasan konsep pendidikan untuk kerja dan bukan pendidikan untuk pembebasan dari kebodohan. 
            Dalam menyikapi hal ini, kaum muda Belitung harus mampu mendialogkan konsep pendidikan yang berkembang hingga saat ini dengan unsur religiusitas. Karena dialog unsur religiusitas sangat bermakna dalam memberikan arti yang sesungguhnya terhadap pendidikan. Dengan sendirinya, setelah berjalannya dialog antara hal tersebut akan timbul kesadaran bahwa adanya kehadiran alam semesta adalah semata-mata sebagai realitas fisika yang berasal dari yang metafisik. Secara rasional dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep Arestoteles “Unmoved mover.[38]
             Jika proses kesadaran ini telah terbentuk, pendidikan dalam hal ini akan menemukan pakem yang tepat yakni cerdas secara intektual, emosional dan spiritual. Jika kaum muda Belitung sudah tercerdaskan secara emosi, intelek dan spiritual maka berarti makna pembebasan telah berjalan sebagaimana mestinya.
“Yang tua akan terganti, yang muda segeralah berbenah diri”














           












                                    Bagian Ketiga
 Historisitas IKPB








3.
HISTORISITAS IKPB
Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah” (Ir. Soekarno)
Ungkapan diatas disampaikan langsung oleh Bung Karno dalam sebuah pidato yang dalam judul nya beliau singkat menjadi “Jas Merah”, menandakan betapa penting dan berharganya sejarah[39]. Sejarah memang hanya sekedar peristiwa-periswa yang terjadi di masa lalu, usang dan termakan oleh waktu, namun implikasi dari sejarah akan terus melekat pada rentetan peristiwa lanjutan dari waktu ke waktu.
Tidak ada sebuah peradaban yang tidak didasari oleh peradaban sebelumnya, tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa ada yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penyebab peristiwa inilah yang kita sebut dengan sejarah. Pengetahuan kita akan suatu peristiwa masa lalu (baca : sejarah) akan membantu kita menentukan hal-hal yang akan kita laksanakan dimasa kini dan mampu memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa datang.
  Dalam kajian agama-agama, seluruh agama-agama di dunia menekankan pentingnya mempelajari kehidupan masa lalu terutama orang-orang yang shaleh dan memiliki pengaruh. Dalam Islam kita dituntut untuk mengetahui sejarah peradaban Bangsa Islam pada masa sebelum dan sesudah Nabi Muhammad, dalam Kristiani 4 (empat) injil utama ditulis orang-orang yang mengalami langsung peristiwa hidup dan bersama Yesus, dalam Yahudi bahkan di tekankan nilai pentingnya sejarah masa lalu yang masuk dalam salah satu idiologi mereka. Demikian juga hal nya dengan agama-agama yang lain seluruhnya menekankan pada pentingnya nilai sejarah.
Hingga saat ini disiplin keilmuan sejarah adalah hal yang sangat menarik untuk ditelisik dan dikaji. Walaupun dewasa ini di bawah dominasi pemahaman positivism terpaksa adanya pemisahan-pemisahan nilai-nilai sejarah, namun sejarah tetap pada pakemnya, bahwa dia sebagai masa lalu adalah bahan renungan para pelaku sejarah.
Para ahli sendiri pada dasarnya sepakat membagi sejarah menjadi tiga hal yakni, pertama sejarah sebagai peristiwa, kedua, sejarah sebagai cerita dan ketiga, sejarah sebagai ilmu. Dalam kaitannya dengan tulisan ini sekiranya sangat tepat jika kita menempatkan sejarah IKPB sebagai peristiwa sekaligus ilmu yang diharapkan dengannya banyak pelajaran dan warisan nilai yang didapat pada generasi sekarang ini.
Sejarah sebagai peristiwa sering juga disebut sejarah sebagai kenyataan dan sejarah serba objektif. Artinya peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi yang didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan baik berupa saksi mata (witness) yang dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources), peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan atau records.[40] Selain itu dapat pula peristiwa itu diketahui dari sumber-sumber-sumber yang bersifat lisan yag disampaikan dari mulut ke mulut. Setidaknya ada dua macam untuk sumber lisan tersebut. Pertama, sejarah lisan (oral history), ingatan lisan (oral reminiscence) yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh sejarawan.
Kedua, tradisi lisan (oral tradition) yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi. Apapun bentuknya, peristiwa sejarah, baru diketahui apabila ada sumber yang sampai kepada sejarawan dan digunakan untuk menyusun peristiwa berdasarkan sumber. Oleh karena suatu cerita sejarah sangat tergantung selain oleh kemahiran sejarawan itu sendiri juga kelengkapan sumber yang tersedia.[41]
Sedangkan sejarah sebagai ilmu, dalam kenyataannya kita seringkali menemukan definisi sejarah yang beraneka ragam. Baik yang menyangkut kedudukan sejarah dengan ilmu sosial atau sejarah sebagai bagian dari ilmu humaniora. Sejarah sebagai ilmu pada kerangka konseptual yang dilahirkan oleh para ahli sejarah.
A.    IKPB dan Latar Belakang Berdirinya
Pada kurun waktu 1950-an adalah tonggak awal perjuangan kaum muda Belitung dalam menempuh jenjang pendidikan di tanah rantau. Tiga tokoh pelopor yang meneruskan jenjang pendidikan, tidak sama halnya dengan keadaan kaum muda Belitung pada saat ini. Adalah Bpk. Abdul Kadir Hamid, Bpk. Husein Syarif dan Bpk. Hamdani Ali[42] yang ketiganya berasal dari daerah Gantung (pada saat ini masuk dalam wilayah Belitung Timur) memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikan di Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta (setingkat SLTA).[43]
Dalam perjalanannya, dari ketiga tokoh ini pada akhirnya memiliki masa depan yang berbeda. Bpk. Abdul Kadir Hamid yang notabene adalah anak dari Petinggi Timah[44] memilih untuk kembali ketanah kelahiran dan sebagai tenaga pendidik. Sedangkan tokoh yang kedua, Bapak Husein Syarif sekembalinya kembali ketanah kelahiran memilih berprofesi pegawai di Perusahaan Timah. 
Sedangkan tokoh yang terakhir, Bpk. Hamdani Ali mendapat takdir yang berbeda. Karena ketekunan dan kerja keras beliau mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Padang Pandang (Sumatra Barat) dengan bermodal beasiswa dari kepengurusan Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta serta meneruskan jenjang pendidikan ke al azhar Mesir. Tidak ada data yang otentik yang penulis dapatkan mengenai sepak terjang beliau selama menempuh pendidikan di Padang Pandang (Sumatra Barat) hingga akhirnya berhasil meneruskan ke al-azhar, bahkan keluarga beliau pada saat itu tidak mengetahui dimana dan bagaimana kondisi beliau.
   Sekembalinya dari tanah rantau, Bpk. Hamdani Ali disambut dengan suka cita oleh pihak keluarga, hal ini dapat dimaklumi karena beliau kembali dengan kebanggaan. Tidak tanggung-tanggung pada kurun waktu 1950-an beliau mampu menyelesaikan jenjang doktoral di al-azhar sebuah Universitas keagamaan Islam yang masih menjadi kebanggan umat Islam hingga saat ini. Dari hasil kerja kerasnya,  tentu saja beliau memiliki masa depan yang cerah, selain menjabat sebagai Badan Pemb. Dalam Departemen Agama (kini Kementrian Agama) Pusat, beliau juga pernah menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN Syarif HidayaTullah). Sebuah prestasi akademik yang membanggakan dan hendaknya dapat digunakan sebagai motivasi kaum muda Belitung saat ini.[45]
Walau tidak ada kaitannya dengan IKPB, namun tiga tokoh inilah yang kemudian sangat berpengaruh dengan memberikan spirit dan nilai kepada kaum muda Belitung setelah nya. Pada kurun waktu setelahnya 1950 akhir hingga kini geliat akademik kaum muda Belitung mulai nememukan ruh nya. Istilah celotehan orang Belitung yang biasa kita dengar dengar “nak di kemuluik[46] benar-benar diperankan oleh tiga tokoh awal tadi.
Tidak hanya Yogyakarta sebagai tujuan studi kaum muda Belitung pada generasi kedua ini, namun juga daerah-daerah yang lain di pulau Jawa seperi Jakarta dan Bandung. Jika kita tilik dari sisi historis pada masa itu sangat beralasan mengapa kaum muda Belitung pada akhirnya memilih daerah atau tempat selain Yogyakarta, yang salah satunya adalah adanya sokongan yang sangat memadai baik dari sisi biaya dan kesehatan dari Perusahaan Timah kepada kaum muda yang orang tuanya bekerja sebagai karyawan di Perusahaan tersebut.[47]
  Dalam perkembangannya, pada kurun waktu 1952 kaum muda Belitung akhirnya membentuk keplompok-kelompok kecil yang bersifat diaspora, baik yang ada di Jakarta, Bandung maupun Yogyakarta . Kelompok-kelompok ini dalam sarana yang ala kadarnya[48] masih mengusung spirit perjuangan dan pembebasan sehingga pada masa ini jugalah embrio kesadaran akan kebersamaan tumbuh dan berkembang yang pada puncaknya ditandai dengan terbentuknya IKPB sebagai satu-satunya organisasi Pelajar Belitung.
Sebelum membahas bagaimana dan apa alasan yang ada di balik berdirinya IKPB kita akan membahas dua organisasi kaum Muda Belitung yang sempat ada dan terbentuk sebelum adanya IKPB. Setidaknya sebagai refleksi diri dan pengetahuan bahwa kedua organisasi tersebut telah ada dan mengapa kemudian secara kenamaan menghilang.[49]


a.      Organisasi IPB (Ikatan Pelajar Belitung)
Setidaknya ada 3 (tiga) daerah tujuan kaum muda Belitung yang sebelumnya telah disinggung yakni Jakarta, Bandung dan Yogyakarta sebagai tempat tujuan meneruskan jenjang pendidikan. Hendaknya diketahui, pada kurun waktu ini 1950-an kaum muda Belitung masi meneruskan jejang pendidikan pada tingkat SLTA.[50]
Dengan latar belakang pola komunikasi dan adanya interaksi yang sulit antar pelajar pada saat itu muncullah tokoh-tokoh yang menyumbangkan idenya agar dibuat sebuah wadah yang dapat mengurangi kesulitan-kesulitan tersebut.[51] Walaupun ide ini telah ada sejak tahun 1950-an, namun ide ini baru terwujud pada tahun 1952 di Jakarta. IPB (Ikatan Pelajar Belitung) adalah nama dari organisasi tersebut yang berpusat di Jakarta pada tahun 1952.[52] Karena inisiatif ini juga bertujuan mengatasi sulitnya pola komunikasi dan interaksi antara pelajar yang ada di Jakarta dan Bandung, maka kemudian dalam perkembangannya IPB (Ikatan Pelajar Belitung) terdiri dari dua cabang yakni;
1.      IPB Cabang Jakarta
2.      IPB Cabang Bandung
Namun pusat dari organisasi ini tetap di tempatkan di Jakarta dengan berbagai alasan salah satunya selain sebagai ibu kota, juga lebih mudahnya pola interaksi komunikasi dan penyebaran informasi.
              Selain itu, beberapa tokoh organisasi IPB (Ikatan Pelajar Belitung) angkatan awal yang dapat kami sebutkan antara lain :
1.      Bpk. Moh. Kiram
2.      Bpk. Harun Smith
3.      Bpk. B.A Djaya
4.      Bpk. Daud Ali
5.      Bpk. K.A Ahmad dll
Layaknya sebuah organisasi lainnya IPB (Ikatan Pelajar Belitung) dalam bentuk formalnya mengadakan rapat pertama. Dalam rapat pertama ini diulas perihal kepengurusan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. dalam catatan yang didapat tempat kegiatan pertemuan pertama yang dilakukan IPB (Ikatan Pelajar Belitung) bertempat di Perguruan taman Siswa Jln. Garuda Jakarta.[53]
a.      Organisasi KPB (Keluarga Pelajar Belitung)
Sebagai salah satu tujuan studi kaum Muda Belitung di era 1950-an Yogyakarta adalah satu pilihan utama dari 2 (dua) daerah yang lain seperti Jakarta dan Bandung. Karena geliat akademik yang berkesinambungan dan adanya semangat yang besar dari kaum muda Belitung pada kurun waktu itu, maka di Yogyakarta setidaknya ada puluhan kaum muda Belitung yang meneruskan jenjang pendidikannya di kota ini.
Latar belakang berdirinya KPB (Keluarga Pelajar Belitung), berbeda dengan latar belakang berdirinya IPB di Jakarta. Timbulnya organisasi KPB (Keluarga Pelajar Belitung) dalam hal ini didiorong oleh adanya keinginan pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta untuk memiliki satu tempat hunian yang menjadi identitas budaya sekaligus tempat sentra kegiatan pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta. Suatu tempat hunian yang menjadi identitas budaya dan sentra kegiatan pada akhirnya mewujud menjadi Asrama yang hingga kini masi terjaga.
Secara kepengurusan KPB pada generasi pertama organisasi ini memiliki susunan pengurus antara lain :
Ketua              : Bpk. B. Hamdani Ali
Sekretaris        : Bpk. Zainudin Aba
Bendahara       : Bpk. Abdullah Sani Hamid (saat itu juga merangkap sebagai ketua Asrama)
Anggota          : Ibu. Hasnah
                          Bpk Hasyim dll
Anggota keseluruhan dari KPB generasi pertama ini berjumlah 30[54] anggota dimana dari 30 anggota 22 tercatat sebagai anggota Asrama. Pada masa awal KPB ini karena sebagian besar anggota tinggal di asrama maka proses komunikasi lebih mudah dan pola interaksi terus terjaga, karenanya tidak didapatkan kendala berarti ketika akan diadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan organisasi.
Asrama pelajar Belitung pada generasi pertama ini tidak lah sama baik dari sisi letak dan bentuk seperti Asrama Belitung yang ada saat ini dengan segala fasilitas yang kesemuanya disediakan oleh Pemerintah Daerah. Awalnya, Asrama pelajar pertama kaum muda Belitung di Yogyakarta bertempat di Patangpuluhan D 11/40,[55] dengan status kontrak. Tidak seperti halnya saat ini dimana Asrama sudah berstatus (aset) Pemerintah Daerah Belitung.
            Karena tempat yang dihuni oleh para pelajar Belitung masih berstatus kontrak maka pada tahun pertama keorganisasian KPB ini, mereka dibebani biaya sebesar Rp. 2500 sebagai biaya sewa selama 5 tahun. Dalam hal ini KPB langsung turut andil mengatasi permasalahan dan mencarikan solusi. Adalah Bpk. Muhammad Ali saleh yang pada saat itu bersedia meminjamkan uang sebesar yang dibutuhkan kepada pelajar Belitung untuk membayar cikal bakal Asrama di Yogyakarta tersebut.[56]
            Berkaitan dengan kegiatan, KPB lebih menitik beratkan pada kegiatan yang bersifat mengasah potensi diri. Baik dalam bentuk jasmaniah (olah raga) dan religiusitas-rohaniah (adanya pelatihan pidato keagamaan). Kegiatan-kegiatan ini berjalan dengan lancar karena adanya peran Bpk. Abdullah Sani Hamid selaku Ketua asrama dan sekaligus Bendahara KPB.
b.      Berdirinya IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung)
IPB dan KPB sebagai organisasi yang independen dengan latar belakang yang berbeda jika dilihat dari sejarah berdirinya pada akhirnya menemukan moment yang tepat pada tahun 1955 untuk bergabung (berfusi) menjadi satu dibawah satu bendera keorganisasian. Dalam proses penyatuan tersebut, ditahun yang sama para pelajar Belitung sekaligus pengurus kedua organisasi ini berkumpul guna membahas ide penyatuan dua organisasi ini menjadi satu organisasi yang mengayomi dan menjadi wadah inspirasi para pelajar Belitung.
Dalam pembahasan awal ide ini, terdapat perdebatan yang sengit antara masing-masing perwakilan. Namun karena adanya kesamaan tujuan, akhirnya kedua organisasi pelajar ini sepakat untuk difusikan menjadi satu ikatan dalam organisasi yang tunggal bagi para pelajar Belitung. Lebih lanjut pada saat memasuki masa-masa libur sekolah, dibentuklah kepanitiaan konferensi yang pada saat itu sepakat menunjuk Bpk. Abdullah Sani Hamid sebagai Ketua Panitia. Dipilihnya beliau sebagai Ketua Panita konferensi[57] selain pengalaman beliau sebagai Ketua Asrama dan pengurus KPB juga beliau memiliki kemampuan retorika yang baik, sehingga diharapkan konferensi ini dapat berjalan dengan lancar.
Pada bulan Mei 1955 konferensi dilaksanakan. Lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Kepala Kampit, lebih tepatnya di gedung MPB[58] Kecamatan Kelapa Kampit . Seperti halnya konferensi lainnya, dalam pelaksanaan agenda bersejarah ini dilengkapi dengan susunan kepanitiaan yang lengkap. Tokoh yang tercatat selain Bpk. Abdullah Sani Hamid selaku Ketua Panitia dalam konferensi adalah Bpk. Baharuddin Ibrahim dan Bpk. Jamluddin Syarif yang keduanya masuk dalam kepanitiaan konferensi.
Masing-masing organisasi sebelum ketuk palu sebagai perlambangan keabsahan fusi IPB dan IKPB, dihadiri oleh perwakilan antara lain,
-          IPB Cabang Jakarta    : Bpk. Sobron, Bpk. Daud Ali dan lain-lain
-          IPB Cabang Bandung : Bpk. Djamaluddin Syarif dan lain-lain
-          KPB Yogyakarta        : Bpk. Abdullah Sani hamid, Bpk. Abdullah Majid Hamid, K.A
                                      Sulaiman Yusuf dan lain-lain[59]
Dari data yang penulis dapatkan mengenai jalannya peristiwa bersejarah dalam IKPB ini memang  tidak sesempurna yang diharapkan, namun setidaknya dan yang paling penting dalam sudut pandang penulis adalah hasil yang dicapai dari konferensi tersebut.
            Hasil dari konferensi yang diadakan di MPB kecamatan kelapa Kampit pada tanggal 13 Mei 1955 memutuskan penyatuan organisasi IPB yang berpusat di Jakarta dan KPB yang berpusat di Yogyakarta dengan memberikan nama IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung) sebagaimana hasil dari fusi kedua organisasi tersebut. Nama ini dinilai adil karena dianggap mewakili nama dari kedua organisasi awal yang difusikan. Dalam konferensi ini juga diputuskan Bpk. Abdullah Sani Hamid sebagai ketua pertama IKPB. [60]
            Penting untuk diketahui, pasca pelaksanaan konferensi dana yang masih tersisa saat itu adalah sebesar Rp. 50.000, dana ini berikutnya digunakan untuk membayar biaya kontrak Asrama Pelajar Belitung yang ada di Cibinong Jawa Barat. Dengan berdirinya IKPB pada tanggal 13 Mei 1955, maka dimulailah perjalaan sejarah IKPB degan berpijak pada satu tujuan bersama yakni memperjuangkan dan membebaskan kaum muda Belitung dari kebodohan dan berbuat yang terbaik demi kemajuan Belitung dimasa datang.
            Sebagai sebuah oraganisasi yang baru terbentuk, IKPB sentak langsung mengadakan beberapa kegiatan yang pelaksanaannya di lakukan pasca konferensi. Fokus kegiatan pada saat itu adalah mengupayakan agar para pelajar yang ada di tiga tempat tujuan utama para pelajar dapat terbangun Asrama yang kemudian diharapkan dapat mempermudah proses belajar dan pusat kegiatan bagi para pelajar.
Beberapa kegiatan yang tercatat dalam tulisan Bpk. Sulaiman Razak adalah,
-          Pagelaran malam kesenian yang diadakan para pelajar Belitung dengan tujuan pengumpulan dana.
-          Mengadakan pendekatan Kepada Pemerintah Daerah, sebagai salah satu upaya mencari dukungan pemerintah dalam bentuk materiil.
Hasilnya, dari beberapa kegiatan awal yang dilakukan di tanah asal ini setidaknya para pelajar generasi pertama ini akhirnya berhasil mewujudkan rencana awal berdirinya Asrama di 3 (tiga) kota yang menjadi basis tujuan para pelajar pada saat itu dan hingga saat ini. Menjadi penting untuk diketahui keberhasilan dari berdirinya 3 (tiga) Asrama yang di rintis oleh generasi pertama pelajar Belitung ini juga tidak terlepas dari dukungan yang diberikan Pemerintah Daerah. Tiga Asrama tersebut dapat kami sebutkan antara lain,
-          Asrama pelajar Belitung yang ada di Jakarta tepatnya di Jln. Kemayoran kecil.
-          Asrama pelajar Belitung yang ada di Bandung tepatnya di Jln. Supratman.
-          Asrama pelajar Belitung yang ada Yogyakarta tepatnya di Jln. Bumijo-Lor.[61]
A.    Nilai-Nilai Yang Diusung 
Dalam sejarah terbentuknya IKPB yang merupakan fusi antar dua organisasi pelajar Belitung yang ada di tempat yang berbeda, terdapat nilai-nilai yang dapat dipetik sebagai pembelajaran bagi generasi yang akan datang. Inilah setidaknya makna dari ungkapan yang dimaksud dari Bung karno dengan “jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Nilai-nilai yang ada memang tidak dalam bentuk tulisan-tulisan yang dapat dengan mudah kita dapatkan. Namun nilai-nilai ini tersirat dalam bentuk laku dan semangat yang disusung para pelajar Belitung generasi pertama. Semangat kebersamaan, kesamaan asal dan adanya kesadaran saling membutuhkan sebagai bagian dari fitrah manusia adalah hal yang tidak bisa dihindari sehingga dibawah pondasi kesadaran inilah maka IKPB terbentuk.
Dalam IKPB tidak pernah melihat perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan aksen bahasa lebih-lebih latar belakang yang berkaitan dengan keyakinan. IKPB semata-mata organisasi para pelajar Belitung yang hendak mengembangkan dirinya, mau berjuang dan semangat dalam pembebasan diri dari kebodohan. Jika kembali melirik sejarah terbentuknya IKPB mungkin kita akan tersentak, bagaimana keterbatasan sarana dan alat komunikasi yang kini tidak dialami, tidak menjadi penghalang bagi mereka melakukan sebuah gebrakan demi terciptanya tata nilai yang dicita-citakan. Tidak tergambar egoisitas diri, tidak terlihat gambaran kepentingan-kepentingan pribadi, yang terlihat adalah usaha untuk membangun diri bersama berangkat dari kesamaan nasib dan cita-cita.
Belitung, sebuah pulau yang dibatasi oleh lautan jika kita lihat dari sisi manapun bukan lah penjara yang dapat membatasi gerak para kaum muda. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya kaum muda Belitung yang memberanikan diri keluar dari tempat asalnya ketempat yang mungkin belum sekalipun pernah dia pijak sejak kurun waktu 1950-an, bahkan hingga saat ini tradisi ini terus berjalan seiring dengan berkembangan kesadaran walau dibarengi dengan beragam kepentingan. Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan, bagimana rasanya ketika bertemu dengan orang sekampung halaman ketika berada di tanah rantau. Kita bisa dengan leluasa menggunakan bahasa ibu kita, juga bisa dengan leluasa bertingkah sesuai dengan adat dan kultur kita dan perasaan ini adalah hal yang sangat tidak ternilai harganya.
Dengan adanya IKPB yang telah didirikan oleh para pelajar Belitung sejak tanggal 13 Mei 1955, para pelajar dapat saling berinteraksi dengan pelajar yang juga berasal dari Belitung di tanah rantau hingga detik ini. Tidak hanya berinteraksi tentu saja, para pelajar memiliki kesempatan mengembangkan dirinya, berkarya dan melakukan terobosan-terobosan yang bermanfaat bagi dirinya dan daerah asalnya.
Selain itu, Secara kodrati manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak atas dirinya sendiri. Kehendak ini kemudian mengejawantah dalam bentuk tindakan dan laku keseharian yang kemudian akan terkait dengan sistem nilai (etika, estetika). Manusia sebagai mahkluk yang otonom pada saat yang bersamaan juga pada dasarnya akan membutuhkan individu yang lain dalam melaksanakan kehendaknya. Inilah yang kemudian mendorong manusia untuk saling berinteraksi dan berkerjasama.
            Lebih lanjut, jalinan interaksi akhirnya membentuk pola sosial sehingga manusia dalam hal ini juga disebut sebagai mahkluk sosial. Hal ini ditandai dengan kebutuhan manusia terhadap manusia yang lain dalam kehidupannya. Sering kita melihat adanya individu yang memilih untuk meninggalkan kehidupan dunia, mengasingkan diri dari keramaian dengan alasan mencari hahkekat dirinya yang sesungguhnya. Pola pikir yang seperti ini pada dasarnya tidak salah, hanya saja kurang tepat jika alasan untuk mengasingkan diri adalah justru untuk mencari hakekat dirinya. Progresifitas diri hanya bisa dicapai dengan adanya pola interaksi dan komunikasi antar individu. Pembacaan yang continue terhadap diri dapat dilakukan secara bersamaan dengan pola interaksi.
             Bpk. A. Kiram dan Bpk. Harus Smith[62] misalnya, adalah tokoh yang peka terhadap keadaan dan kondisi pelajar Belitung pada saat itu. Di era tahun 1950-an adalah masa-masa sulit karena sarana dan prasarana yang terbatas, sehingga diperlukan adanya sebuah organisasi yang mampu mewadahi para pelajar di Jakarta dan Bandung sehingga dengan semakin mudahnya interaksi, kebersamaanpun akan terjalin dengan sendirinya. Usaha generasi awal pelajar Belitung ini mencapai puncaknya pada tanggal 13 Mei 1955 dengan berdirinya IKPB sebagai organisasi pelajar Belitung. Dapat kita lihat bagaimana kebersamaan ini di bangun, pelajar Belitung yang berada di tanah rantau saling bahu-membahu dan melengkapi tidak ada konflik dalam skala besar yang berarti, perbedaan daerah tempat rantau juga tidak menjadi permasalahan. Mereka duduk bersama, guna mencapai satu tujuan yang hingga kini hasil dari perjuangan dan usaha para “senior” IKPB ini hendaknya menjadi pelajaran bagi pelajar Belitung saat ini dan masa yang akan datang.         
B.     Pembudayaan nilai
Selanjutnya kita akan mendekati nilai-nilai yang disusung oleh IKPB dengan pendekatan SRP (Sciencetific Research Program) Imre Lakatos[63], dalam upaya memahamkan potongan-potongan nilai yang diusung oleh IKPB. Dalam Sciencetific Research Program yang ditawarkan Lakatos setidaknya ada 3 poin yang dapat diimplikasikan dalam kaitannya penerapan nilai-nilai yang diusung oleh IKPB. Metode ini dinilai pas dalam mengarahkan pola pikir dan semangat pelajar saat ini agar tidak bergeser dari tujuan awal para pendiri IKPB.
Dalam konsep Lakatos setidaknya ada ada 3 (tiga) hal penting yang hendaknya dipahami terlebih dahulu, yaitu inti pokok program, heuristik negatif, heuristik positif.
a.       Inti-pokok program merupakan sesuatu yang menentukan ciri-ciri suatu program, sebagai hipotesa teoritis yang sangat umum yang menjadi dasar program yang akan dikembangkan.[64] Sebagai contoh inti-pokok astronomi Copernicus merupakan asumsi bahwa bumi, planet-planet mengitari matahari, dan bumi berputar pada porosnya sendiri sekali sehari.
b.      Heuristik negatif inti pokok program merupakan program terperinci yang menetapkan asumsi-asumsi dasar yang melandasi program itu, seharusnya jangan sampai ditolak atau dimodifikasi. Inti pokok program dilindungi dari ancaman falsifikasi oleh suatu lingkaran pelindung (Safety belt). Yang terdiri atas hipotesa-hipotesa pendukung kondisi awal.
c.       Heuristik Positif meliputi bimbingan garis besar yang menunjukkan bagaimana program riset itu dapat dikembangkan. Perkembangan itu memerlukan perlengkapan bagi inti-pokok program dengan asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena yang  sudah dikenal lebih dahulu dan meramalkan fenomena baru.  Berhasil atau tidaknya program riset itu sangat tergantung pada seberapa jauh program riset itu sukses atau gagal melakukan temuan baru.[65]
Dalam penerapan konsep Laktos bagi nilai dasar yang diusung oleh IKPB kita akan menempatkan nilai dasar tersebut pada “hard core” (kebersamaan, saling membutuhkan dan progresifitas) dan “protecting  belt” kita menggunakan pluralitas disiplin keilmuan yang di menjadi kajian studi para pelajar Belitung saat ini, kita kategorikan saja mejadi tiga kategori seperti Kajian Science, Sosial, Agama.
Langkah pertama, “hard core” hendaknya kita pahami sebagai sesuatu yang menentukan cirri-ciri program, sebagai hepotesa teoritis yang sangat umum yang menjadi dasar program yang akan di tuju dan dikembangkan. Kebersamaan, rasa saling membutuhkan dan progresifitas adalah “asumsi“ sebagai konsep umum yang akan di tuju dan di kembangkan.
Langkah kedua, heuristic negative. Setelah memahami “hard core” yang melandasi program, pelaku riset hendaknya tidak melakukan penambahan dan perubahan terhadap “hard core” yang telah ditentukan serta tidak terjerumus dalam modus tollens[66], dalam hal ini Lakatos mengatakan,
“The idea of `negative heuristic' of a scientific research programme rationalizes classical conventionalism to a considerable extent. We may rationally decide not to allow `refutations' to transmit falsity to the hard core as long as the corroborated empirical content of the protecting belt of auxiliary hypotheses inerceases”.[67]
Sebagai gantinya kita akan menggunakan kemampuan akademik dari masing-masing disiplin keilmuan untuk mengartikulasikan dalam upayanya membentuk hipotesis pendukung, yang mana suatu lingkaran pelindung mengelilingi inti pokok dan kita harus mengarahkan kembali pada modus tollens pada hipotesis pendukung (masing-masing disiplin keilmuan pelajar Belitung).
Poin ketiga, pada tahap ini kemudian tampak bagaimana progress dari penerapan “protecting belt” (masing-masing disiplin keilmuan pelajar Belitung). Perkembangini akan mengarah pada pebudayaan “hard core” yang akan terlihat pada fenomena keseharian. Nantinya dari fenomena-fenomena yang ada dapat di ramalkan bentuk perkemgan-perkembangan yang baru.tentu saja perkembangan-perkembangan yang ada tetap tidak melenceng dari “hard core” yang telah ditentukan. 
Skema Pembudayaan Nilai Melalui Konsep SRP

Merupakan hipotesa pendukung yang melindungi hard core

Hard core
 
                                                                         
    “protecting belt”





           
            Penerapan kosep Lakatos di atas pada dasarnya adalah salah satu upaya agar nilai-nilai yang terkandung dalam IKPB dapat dibudayakan dengan maksimal oleh para pelajar Belitung yang ada di tanah rantau baik pada saat masuk dalam kepungurusan atupun telah keluar dari kepengurusan ditandai dengan berakhirnya masa studi. Diharapkan dengan melekatnya nilai para pelajar Belitung mejadi pelajar yang memiliki tingkat progresifitas yang tinggi pada bisangnya masing-masing. Bagi penulis sendiri kata progresif yang digunakan pada dasarnya masih menjadi suatu polemik. Karena ketika kata ini dikaitkan dengan keorganisasian term dari keorganisasian itu sendiri adalah progresifitas.
              Sebenarnya pemilihan kata progresifitas dari penulis tidak berupaya menghapus fakta unsur progresifitas yang ada pada IKPB sebagai sebuah organisasi yang senantiasa berkembang dan berharmonisasi (dalam beberapa sisi) dengan time and place. Namun lebih untuk mewakili semangat untuk menantiasa berkembang dan berharmonisasi tidak saja pada terjadi pada time and place masa lalu namun juga saat ini, dengan membawa seluruh pola nilai masa lalu dan kembali di kontekstualisasikan. Tidak dalam bentuknya yang baku namun dalam bentuk nilai yang pada dasarnya bersifat universal.
            Selain itu, sebagai salah satu wujud alternative dari sebagian konsep penerapan, penulis sengaja memilih SRP gagasan Lakatos sebagai salah satu konsep yang pas dalam pembudayaan nilai. Hal ini bukan berarti membatasi bagi sebagian orang yang memiliki pandangan yang berbeda (personal piety). Namun setidaknya konsep ini dapat membantu di tengah fakta pluralnya disiplin keilmuan yang dimiliki oleh para pelajar Belitung.
            Nilai penting dari pembudayaan nilai ini adalah keteguhan hati dalam merangkul segala bentuk perbedaan pemikiran yang sekiranya memiliki tujuan yang sama. Hal ini menjadi penting karena adanya perbedaan-perbedan pemikiran ini maka sebuah organisasi jadi lebih memiliki warna. Dengan semangat dalam menangungi kemajemukan yang ada dalam organisasi, maka dengan secara sendirinya mengarahkan organisasi pada kemajuan dan tercapainya cita-cita dari organisasi tersebut. Tidak perlu dikhawatirkan, karena perbedaan pola pikir dan gagasan pada dasarnya tidak hanya terjadi dalam IKPB sebagai organisasi pelajar, namun seluruh organisasi juga mengalami hal yang sama. Justru disinilah letak pembelajaran, sejauh mana kita mampu mengembangkan dan mempersiapkan diri dalam menerima segala perbedaan pandangan dalam berorganisasi.
































      Bagian Keempat
 IKPB Dahulu, Kini dan Nanti
















4.   
         IKPB saat ini

Manusia pada hakekatnya adalah mahkluk sosial. Ia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menjamin kelanjutan hidupnya diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan sosial atau biasa disebut dengan the sosial needed. Berbeda dengan kebutuhan lain yang dimiliki manusia bahwa kebutuhan sosial hanya dapat dipenuhi dengan kerjasama dengan manusia lain. Dengan pengertian lain manusia tidak dapat memuaskan semua kebutuhan hidupnya dalam dengan kesendirian, hal ini merupakan suatu aspek yang melahirkan berbagai bentuk kerjasama antar sesama manusia. Hal inilah yang menjadi inspirasi dari Bpk. A. Kiram dan Bpk. Harun Smith sebagai pengagas IPB dan Bpk. Hamdani Ali dan kawan-kawan mendirikan KPB di Yogyakarta. 
Kerjasama beberapa orang yang memiliki kesamaan tujuan inilah yang kemudian biasa kita sebut dengan organisasi.[68] Organisasi lahir merupakan kehendak manusia itu sendiri mahkluk yang dalam hidupnya selalu memiliki rasa saling ketergantungan untuk mencapai kepuasan. Dari kelompok kerjasama yang pada mulanya sederhana, semakin berkembang manusia semakin terdorong untuk meningkatkan bentuk organisasinya dalam upayanya menjawab tantangan dalam memenuhi kebutuhan sosial kehidupannya.[69]
  IKPB dalam hal ini, sejak pertama didirikan hingga saat ini telah berupaya memenuhi segala bentuk kebutuhan yang diperlukan oleh para pelajar Belitung yang ada di tanah rantau. Ini dapat dilihat dengan agenda pertama para pendiri dengan berupaya mendirikan Asrama mahasiswa yang kini bisa dinikmati para pelajar Belitung. Sebagai sebuah organisasi pelajar, IKPB pada kurun awal pada dasarnya telah menghasilkan sebuah pencapaian yang luar biasa. Selain mampu memobilisasi para pelajar Belitung yang terpisah pada masanya juga mampu menggerakkan para pelajar untuk bersatu dalam satu kegiatan yang dampaknya tidak hanya bermanfaat pada masanya namun juga dapat dirasakan hingga kini. Semangat inilah yang setidaknya harus di ketahui oleh para pengurus yang ada di IKPB hingga masa yang akan datang. Hal ini dapat diketahui dengan membaca kembali sejarah para pendiri dan bagaimana semangat yang diusung.
IKPB sejak kurun waktu 1955 adalah satu-satunya organisasi pelajar yang menaungi seluruh pelajar Belitung. Perlu disampaikan bahwa kata pelajar tidak hanya identik dengan “mahasiswa” namun juga jenjang pendidikan yang berada di bawahnya dalam bentuknya secara struktural pendidikan. Hal ini harus disampaikan guna penegasan atas pemahaman yang berkembang bahwa IKPB hanya milik “mahasiswa” dan pelajar yang “belum” mahasiswa tidak berhak menjadi bagian dari IKPB. Itulah sebabnya mengapa para pendiri IKPB dulu menggunakan kata “pelajar” dalam kaitannya dengan IKPB dan bukan “mahasiswa” dan bahkan dua organisasi sebelumnya yang pada 13 Mei 1955 difusikan mejadi IKPB juga menggunakan kata yang sama yakni “pelajar”.
Guna lebih memantapkan pemahaman kita mengenai organisasi dan memudahkan para pelajar Belitung yang saat ini akan dan atau sedang masuk dalam kepengurusan organisasi maka setidaknya ada beberapa hal yang hendaknya dipahami antara lain,
-          Organisasi sebagai suatu sistem
-          Pondasi-pondasi organisasi
-          Proses pengorganisasian
-          Hierarki organisasi
Pertama, Orgisasi sebagai suatu sistem. Pengkajian mengenai organisasi sebagai suatu sistem pada dasarnya dapat diketahui melalui definisi dari organisasi yang telah disampaikan diatas. Dalam suatu sistem telah banyak dikemukakan bahwa organisasi adalah suatu kelompok elemen-elemen yang saling terhubung dan berkaitan satu sama lain. Organisasi sebagai suatu sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram berukut ini :
Organisasi Sebagai Suatu Sistem

Lingkungan
Input                                                                                       Output

proses
 




suatu sistem memiliki tiga komponen atau elemen utama yaitu (1) Input, (2) proses  dan (3) output. Ketiga komponen ini dalam sistem saling terkait satu sama lain, sehingga beberapa hal atau kenyataan dalam ala mini dapat disebut sebagai suatu sistem. Misalnya seekor semut, seorang manusia, sebuah jam tangan dan lain sebagainya.[70]  
Kedua, pondasi-pondasi organisasi. Setiap organisai ternasuk IKPB pada dasarnya berupaya agar dalam menjalankan roda organisasinya dapat dijalankan dengan lancar agar sampai pada tujuan yang hendak dicapai. Salah satu sarana yang dipandang cukup penting adalah dibangun suatu yang efektif serta mempunyai ketahanan yang kuat. Efektivitas dan ketahanan suatu organisasi selalu berkaitan dengan kesanggupan para Pembina  organisasi dalam mempergunakan berbagai prinsip atau landasan yang biasa disebut dengan pondasi-pondasi organisasi. Banyak istilah yang digunakan untuk pondasi organisasi misalnya ada para ahli yang menggunakan istilah asas-asas organisasi, prinsip-prinsip organisasi atau landasan-landasan organisasi. Kelemahan dalam penerapan dasar organisasi dapat merupakan sumber yang sangat mempengaruhi perwujudan tujuan organisasi walau dalam prosesnya mempunyai dukungan material dan sarana yang memadai.[71]
Ketiga, proses pengorganisasian. Merupakan proses menyusun organisasi formal dengan melakukan aktivitas merancang struktur, menganalisa pekerjaan, mengkoordinasikan pekerjaan serta memantau pelaksanaan pekerjaan. Adapun tiga langkah sebagai prosedur pengorganisasian antara lain,
-    Pemerincian pekerjaan yaitu menentukan tugas-tugas yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi
-    Pebagian beban pekerjaan kepada orang-orang yang memiliki kualifikasi yang tepat dan dengan beban yang rasional, tidak over loaded dan tidak terlalu ringan agar mencapai pelaksanaan secara efektif dan efisien.
-    Pengadaan dan pengembangan mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan.[72]
Menjadi penting untuk diketahui bahwa koordinasi sangat diperlukan agar terjadi kesatuan tindakan dalam usaha sehingga dalam upaya pencapaian tujuan dapat lebih mudah di capai. Jika proses koordinasi mengalami permasalahan maka juga dalam perjalanannya keorganisasian akan mengalami hambatan.

Koordinasi adalah :
pengaturan tata hubungan yang dilakuakan secara bersama

Untuk memperoleh kesatuan tindakan dalam usaha pencapaian tujuan
 



Koordinasi antara lain bertujuan untuk mencegah,
-          Konflik dan kontradiksi.
-          Persaingan yang tidak sehat.
-          Pemborosan.
-          Kekosongan ruang dan waktu.
-          Terjadinya perbedaan pendekatan dalam pelaksanaan.[73]
Keempat, setelah kita membahas tentang berbagai pondasi yang diperlukan dalam suatu organisasi agar dapat berjalan dengan lancar, maka dalam bagian ini kita mencoba untuk menelaah secara lebih rinci tentang jenjang organisasi atau “herarchi[74] organisasi sebagai salah satu asas yang tidak kalah pentingnya. Tujuan organisasi akan menentukan struktur organisasinya, yaitu dengan menentukan seluruh tugas dan pekerjaan, hubungan antar tugas, batas wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan masing-masing tugas tersebut.
Bila dikaji lebih jauh hahekat suatu jenjang organisasi atau hierarkinya adalah perbedaan antara peranan dari status atasan dan bawahan. Dengan kata lain pengurus yang posisinya lebih tinggi berhak menggunakan wewenanag sesuai denga posisinya terhadap bawahan. Sebaliknya bawahan diharapkan dapat menerima wewenang dan mempertanggung jawabkan pelaksanaan wewenang kepada atasannya, demikain prosesi secara hierarki kepengurusan dalam keorganisasian.
Sebelumnya telah disinggung bahwa hierarki adalah asas yang penting dalam suatu organisasi terutama dilihat dari pendekatan pembagian tugas, wewenang dan tanggung Jawab kepada masing-masing pengurus. Tanpa hierarki organisasi yang jelas maka wewenang dari semua individu dalam organisasi tidak jelas sama sekali. Jika terjadi ketidak jelasan, maka kemungkinan terjadi over-laping sangat besar, yang kemudian akan mengakibatkan iklim organisasi akan semakin tidak menentu dan pada akhirnya akan menghambat pencapaian tujuan pada organisasi itu sendiri.
Berdasarkan kepraktisan kerja dalam organisasi sebaiknya jangan terlalu panjang dan luas, karena jenjang organisasi yang terlalu panjang dapat mengakibatkan hambatan. Dikatan hambatan karena perintah, petunjuk, putusan dari pucuk pimpinan akan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai kepada kepengurusan yang ada di bawahnya. Sebaliknya laporan atau pertanggung Jawaban dari bawah memerlukan waktu yang lama untuk sampai kepada atasan sehingga menimbulkan kecenderungan pimpinan akan mengadakan hubungan langsung dengan struktur kepengurusan yang berada dibawahnya tanpa terkontrol. Tentang struktur yang jumlahnya sedikit dan jenjang yang pendek, Peter Drucker mengatakan,
Hardlly less important is the requirement that the organization structure containt the least possible number of management levels, and forge the shortes possible chain of command.[75]
A.    Pasang Surut IKPB
Dalam sub ini akan dipaparkan beberapa data sejarah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di dalam kepengurusan IKPB. Baik yang berkaitan dengan peristiwa yang mengancam keberlangsungan organisasi maupun yang mendukung keberlangsungan keorganisasian. Paparan data sejarah bersifat random metod karena sejak IKPB didirikan pada tahun 1955 tidak banyak data sejarah yang dapat diselamatkan. Arsip mengenai data sejarah yang terakhir dapat diselamatkan dan sampai ke tangan penulis berasal dari Bpk. Nazwar Chalidin Amar dan Bpk. Sulaiman Razak (Alm) tercatat pada kurun waktu 1983-1985.
Sangat disayangkan, sejarah IKPB selama kurun waktu 1955-1980-an tidak banyak yang dapat diselamatkan sehingga gambaran yang dapat penulis sampaikan terasa kurang lengkap. Diharapkan suatu saat ada para penerus anggota IKPB yang bersedia meluangkan diri lebih intens dalam mengumpulkan data-data yang mungkin tercecer sehingga penjabaran mengenai sejarah IKPB yang berkaitan dengan pasang surutnya organisasi ini dapat lebih lengkap.
a.      IKPB dan Isu Politik
Tercatat peristiwa ini terjadi pada kurun waktu 1980-an dimana pada saat itu IKPB Jakarta di ketuai oleh saudara Murdifi. Pada masa kepemimpinannya, IKPB Jakarta yang biasa disebut dengan IKPB Djaya mulai ada kecederungan memasukkan organisasi ini ke ranah politik pada saat itu. Hal ini di tunjukkan pada beberapa kebijakan antara lain menebarkan isu dualism makna huruf “P” pada IKPB menjadi dua arti yakni “pelajar dan pemuda”.[76] Konsekuensi dari dualism pemaknaan ini akhirnya menimbulkan kerancuan yang pada masa itu benar-benar dirasakan oleh kepengurusan Asrama yang ada di Jakarta.   
Asrama IKPB yang ada di Jakarta dimana seharusnya di peruntukkan bagi para pelajar yang meneruskan jenjang pendidikan.[77] Justru dengan adanya makna dualism pada huruf “P” kini juga didiami oleh para pemuda Belitung yang tidak dalam masa-masa pendidikan. Akibatnya dapat di tebak, polemik akhirnya tidak bisa dihindarkan. Pemuda yang ada di Jakarta berbondong-bondong menghuni asrama. Ada yang sudah berkerja, ada yang masih berstatus pengangguran dan lain sebagainya. Pada akhirnya kepengurusan asrama sendiri merasa keberatan.
Melihat gelagat yang demikian, pada akhirnya IKPB sebagai organisasi induk dan tunggal yang dimiliki para pelajar Belitung melakukan tindakan dengan mengadakan pertemuan yang diwakili oleh tiga utusan dari masing-masing daerah Cab IKPB. Pertemuan itu dihadiri perwakian dari IKPB Jakarta sendiri, IKPB Cab Bandung dan IKPB Cab Yogyakarta. Bertempat di Asrama IKPB Cab Yogyakarta Wisma “Calamoa”. Data sejarah yang masih ada menyebutkan adalah saudara Abdullah dkk pad asaat itu mewakili IKPB Jakarta, saudara Hadi Ajin dkk yang pada saat itu mewakili IKPB Cab Bandung dan saudara Harnaeli dkk yang mewakili IKPB Cab Yogyakarta. Dari pertemuan itu akhirnya diputuskan untuk meritul (memberhentikan) saudara Murdifi sebagai ketua IKPB Jakarta dan mengembalikan makna “P” sebagai Pelajar dengan menghilangkan dualism pemaknaan serta mengembalikan fungsi Asrama IKPB Jakarta sebagaimana mestinya.
  Setelah mengadakan diskusi yang intens antara penulis dan beberapa nara sumber sejarah, didapatkan bahwa keputusan saudara Murdifi mengalirkan beberapa kebijakan yang terkesan spekulatif bukan tanpa latar belakang. Pada kurun waktu itu isu politik memang sedang marak-maraknya dengan ditandai peminimalan partai menjadi tiga partai. Selain itu muncul nama yang dianggap turut berperan dalam setiap kebijakan yang diambil oleh saudara Murdifi pada saat menjabat. Adalah saudara Muaz yang memiliki andil dalam mengalirkan isu dualism huruf “P” degan tujuan menyatukan seluruh komponen masyarakat Belitung yang ada Jakarta. Hal ini berlanjut pada usaha beliau melakukan tujuan yang sama yang nantinya akan di bahas dalam isu-isu yang lainnya berkaitan dengan pasang surut IKPB.
b.      IKPB dan Masalah Kepemimpinan
Disadari atau tidak, setiap kepengurusan selalu memiliki peristiwa tersendiri yang terkaitan dengan keberlangsungan organisasi. Demikian halnya dengan IKPB selalu mengalami pasang surut dalam kepengurusan. Namun sebagai pemimpin organisasi terdapat tanggung Jawab yang besar dalam memberikan warna terhadap organisasi yang di pimpinnya. Kita tidak bisa dengan serta merta memberikan nilai pada setiap pemimpin dengan warna penilaian “hitam putih”, namun setidaknya ada pembelajaran yang dipetik dalam kaitannya dengan bagaimana seseorang menggunakan kemampuannya dalam memimpin sebuah organisasi. Sebagaimana organisasi yang lain IKPB dalam hal ini juga pernah mengalami masa-masa sulit. Baik berkaitan dengan isu politik seperti yang penulis singgung pada poin pertama dan berkaitan dengan pola kepemimpinan yang akan penulis singgung dalam sub kajian ini.
Dalam membaca fenomena ini penulis menemukan penilaian yang pada dasarnya semua kasus kepemimpinan ini memiliki akar masalah yang sama. IKPB sebagai organisasi perlajar yang dipimpin oleh pemuda yang juga berstatus pelajar otomatis memiliki masa kepemimpinan yang dalam hal ini di atur dalam AD/ART organisasi. Permasalahan yang sering dihadapi adalah ketika ketua telah selesai melaksanakan jenjang studinya yang terbatas, dihadapkan pada tanggung Jawab kepengurusan dalam organisasi, disinilah ditemukan banyak kasus dan hampir seluruh kasus bernada sama.
Tercatat adalah saudara Husni Husein, Saudara Taman Syah, Saudara Yul Haidir adalah para ketua IKPB yang menghadapi permasalahan yang sulit tersebut. Ketika masa studi telah berakhir namun tidak dibarengi dengan berakhirnya masa kepemimpinan dalam organisasi akhirnya menimbulkan permasalahan yang kompleks. Data yang penulis dapatkan permasalahan berkaitan dengan tema ini ada sejak tahun 1985 (LPJ kurun waktu 1985 terlampir).[78]
  Pada masa kepemimpinan saudara Taman Syah yang kebetulan pada saat itu IKPB Yogyakarta bersetatus IKPB pusat sempat mengalami anarki[79] kepemimpinan. Hal ini diakarenakan yang bersangkutan tidak melakukan serah terima jabatan dengan di tandai pelaksanaan LPJ namun langsung kembali ke Belitung pasca pelaksanaan studi di Yogyakarta. Sentak pada saat itu Bpk. Nazwar Chalidin Amar selaku sesepuh IKPB langsung melakukan tindakan sigap dengan mengutus tiga tokoh antara lain,
-          Saudara Widi Utoyo
-          Saudara Ja’far Usman
-          Saudara Fitrianto
Untuk meminta kesediaan mereka melakukan tindakan penggulangan keorganisasian. Lebih lanjut, di utuslah saudara Fitrianto untuk kebelitung guna memepersiapkan konferensi (saat ini biasa disebut dengan Munas) dan dilakukan pemilihan kembali ketua IKPB Pusat.[80] Secara defacto pada dasarnya saat ini IKPB sempat hilang. Namun dengan adanya semangat dari tiga tokoh ini IKPB hingga kini masih dapat kita jumpai dan rasakan manfaatnya.
c.       Mereka Yang Tak Boleh Dilupakan
Sejarah memang tidak pernah mengisahkan tentang dirinya sendiri, disilah peran sejarawan untuk mengungkap peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau. Namun dengan keterbatasan dirinya sebagai manusia sejarawan hanya mampu mengisahkan peristiwa-peristiwa yang sampai kepadanya dalam bentuk data dan fakta yang terjadi. Pengisahan itu juga pada akhirnya hanya bersifat parsial dan terbatas Karena seorang sejarawan hanya mampu menangkap fenomena yang terjadi dan tidak mengetahui nomena dari peristiwa.
Beberapa tokoh yang hendaknya di ketahui oleh segenap pengurus IKPB hingga kapan pun adalah mereka yang memiliki andil yang besar dalam keberlangsungan organisasi IKPB. Walaupun status mereka sebagai alumni, simpatisan atau lainnya. Dalam bagian ketiga tulisan ini kita telah mengenal para pendiri IKPB dan pendiri dua organisasi yang menjadi cikal bakal IKPB dan kini kita akan membahas tokoh-tokoh yang memiliki andil dalam kepengurusan IKPB.
Pertama. Adalah Bpk Rahim Syarif. Beliau secara berkesinambungan masih membimbing organisasi IKPB, walaupun beliau sekarang berstatus sebagai Alumni namun semangat dan kecintaan beliau terhadap IKPB tidak pernah rentan oleh waktu. Untuk menunjukkan kecintaan beliau terhadap IKPB, beliau mendirikan badan Alumni bagi seluruh Anggota IKPB (BAMUS: Badan Musyawarah Alumni). Badan Alumni ini memang tidak bergiat dalam organisasi pelajar, namun dengan adanya BAMUS Alumni IKPB para pelajar yang tergabung dalam IKPB dapat berkomunikasi dan belajar banyak mengenai keorganisasian.
Bpk. Rahim Syarif selaku ketua BAMUS Alumni IKPB dibantu oleh ketua-ketua lainnya serta dilengkapi dengan komisaris-komisaris yang berada di tiap-tiap wilasi dan kecamatan. Salah satu kegiatan yang pernah beliau adakan dan tercatat hingga kini adalah diadakannya Reuni alumni anggota IKPB yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1985, bertepatan dengan LPJ saudara Husni Husein selaku ketua IKPB Pusat.[81]
Peran serta para Alumni yang tergabung dalam BAMUS Alumni ini antara lain memberikan bantuan baik berupa materi ataupun lainnya kepada Asrama IKPB. Selain itu juga memberikan Beasiswa kepada pelajar Belitung yang qualified.[82] Penting juga untuk diketahui, pada saat Reuni Alumni yang diadakan pada tanggal 6 Juli 1985, para Alumni memberikan kesempatan kepada  saudara Arwin Ahmad yang pada saat itu baru selesai melaksanakan studinya di Yogyakarta dan baru selesai diwisuda untuk memberikan pesan dan kesan beliau. Uniknya dalam memberikan pesan dan kesan ini saudara Arwin Ahmad masih mengenakan Toga lenkap dengan atributnya.
dalam peristiwa bersejarah ini para Alumni seketika mengumpulkan dana untuk kepentingan akademik para pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta. Setelah dana tersebut terkumpul, kemudian dari dana itu dibelikan kumpulan Ensiklopedi yang saat ini di tempatkan di Asrama IKPB Yogkarta wisma “Calamoa”. Dari penelusuran penulis, beberapa Ensiklopedi masih bisa di temukan di Asrama IKPB Yogyakarta wisma “Calamoa”, namun ada beberapa jilid yang hilang, hal yang patut untuk disayangkan.
Pengalaman pribadi penulis bertemu dengan Bpk. Rahim Syarif hingga kini memberikan kesan yang tersendiri. Saat itu IKPB Pusat yang berada di Jakarta mengadakan pertemuan bersama beberapa tokoh Alumni tepatnya di Kantor Bpk. Abdullah Fatah dan dihadiri beberapa tokoh yang lain termasuk Bpk. Rahim Syarif. Beliau menyempatkan diri untuk hadir dan berbicara panjang lebar mengenai keorganisasian. Beliau memiliki nada bicara yang tegas, sehingga tergambar bagaimana masa-masa muda beliau ketika tergabung dalam keorganisasian IKPB. Beliau juga membawa beberapa arsip keorganisasian yang sempat diperlihatkan kepada penulis baik dalam bentuk foto dan arsip-arsip yang lain. Dimasa tua beliau, dengan keterbatasan fisik dan tenaga beliau masih mau dengan segenap kemampuannya memberikan masukan kepada IKPB saat itu. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi para generasi muda pelajar Belitung saat ini dan masa yang akan datang.
Kedua. Bpk. Nazwar Chalidin Amar. Sipapun yang pernah tergabung dalam organisasi IKPB Yogyakarta kurun waktu 1965 hingga kini pasti mengenal beliau. Posisi beliau sebagai sesepuh IKPB Yogyakarta hingga kini belum tergantikan. Beliau juga mendirikan sebuah perkumpulan masyarakat Belitung yang ada di Yogyakarta serta mengadakan kegiatan rutin bulanan yang bertujuan mengumpulkan seluruh masyarakat Belitung yang menetap di Yogyakarta. Ajang silaturahmi ini hingga kini masih tetap berjalan dan IKPB dalam hal ini juga terlibat secara langsung walau secara keorganisasian merupakan organisasi yang terpisah.
Konsen beliau terhadap IKPB hingga kini juga masih tetap berlanjut, walau status beliau kini sebagai Alumni. Salah satu keputusan beliau yang denganya para pelajar Belitung masih bisa mengenal IKPB dan bahkan masuk dalam kepengurusan adalah ketika beliau membentuk 3 (tiga) tokoh yang penulis sebutkan dalam sub kajian sebelumnya. Disamping itu sama seperti halnya Bpk. Rahim Syarif, beliau juga memegang Arsip-arsip yang berkaitan dengan IKPB, mungkin kini kita bisa mengakategorikannya sebagai data sejarah karena arsip-arsip ini merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam organisasi IKPB dimasa lalu.
Penting untuk dicatat dan sebagai koreksi bagi kepengurusan IKPB saat ini maupun yang akan datang. Penulis sendiri merasakan bagaimana kesan pada saat pertama kali bergabung dalam organisasi pelajar Belitung ini. Minimnya pengetahuan mengenai sejarah dan nilai-nilai yang diusung oleh pendiri organisasi ini, membuat organisasi ini kini seolah-olah berjalan tanpa tujuan yang jelas. Karenaya pemahaman kita terhadap sejarah IKPB menjadi layak dan penting untuk di ketahui.
Dalam diskusi yang panjang bersama Pak Nazwar[83], disinilah mulai adanya keinginan untuk menulis sejarah singkat mengenai IKPB. Penulis menilai data-data awal yang beliau miliki dan pengalaman beliau selaku saksi sejarah cukup memadai sehingga penulis semakin bersemangat untuk menyusun tulisan ini sedikit demi sedikit. Sejarah mengenai IKPB memang tidak didapatkan secara rinci dari kepengurusan IKPB sendiri bahkan hingga tulisan ini di susun, semoga dengan adanya pengetahuan yang seadanya dari sejarah IKPB para pengurus dapat menjalankan keorganisasian dengan baik dan sesuai dengan cita-cita para pendiri IKPB dimasa lalu.
Bpk. Nazwar Chalidin Amar, dalam masa tua beliau sampai saat ini selain tetap konsen dalam kaitannya dengan kepengurusan IKPB juga memiliki perhatian pada pelajar yang ada di Yogyakarta. Beliau, dalam beberapa hal langsung terlibat dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan para pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta. Sebagai manusia dan kondisi jiwa yang labil sering kali pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta mengalami permasalahan-permasalahan. Dalam hal ini sebagai sesepuh sekaligus orang tua beliau tidak segan-segan dimintai bantuan oleh pelajar Belitung lebih-lebih para pelajar yang tergabung dalam kepengurusan IKPB.
Kedua tokoh di atas merupakan beberapa contoh para Alumni yang hingga kini tetap konsen terhadap IKPB. Penulis meyakini bahwa selain dua tokoh di atas, masih ada tokoh-tokoh alumni yang tidak diketahui namanya juga memiliki perasaan yang sama. Mereka sebagai saksi sejarah mengalami secara langsung bagaimana bentuk kebersamaan dan nilai yang kemudian terbangun dari adanya IKPB sebagai wadah yang mengakomodir semangat para pelajar Belitung yang ada di tanah rantau.
Saat ini mereka adalah sejarah dan kelak kita yang ada saat ini akan menjadi sejarah.”
Berangkat dari ungkapan diatas, sudah menjadi keharusan bagi para pengurus IKPB saat ini untuk merenungkan sejarah apa yang akan di tulis yang kelak bisa menjadi bacaan para generasi penerus pelajar Belitung yang tergabung kepengurusan IKPB. Baik atau buruk adalah sebuah kriteria penilaian yang kelak disandangkan kepada kepengurusan saat ini oleh kepengurusan yang akan datang. Inilah setidaknya makna yang ingin disampaikan Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya dengan konsep yang biasa kita sebut dengan Asobiah. Sejarah dalam perjalanannya laksana spiral, dia akan berputar. Saat ini kita sibuk dengan mengkaji masa lalu dan kelak mereka akan sibuk mengkaji kita sebagai masa lalu.
B.     IKPB Saat Ini
Waktu terus berjalan, sehingga banyak kalangan agamawan menggambarkan waktu sebagai mahkluk yang senantiasa baru. Sebagai mahkluk yang baru dan sekaligus tempat melekatnya setiap peristiwa dia tidak pernah kembali dalam bentuk yang sama. IKPB kini telah berusia setengah abad lebih, usia yang telah memasuki masa tua jika kita sandangkan usia itu pada manusia. Namun usia tua ini semoga tidak sama seperti halnya semangat yang ada di IKPB sendiri, dia harus tetap muda dan dan mampu menampung seluruh aspirasi para pemuda Belitung yang kini semakin kompleks.
            IKPB cukup lama berdiri, kini pelajar Belitung sudah tidak lagi mengalami hambatan yang berarti dalam bentuk pola komunikasi dan interaksi, namun timbul permasalahan yang justru lebih intens dan perlu dilakukan pengkajian yang lebih jauh perihal berbagai bentuk permasalahan yang ada saat ini. Jika dulu para pendiri organisasi IPB dan KPB sebagai cikal bakal IKPB didirikan berkat sulitnya komunikasi dan interaksi serta bertujuan membangun kebersamaan akibat dua hal tersebut, maka kini yang terjadi justru sebaliknya. Pola “network society” yang menjadi jargon dari Conelly sebagai gambaran mudahnya pola kumunikasi dan interaksi moderen berbanding terbalik dengan kecenderungan pelajar Belitung saat ini.
             Tidak bisa dikesampingkan begitu saja, perkembangan sikap pelajar yang kini mengarah pada sisi individual[84] sangat tampak terlebih-lebih terlihat ketika mereka masuk dalam kepengurusan IKPB. Akibatnya banyak kesalah pahaman yang timbul dalam setiap kegiatan dalam kepengurusan. Gejala ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga pada cabang-cabang dari IKPB. Akibat sifat ini ada dua gejala yang biasanya terjadi. Pertama, kegiatan yang hendak dilakukan oleh kepengurusan menjadi terkendala karena adanya sebagian pengurus maupun anggota yang kurang respect terhadap kegiatan tersebut, kedua. Justru dalam kepengurusan tersebut terjadi fakum dan sama sekali tidak ada kegiatan selama masa kepengurusan. Hal ini hendaknya diantisipasi oleh seluruh kepengurusan IKPB baik yang ada di pusat maupun cabang.
            Harus dilakukan kajian lebih lanjut mengenai reduksi nilai moral yang terjadi pada kaum muda Belitung saat ini. Perlu kembali mengumpulkan data-data dan terlibat secara langsung dengan unsur sosial yang ada sebagai input pembentuk pola pikir dan sifat kaum muda Belitung. Perlu diambil sebuah tindakan yang tepat dalam menangani masalah ini. Setidaknya sesegera mungkin solusi dan penanggulangan dalam bentuk aktif menjadi fokus seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya tugas pemerintah, guru dan kalangan agamawan, namun juga tugas dan sudah seharusnya menjadi kesadaran kita semua.


1.      IKPB dan Kepengurusan
Hal yang sangat patut di syukuri, di balik segala kendala yang ada IKPB tetap bertahan dan tetap eksis hingga kini. Bahkan kemudian, sentralisasi tujuan utama pendidikan mulai bertambah sehingga IKPB pun mulai berkembang dan menambah cabang-cabang baru. Adalah Semarang, Bogor, Palembang, Lampung, Bangka dan Belitung yang telah menyematkan dirinya sebagi cabang-cabang IKPB yang menandakan semakin berkembangnya organisasi ini.
Juga dengan kerja keras IKPB Pusat yang kini bertempat di Jakarta dibawah pimpinan saudara Teguh Trinanda dan kawan-kawan[85], akses dan informasi seputar IKPB akan dengan mudah kita dapatkan melalui media E-Net sehingga dalam hal ini penulis sengaja tidak menuliskan secara rinci mengenai struktur dan kepengurusan IKPB pusat yang ada di Jakarta. Selain itu, beberapa Asrama IKPB juga turut menggunakan media ini dalam upaya penyebar luasan informasi.[86]
2.      Kegiatan  
Sebagai sebuah organisasi, IKPB dalam hal ini telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan baik yang berkaitan dengan upaya pengenalan kepada publik mengenai seni dan budaya juga dalam bentuk olah raga yang juga kerap kali diadakan oleh IKPB dibawah kepengurusan cabang. Tidak luput geliat akademik juga mewarnai keorganisasian IKPB dengan diadakannya kegiatan bedah buku, film dan talk show yang juga dilakukan oleh beberapa cabang dalam kepengurusan IKPB.
Data yang dapat dukumpulkan oleh penulis, IKPB Cab Yogyakarta pernah mengadakan Pentas Seni dan Budaya yang bertempat di Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 2009. Di bahwa kepemimpinan saudara Andi Fitrianto (Basa Bakti 2008-2010). Atas inisiatif dari saudara Iqbal dan kawan-kawan. Pentas ini juga berlanjut ke Belitung pada tahun yang sama.
IKPB Cabang Bandung juga acapkali mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan departemen olahraga. Perhelatan turnamen futsal persahabatan misalnya, dalam kegiatan ini tentu saja melibatkan beberapa cabang IKPB yang ada. Tercatat pada tahun 2010 dan 2012, IKPB Cabang Bandung mengadakan kegiatan ini.
            Beberapa kegiatan di atas hanyalah sekelumit dari sekian banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh IKPB saat ini. Ini bahkan belum termasuk agenda-agenda yang telah menjadi perencanaan IKPB baik pusat maupun cabang. Lebih-lebih kegiatan-kegiatan dalam lingkup ke-asrama-an yang juga memiliki ragam kegiatan. Namun setidaknya tulisan ini dapat digunakan sebagai pengantar pemahaman kita seputar IKPB.
C.    Pemudaran Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bawa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan , singkatnya nilai adalah sesatu yang baik. Konsep nilai sendiri dari sisi sejarah dan mulai menjadi perdebatan yang hangat dan baru sejak pada kurun waktu akhir abad ke-19. Namun secara implisit konsep nilai sudah ada sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas atas gradasi ide-ide.[87]                              
            Salah satu cara yang paling sering digunakan dalam kaitannya dengan nilai adalah melakukan perbandingan dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada dan berlaku begitu saja, sedangkan nilai adalah sesuatu yang mengikat atau menghimbau kita. setelah kita mengetahui apa yang terjadi secara “begitu saja” kita dapat melakukan perbanding dan sehingga didapatkan bentuk nilai dari hasil perbandingan tersebut.
            Terlalu banyak konsepsi tentang nilai dan untuk mnghindari kerancuan pemahaman kita akan berusaha untuk menfokuskan pada satu kajian konsep nilai yang kita sebut dengan “nilai yang berkaitan dengan tanggung Jawab kita.” nilai ini merupakan suatu nilai yang berkaitan dengan tanggung jawab sebagai manusia, sehingga dalam konteks ini kita bisa mengatakan bahwa bentuk laku dan tindakan yang menunjukkan nilai adalah berasal dari manusia itu sendiri. Dengan mempertanggung Jawabkan bentuk tindakan yang dilakukan kemudian akan terlahir pemahaman berkaitan dengan kebaikan dan keburukan dari sudut pandang moral.
Lebih lanjut, Kant kemudian dalam hal ini memberikan perbedaan dalam bentuk nilai moral yakni, imperatif hipotesis dan inperatif kategoris. Bagi Kant setiap nilai moral selalu terkandung unsur imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperatif hipotesis. Artinya kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai lain maka kita harus menempuh jalan tertentu.[88] Contoh, kalau ingin mejadi juara kelas, maka kita harus belajar dan seterusnya.
Terkait dengan IKPB konsep Kant mungkin dapat kita gunakan sebagai gambaran bahwa nilai yang ada dalam IKPB secara keseluruhan adalah berbentuk imperative kategoris. Kebersamaan misalnya sebagai salah satu nilai universal yang diusung IKPB adalah bentuk imperative kategoris, selain konsep nilai kebersamaan adalah bentuk “perintah” dia juga hendaknya diusahakan.
Suatu nilai tidak akan terbentuk tanpa ada yang membentuk, seorang anak tidak akan dapat tumbuh besar tanpa ada yang mengurusnya. Demikian juga nilai kebersamaan yang ada di IKPB, dia tidak dapat terwujud dan hanya akan menjadi sebuah nilai yang semu tanpa adanya para pelajar Belitung yang tergabung dalam IKPB yang mewujudkan. Jika suatu nilai bersifat universal maka berarti dia harus berlaku dimapun dan kapanpun, mustahil nilai universal hanya berlaku secara parsial dan sepihak. Kebersamaan sebagai salah satu nilai yang diusung oleh IKPB adalah nilai universal yang berlaku dimanapun dan kapanpun. Para pelajar dengan memahami nilai-nilai yang diusung oleh IKPB pada hakikatnya dilatih untuk mampu bersikap dalam menyerap nilai, sehingga ketika sekembalinya ke tanah kelahiran atau menetap disuatu daerah yang bukan Belitung dia mampu mengusung nilai-nilai universal ini sehingga tidak terlalu banyak menghadapi kesulitan.
Jika pada kurun waktu 1950-an awal kaum muda Belitung murni mengandalkan pendidikan sebagai alat bantu untuk memahami realitas dan dalam upaya pembentukan nilai, kaum muda Belitung pasca berdirinya IPB dan KPB dan kemudian berfusi mejadi IKPB lebih terbantu dalam upaya pemahaman tersebut. Disinilah letak harapan yang hendak dicapai baik oleh para pendiri, senior-senior dan juga pengurus IKPB saat ini. IKPB tidaklah hanya sebuah nama, namun IKPB adalah wadah para pelajar. Didalamnya tidak ada nilai materi yang dihasilkan, karena IKPB adalah organisasi pembelajaran dan wadah mengembangkan diri. Jika ada sebagian anggota yang berharap bahwa dengan bergabung ke dalam kepengurusan IKPB maka akan terjamin secara materi, maka siap-siaplah untuk kecewa.
D.    Refleksi Nilai ke-IKPB-an dan Manfaatnya
              IKPB adalah organisasi yang memiliki tata nilai dengan tujuan mengarahkan para pelajar Belitung yang ada di tanah rantau untuk tetap saling berkomunikasi dan membangun kebersamaan. Pengenalan sejarah IKPB masa lalu bukanlah bertujuan menimbulkan rasa pengkultusan terhadap kebaikan-kebaikan yang ada dimasa lalu, namun setidak nya dengan mengetahui bagaimana usaha yang dilakukan oleh para pendiri dan pengurus IKPB saat ini mendapatkan gambaran kemana tujuan organisasi ini diarahkan.
           Seperti yang telah disinggung sebelumnya, mungkin kepengurusan IKPB saat ini memiliki permasalahan yang berbeda dengan kepengurusan IKPB masa awal. Jika dulu sulit sarana dan prasarana serta sistem komunikasi yang belum memadai, sekarang para pengurus IKPB cukup tercukupi dalam bentuk sarana dan sistem komunikasi juga sudah dapat dilakukan dengan banyak cara terutama dengan mengunakan alat komunikasi modern.
           Setiap masa pasti memiliki kendala yang berbeda. Jika kita amati, permasalahan yang dihadapi oleh IKPB pada saat ini justru lebih komplek dan derajat kesulitannya juga berbeda, selain menghadapi faktor sosial masyarakat yang sudah mengalami reduksi moral yang akut terutama di Belitung sebagai tanah kelahiran sehingga output yang dihasilkan juga sebanding dengan keadaan sosial tersebut, para pelajar juga di tuntut untuk mampu menyumbangkan pikiran dan tenaga sebagai bentuk perhatian terhadap Belitung sebagai tanah kelahiran.
           Sudah menjadi tanggung jawab seluruh kepengurusan dalam IKPB baik pusat maupun cabang untuk mendidik dan memberikan suntikan pemahaman nilai kepada para pelajar yang baru masuk ke pengurusan IKPB. Mereka sebagai output sosial “Belitung”, seperti yang telah disinggung sebelumnya, mungkin dalam pemberian pemahaman akan lebih mengalami kesulitan. Namun disinilah letak tantangan bagi para pengurus IKPB masa kini dan yang akan datang. Bahwa melakukan perubahan tidak selalu mudah, perlu adanya usaha dan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran.
           IKPB, pada dasarnya juga berpeluang besar dalam menciptakan suatu tata nilai. Hal ini dimungkinkan karena IKPB selain sebagai organisasi pelajar Belitung, juga merupakan komunitas yang di anggotai oleh pelajar yang berasal dari satu daerah yang memiliki bahasa, kultur dan semangat yang sama. Tata nilai sendiri bukanlah hal yang kaku dan harus ditunggu sehingga kita sebagai manusia terkesan pasrah. Dia bisa dibentuk, dia bisa diformulasikan dan bentukan serta formulasi ini tentu saja tidak boleh terlepas dari nilai-nilai universal.
            Salah satu pola pikir yang hendaknya menjadi budaya bagi para pelajar Belitung yang tergabung dalam kepengurusan IKPB adalah, pola pikir yang bernuansa intelektual religius. Ungkapan ini bukanlah sekedar harapan semata, namun setidaknya ini adalah tujuan yang menjadi landasan keberlangsungan IKPB. Penulis menyadari bahwa untuk mewujudkan harapan tersebut bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan sebuah kerja keras para pelajar untuk memposisikan dirinya pada pergulatan paradigm yang semakin kompleks, seperti halnya yang terjadi pada saat ini.
           Pola pikir yang telah mengakar sebelumnya yang merupakan bawaan, dimana pola pikir itu adalah bentukan dari sosial kultural masyarakat Belitung, seperti hal yang telah disinggung sebelumnya (mengalami reduksi nilai moral). Pekerjaan ini harus dimulai dengan menumbuhkan rasa empati terhadap kemampuan diri dan realitas asal. Menjadikan diri sebagai mentalitas yang haus akan data-data, fakta empiris sehingga dengannya greget keiingintahuan dalam berorganisasi semakin besar dan berupaya untuk merealisasikan semua pengalaman dalam berorganisasi pasca pelaksanaan studi di tanah rantau.
           Terdapat keunikan dalam setiap kajian akademik yang berkembang baru-baru ini. Anjuran untuk melihat kembali tokoh-tokoh klasik sebagai dari sejarah sangat ditonjolkan. Hal ini  bertujuan untuk memelihara kesinambungan mata rantai khazanah keilmuan. IKPB dalam hal ini, dalam bentuk peristiwa sejarah yang berusia setengah abad lebih, memang bisa dibaca dengan singkat. Namun dalam pemahaman nilai sekaligus menerapkannya butuh seumur hidup dan itu pun belum tentu dapat dilaksanakan secara keseluruhan.
Bahasa dan budaya yang kita dapatkan selama proses pendidikan sekaligus selama tergabung dalam kepengurusan IKPB hendaknya mampu untuk menjadi tali penghubung antara Belitung sebagai daerah yang berkembang dan daerah-daerah di tanah air lainnya yang sekiranya pada sisi tertentu lebih dari apa yang daerah kita miliki. Mungkin kita sering terperanjak ketika mendengarkan betapa luasnya pengetahuan masyarakat dari daerah lain tentang khazanah budaya dan sejarah yang ada di daerahnya, sebuah pengetahuan yang penulis yakin sangat minim dimiliki oleh pelajar Belitung yang bahkan saat ini berstatus sebagai mahasiswa dan bahkan sarjana. Hal ini disebabkan karena minimnya data mengenai sejarah mengenai Belitung baik yang berkaitan dengan budaya, Agama dan sosial kultural lainnya.
           Disinilah letak kompleksitas tugas yang diemban oleh IKPB. Namun demikian, tugas-tugas yang ada hendaknya tidak menjadi beban bagi para pelajar dalam menjalankan aktivitas studinya. IKPB adalah organisasi yang mengusung nilai kebersamaan, kesulitan satu anggota akan dirasakan oleh anggota yang lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya tindakan nyata dari IKPB dalam melakukan pengumpulan dana bagi teman-teman yang sedang mengalami musibah. Diharapkan hal-hal seperti ini tetap dipertahankan dan ditelurkan kepada generasi-generasi penerus IKPB.










KEPUSTAKAAN

Buku:
Abdullah Amin dkk, Islamic Studies Dalam Paradigm Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), Yogyakarta : SUKA Press, 2007.

Abdullah Amin, Studi Agama Normativitas atau Historositas ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Bertens K., Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

BPS Kab Belitung, Belitung Dalam Angka, Belitung : BPS Kab Belitung, 2006.

Castello Manuel, The Power of Identity, Oxford: Blackwell Publishing, 2004.

Chalmers, A.F, , Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terj: Hasta Mitra,  What is this thing called Science?, Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983.

Engkoswara, Administrasi Pendidikan, Badung: Alfabeta, 2010.

Ensiklopedi Indonesia, Jakarta 1980, jilid II, hlm. 868.

Harris William, Heraclitus The Complete Fragments, Middlebury College, 1994.

Lakatos Imre, “Science and Pseudoscience”, dalam Philosophy of Science: The Central Issues, ed.: Martin Curd & J.A.Cover, W.W.Norton & Company, New York. 1998. p. 21.

M. Herujito Yayat, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: PT. Grasindo, 2006.

Rahman Fazlur, Islam, Bandung : Pustaka, 2003.

Samsuddin, Metodologi Sejarah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
Sitompul Agussalim, Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Nusantara, Jakarta : CV Misaka Galiza, 2008.

Studi Kelayakan Tanah Untuk Pemanfaatan Tanaman Pangan dan Perkebunan Di Daerah Tingkat II Kabupaten Belitung, Yogyakarta : Fakultas Kehutanan UGM, 1983.

Supardan Dadang, Pendidikan Sejarah, dalam, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung : PT. Imperial Bakti Utama, 2007.

Tafsir Ahmad, Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Marwan Sarijo (ed), Mereka Berbicara pendidikan Islam Sebuah bunga Rampai, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009.

World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006.

Berkas dan wawancara :
Bpk. Nazwar Chalidin Amar
Bpk. Sulaiman Razak (Alm)
Saudara Ja’far Usman
Saudara Subardi Thalib














[1] Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Dalam perjalanan karir kehidupannya Kant dikenal sebagai filsuf yang memiliki pemikiran brilian pada zamannya hingga kini. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia” hanyalah potongan-potongan dari kebenaran dan bukan kebenaran itu sendiri.  
[2] Usaha ini sudah barang tentu tetap dengan keyakinan penulis dalam awal kata pengantar ini bahwa tetap tidak akan mampu menggambarkan keseluruhan fenomena yang terjadi.
[3] Data sejarah mencatat bahwa keberadaan etnis Tionghua di Belitung sudah ada sejak abad 19 awal dimana keahlian mereka dalam mengolah timah dimanfatkan oleh Belanda.
[4] Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
[5] Freud yang menyatakan bahwa manusia secara alami telah memiliki kecendrungan untuk berbuat jahat (thanatos), sekaligus secara alami menyadari bahwa kekerasan (perbuatan jahat) hanyalah akan menimbulkan kekerasan (perbuatan jahat) yang lebih tinggi intensitasnya. Dari tesis Freud tersebut dapat di maknai bahwa melakukan tindakan kekerasan merupakan masalah psikologis dimana adakalanya manusia tidak mampu membawa dirinya secara normal yang bisa di akibatkan oleh banyak faktor seperti ketidak biasaan manusia mengatasi konflik dalam kehidupan, ketidak sanggupan meng hadapi tekanan depresif-refresif sehingga memunculkan sifat frustasi yang akut.
[6] BPS Kab Belitung, Belitung Dalam Angka, (Belitung : BPS Kab Belitung, 2006), hlm 5.
[7] Studi Kelayakan Tanah Untuk Pemanfaatan Tanaman Pangan dan Perkebunan Di Daerah Tingkat II Kabupaten Belitung, (Yogyakarta : Fakultas Kehutanan UGM, 1983), hlm. 21.
[8] Bercabang-cabang.
[9] Ibid, hlm 4.
[10] Guna memperjelas konsep A.A. Fyzee ini kami akan memberikan analogi yang dapat menggambarkan pembentukan psikologis masyarakat Belitung yang terbangun secara alamiah. Dalam realitas bahkan hingga sat ini, jika kita amati letak lokasi rumah satu kepala keluarga dengan kepala keluarga lainnya memiliki jarak yang cukup jauh (5-10 m), keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan pemukiman yang ada di pulau Jawa khususnya daearah-daerah yang cukup lama di duduki oleh Belanda seperti Batavia (Jakarta) dan Yogyakarta. Pola interaksi yang terjadi dengan kerapatan pemukiman berdifat kontinue dan tak terputus sehingga timbul adanya ikatan yang erat antar satu kepala keluarga dengan kepala keluarga yang lain. Kedekatan ini pada akhirnya akan berkelindan sifat santun dan lebut antar warga. Sedangkan bentuk psikologis yang terbangun pada masyarakat Belitung adalah sebaliknya, jarak pemukiman satu kepala keluarga dengan kepala keluarga yang lain membentuk kehidupan yang mandiri dan tegas. Semisal seorang ibu pada malam hari kehabisan korek api untuk menyalakan pelita, mau tidak mau ibu tersebut harus meminjam kepada tetangga dimana dalam perjalanannya harus melewati area yang gelap (karena belum adanya lampu pada saat itu), kondsi ini tanpa sadar akan membentuk diri ibu tersebut menjadi tegas dan pemberani. Sifat inilah yang kemudian turun temurun dibawa hingga saat ini.
[11] Istilah yang tepat sebenarnya tidak dapat karena melihat kondisi tanah yang ada sehingga dalam praktek kesehariannya masyarakat lebih menitik beratkan pada konsep ladang (baca : tegalan-Penulis).
[12] Istilah lebih tepatnya adalah agroforestry atau jika di indonesiakan menjadi wanatani arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad, misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Namun dalam konsep Fyzee makna ini lebih dipersempit.
[13] Dalam konsep A.A. Fyzee, masyarakat dengan mata pencaharian pertanian yang menggunakan sistem sawah akan memiliki ketergantungan kepada pemerintah karena pengaturan irigasi berada sepenuhnya di tangan pemerinta (pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda). Konsep ini memang sengaja di gunakan oleh pemerintah guna mengatur kondisi psikologis agar lebih penurut dan terkesan menerima keadaan.
[14] Dukun dalam kenyatannya hanya dianggap sebagai tokoh yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan yang gaib dan juga pemilik kekuatan sakti. serta hanya dibutuhkan jika seseorang atau individu tersebut terdesak dalam hubungannya dengan dua hal yang menjadi keahlian dari Dukun. Dengan demikian peran dukun disini terbatasi dengan beberapa kriteria yang menjadi definisi awal yang telah disebutkan. Namun tidak demikian halnya anggapan masyarakat Melayu Belitung dalam menyikapi kata tersebut. Kata Dukun yang melekat pada kalimat Dukun Kampung justru tidak hanya memberikan kontribusi dalam perubahan realitas masyarakt, Namun juga sekaligus berubah menjadi sosok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Melayu Belitung. Dukun Kampung yang juga merangkap sebagai pemangku adat (dalam bahasa Melayu Belitung biasa dikenal dengan sebutan Dukun Kampong) bagi masyarakat Melayu Belitung adalah simbol pelestari keseimbangan antara kehidupan jasmani (materi) dan Rohani (Immateri), karena Dukun Kampong tidak hanya menjaga keamanan lingkungan kampong dari hal-hal yang terlihat saja, namun juga sekaligus dari hal yang bersifat lebih sepiritual. Hal ini berlangsung tidak hanya sejak era 1950 namun berlangsung lama dan hingga saat ini Dukun Kampung tetap menjadi bagian dari masyarakat. Mengenai arti kata Dukun dalam makna umum Lihat, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta 1980, jilid II, hlm. 868.
[15] Selengkapnya baca konsep sejarawan A.A. Fyzee mengenai sejarah dan perkembangan peradaban Islam. Walau konsep yang diungkap berkaitan dengan sejarah dan peradaban Islam namun nilai yang di bangun dari konsep tersebut juga mencakup akibat dan pengaruh dari masing-masing konsep pada kondisi sosio kultural dan psikologis masyarakat.
[16] Religiusitas berasal dari bahasa latin “relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan kebersamaan. Religiusitas adalah sebuah ekspresi Spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai serta hukum yang berlaku dalambentuk ritual.
[17] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historositas ?, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004). hlm. 216.
[18] Penulis sengaja memberikan batasan waktu, karena pada era tahun 1950 merupakan starting point embrio terbentuknya IKPB yang dicetuskan oleh ebebrapa tokoh yang juga akan masuk dalam pembahasan dalam bagian kedua dari tulisan ini. Hal ini penting untuk disampaikan agar tidak terjadi pengkaburan nilai. Metode yang sama juga biasa dilakukan dalam penulisa sejarah, semisal menggambarkan sejarah peradaban Islam dimulai sejak Hijrahnya Nabi Kemadinah oleh beberapa penulis dan bukan dari sejak dilahirkannya beliau. Atau metode penulisan Injil yang dimulai dari kematian Yesus dan bukan dari Kelahiran Yesus. Sekiranya contoh-contoh ini cukup memberikan gambaran.
[19] Hendaknya dibedakan antara konsepsi tasawuf dan pemahaman mistik yang menyebar dalam pemahaman masyarakat Belitung. hal ini penting guna mencegah adanya usaha-usaha penyaman makna secara wujud dan sifatnya.
[20] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Pustaka, 2003), hlm. 354.
[21] Memiliki nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981). HAMKA merupakan singkatan dari nama tersebut. HAMKA lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
[22] Kini telah bertrasformasi menjadi UIN sejak tahun 2004. Selengkapnya Lihat, Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Dalam Paradigm Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta : SUKA Press, 2007).
[23] Agussalim Sitompul, Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Nusantara, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 2008), hlm. 33.
[24] Jika kita bandingkan dengan sistem pondok yang dibangun di pulau Jawa pada kurun waktu itu tentu saja akan sangat berbeda dengan sistem pendidikan keagamaan yang didapat pemuda Belitung. Penulis sendiri mengalami secara langsung perbedaan selama mengenyam pengetahuan agama di Belitung dan di pulau Jawa memiliki konsep dan cirri yang berbeda. Setidak nya perbedaan konsep dan ciri ini akan berkelindan pada perbedaan bentukan kepribadian pada diri. Namun kini ada perkembangan yang signifikan dengan adanya sarana-sarana yang memadai dan sumber-sumber tempat pembelajaran niali-nilai agama di Belitung. Semoga dapat dipertahankan dan bahkan dikembangkan, hanya saja jangan sampai sarana-sarana yang ada justru melahirkan pemahaman-pemahaman Islam yang eksklusif. Hal ini menjadi penting dan tidak boleh di abaikan begitu saja oleh Pemerintah Daerah Belitung.   
[25] Dari hasil penulusuran penulis, faktor inilah yang menjadi sebab mengapa banyak para pemuda Belitung pada kurun waktu 1950-an memilih untuk meneruskan pendidikan ke Yogyakarta maupun Ke Padang Pandang (Sumatra Barat). Meneruskan pendidikan tidaklah sama dalam pandangan kita saat ini (meneruskan pendidikan berarti kuliah). Namun pada waktu itu,  meneruskan pendidikan berarti meneruskan jenjang pendidikan ke SLTA karena pada saat itu di Belitung belum berdiri SLTA. Sehingga pemuda Belitung pada kurun tahun 1950-an yang memilih pulau Jawa sebagian meneruskan jenjang pendidikan di Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.
[26] Setidaknya semangat ini yang diusung oleh nabi, sebagai low giver beliau tidak hanya sekedar menyampaikan konsep semata namun juga memberikan contoh dalam bentuk praktek keseharian agar orang-orang yang berada disekitar beliau dapat melihat secara langsung bagaimana bentuk penerapan konsep dan tata nilai yang ada, perlahan-lahan terbangun dengan sendirinya.
[27] Ernest André Gellner (9 Desember 1925-5 November 1995) adalah seorang filsuf Inggris-Ceko dan antropolog sosial, yang digambarkan oleh The Daily Telegraph ketika dia meninggal sebagai salah satu intelektual dunia paling berpengaruh.
[28] Memiliki arti “modal nekat”, biasa kata ini merupakan pencitraan terhadap sosok yang sama sekali tidak memiliki modal apapun namun tetap melakukan sesuatu di luar rencana dan perkiraannya.
[29] Beliau lulus SD pada tahun 2000 bahkan bisa dikatakan baru-baru ini dan bukan pada era tahun 1950-an. SMP dan SLTA pada tahun beliau lulus SD sudah ada di Belitung. Namun karena keterbatasan kedua orang tua, beliau harus ke pulau Jawa untuk melanjutkan jenjang pendidikan.
[30] Heraclitus adalah seorang filsuf yang tidak tergolong mazhab apapun. Di dalam tulisan-tulisannya,ia justru mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh terkenal, seperti Homerus, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios. Meskipun ia berbalik dari ajaran filsafat yang umum pada zamannya, namun bukan berarti ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf itu. Heraclitus diketahui menulis satu buku, namun telah hilang. Yang tersimpan hingga kini hanya 130 fragmen yang terdiri dari pepatah-pepatah pendek yang seringkali tidak jelas artinya. Pemikiran filsafatnya memang tidak mudah dimengerti sehingga ia dijuluki "si gelap" (dalam bahasa Inggris the obscure). Untuk mengetahui bagaimana konsep dan pemikiran Heraclitus Lihat, William Harris, Heraclitus The Complete Fragments, Middlebury College, 1994.

[31] Istilah “network society” menunjuk pada format baru masyarakat yang disebabkan oleh revolusi teknologi informasi dan restrukturisasi kapitalisme. Format baru masyarakat ini dicirikan antara lain  oleh globalisasi ragam aktivitas ekonomi dan transformasi pondasi-pondasi kehidupan material, ruang dan waktu. Lihat: Manuel Castello, The Power of Identity (Oxford: Blackwell Publishing, 2004).
[32] Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme.  Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga  pemerintahan nasional tidak berdaya melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang. World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006, p. 13.
[33] Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Marwan Sarijo (ed), Mereka Berbicara pendidikan Islam Sebuah bunga Rampai, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009). hlm. 30.
[34] Di Indonesia wacana tentang konsep integrasi keilmuan agama, sosial dan science mendapat momentum yang tepat sekitar tahun 2000-an, bersamaan dengan konversi PTAI/IAIN menjadi UIN di beberapa tempat di tanah air. Bahkan sebuah lembaga independen di Jakarta. Center For Islamic Philosophical Studies and information (CIPSI) dengan lantang menyuarakan akan pentingnya membangkitkan (kembali) sains Islam, yang salah satunya melalui jalur pendidikan agama Islam. Lihat, Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta : SUKA Press, 2007), hlm.205.   
[35] Aristoteles (384 SM322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
[36] John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan.
[37] Paulo Freire (lahir di Recife, Brasil 19 September 1921 - meninggal di Sao Paulo, Brasil 2 Mei 1997) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Sumbangan pemikirannya dalam dunia pendidikan adalah berkaitan tentang filsafat pendidikan. Ia memberikan tesis bahwa konsep pendidkan yang kita dapatkan bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau Jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).
[38] Konsep ini berusaha untuk menggambarkan sumber dari segala sesuatu. Perdebata awal yang berkaitan dengan Being (wujudiyah), adalah hal yang lazim terjadi dalam dunia filsafat. Setidaknya ini terus berlangsung hingga saat ini. Kesadaran ini kembali di kuat oleh Heidegger (1889-1876) denga menulis tesis yang cukup tebal yang berjudul Being and Time (Jerman : Sein und Zeit, 1927).
[39] Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca” syajarah), yang  emiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu” di sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga”, ”asal-usul” atau ”silsilah”. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian. Lihat, Samsuddin, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 2.
[40] Dadang Supardan, Pendidikan Sejarah, dalam, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung : PT. Imperial Bakti Utama, 2007). hlm. 345.
[41] Samsuddin, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 78.
[42] Data penulis Dapatkan dari Bapak Nazwar Chalidin Amar (sesepuh IKPB Cabang Yogyakarta sekaligus ketua PMB Yogyakarta) sebagai salah satu saksi sejarah. Selanjutnya setiap data yang penulis dapatkan dari sumber akan di tulis dalam format “Sumber : Bapak Nazwar Chalidin Amar”.
[43] Jika melihat latar belakang keluarga, dua tokoh yang kami sebutkan pertama meiliki latar belakang keluarga yang sama dalam masalah mata pencaharian yakni sebagai karyawan PT. Timah walau dalam jajaran kepangkatan ada perbedaan. Sedangkan tokoh yang terakhir berasal dari latar belakang pedagang. Terkait dengan keadaan dunia pendidikan kurun waktu 1950-an telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini pada Bagian Kedua (Spirit Perjuangan dan Pembebasan kaum Muda Belitung).
[44] Orang tua beliau bernama Bpk. Abd. Hamid yang biasa akrab disapa (Kek cong) beliau juga memiliki seorang adik bernama Abdullah Sani Hamid yang kemudian juga memiliki adil yang sangat besar dalam IKPB.
[45] Di kemudian hari Belitung setidaknya kemudian banyak melahirkan tokoh-tokoh yang brilian dalam bidang akademik. Sengaja penulis tidak merinci secara keseluruhan agar alur perjalanan sejarah tidak rancu.
[46] Sebuah istilah yang dapat bermakna penegasan “harus diberikan contoh”.
[47] Sumber : Bpk. Nazwar Chalidin Amar.
[48] Masa itu tidak sepetihalnya saat ini, dalam pola “network society” dalam bahasa Castello yang di tandai dengan adanya kemudahan dari bentuk sistem informasi dan komunikasi. 
[49] Penulis sengaja menggunakan istilah secara kenamaan karena pada dasarnya ruh dari kedua oraganisasi tersebut masi tetap ada dengan adanya IKPB.
[50] Sejarah mengenai alasan mengapa meneruskan jenjang pendidikan masih sebatas pada tingakat SLTA sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya dalam tulisan ini.
[51] Data ini penulis dapatkan dari Bpk. Sulaiman Razak (anggota IKPB angkatan tahun 1985), dalam bentuk tulisan singkat yang arsipnya masih disimpan oleh Bapak Nazwar Chalidin Amar hingga saat ini. Selanjutnya setiap data yang penulis dapatkan dari sumber akan di tulis dalam format “Sumber : Bpk. Sulaiman Razak”
[52] Adalah atas inisitif Bpk. A. Kiram dan dan Bpk. Harun Smith yang saat itu berada di daerah Ciomas Jakarta (pada kurun waktu 1950-an daerah ini masi berbentuk tanah lapang) untuk membuat sebuah wadah bagi para pelajar Belitung yang ada di tanah rantau. Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.

[53] Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[54] Dari data yang masih bisa diselamatkan, tidak disebutkan secara rinci nama-nama yang masuk dalam keanggotaan KPB.
[55] Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[56] Dikatakan cikal bakal hendaknya tidak dimaknai dalam artian fisik, karena faktanya tempat Asrama pada kurun waktu itu berbeda dengan letak asrama pada saat ini. Namun sekiranya, makna cikal bakal ini lebih diartikan sebagai warisan bentuk nilai yang hingga kini pelajar Belitung merasakan buah dari semangat dan kerja keras pelajar Belitung yang tergabung dalam KPB generasi pertama. 
[57] Pemakaian istilah konferensi merupkan ruh dari KAA (konferensi Asia-Afrika) yang juga dilaksanakan pada tahun yang sama.
[58] MPB adalah singkatan dari Medan Pertemuan Buruh. Gedung ini dibangun oleh Perusahaan Timah sebagai sarana hiburan para pegawai timah biasa. Hal ini dapat dibedakan dengan gedung yang disediakan dengan pegawai timah staf yang biasa di sebut dengan Wisma Ria. Di dalam gedung MPB ini disediakan sarana seperti meja bilyard, pemutaran filem yang diadakan pada saat even tertentu dan took-toko yang menjual kebutuhan para buruh yang bekerja di Perusahaan Timah.
[59] Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[60] Sumber : Bpk. Nazwar Chlidin Amar.
[61] Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[62] Kedua tokoh ini adalah para pelajar Belitung yang penulis masukkan sebagai pelajar Belitung generasi pertama yang melahirkan berdirinya suatu wadah organiasi untuk mengatasi sulitnya pola interaksi dan komunikasi pelajar Belitung yang ada di Jakarta dan bandung. Berangkat dari ide kedua tokoh ini akhirnya berdirilah IPB yang berpusat di Jakarta dan Bandung sebagai salah satu Cabang pada kurun waktu 1952.
[63] Lakatos (1922-1974 M) dilahirkan Lipschitz di Debrecen, Hungarian. menerima gelar sarjana di bidang matematika, Fisika, dan filsafat dari Universitas Debrecen pada tahun 1944. Dalam perjalanana karirnya kemudian memilih bergabung dengan komunis selama perang dunia kedua yang kemudian mengalami krisis keyakinan diri dalam argumentasi pemikiran ketika dipenjara selama tiga (3) tahun (1950-1953).
[64] Ibid, hlm 85.
[65] Chalmers, A.F, , Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terj: Hasta Mitra,  What is this thing called Science?, (Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983). Hlm. 84-85.
[66] Modus tolendo tolens atau menidakkan sebab berarti menidakkan akibat dan Modus ponendo tolens atau mengiakan sebab berarti mengiakan akibat.
[67] Ide `heuristik negatif 'dari program penelitian ilmiah merasionalisasi konvensionalisme klasik hingga batas tertentu. Sisi rasional kami mungkin dapat memilih untuk tidak mengizinkan “sanggahan-sanggahan” guna menyampaikan kemungkinan kesalahan ke “hard core” selama dikuatkan dengan data-data empiris dari lingkaran pelindung yang juga mendukung hipotesa. Imre Lakatos, “Science and Pseudoscience”, dalam Philosophy of Science: The Central Issues, ed.: Martin Curd & J.A.Cover, W.W.Norton & Company, New York. 1998. p. 21.
[68] Kata organisasi pada dasarnya memiliki makna yang berbeda tergantung dari masing-masing tokoh yang memberikan makna terhadap kata organisasi tersebut. Namun setidaknya dari beberapa tokoh ini dapat disimpulkan bahwa organisasi secara umum memiliki makna, kerjasama sekelompok orang, yang mempunyai struktur dan hubungan kerja yang jelas serta mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara bersama. Lihat, Yayat M. Herujito, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006). hlm. 110. 
[69] Engkoswara, Administrasi Pendidikan, (Badung: Alfabeta, 2010). hlm.140.
[70] Engkoswara, Administrasi Pendidikan, (Badung: Alfabeta, 2010). hlm.143.
[71] Ibid, hlm. 144.
[72] Ibid, hlm. 150.
[73] Yayat M. Herujito, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006). hlm. 123.
[74] Perkataan hierarki yang berasal dari istilah bahasa inggris dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai jenjang organisasi, jenjang manajemen. Adapun yang dimaksud dengan jenjang organisasi adalah tingkat-tingkat satuan organiasi yang didalamnya terdapat kepengrusan yang memiliki tugas dan wewenang tertentu sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
[75] Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa struktur organisasi sedapat mungkin memiliki kandungan jumlah yang sederhana dalam tingkat manajemen, sehingga pola rantai perintah dapat lebih mudah dilaksanakan. Engkoswara, Administrasi Pendidikan, (Badung: Alfabeta, 2010). hlm.151.
[76] Perlu untuk diketahui, permasalahan ini hanya terjadi di IKPB Jakarta dan tidak terjadi di dua organisasi IKPB di daerah lainnya seperti Bandung dan Yogyakarta.
[77] Masyarakat umum juga pada dasarnya dieperbolehkan untuk menikmati fasilitas Pemerintah Daerah ini hanya saja sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang telah di tetapkan oleh kepengurusan Asrama yang sebelumnya di koordinasikan kepada IKPB sebagai organisasi induk. Hal ini menjadi penting untuk diketahui agar tidak ada kerancuan pemahaman. Bahkan hingga saat ini Asrama IKPB yang ada di daerah manapun mempersilahkan masyarakat Belitung yang dalam perjalanan untuk singgah beberapa hari guna beristirahat, hanya saja tetap terikat pada peraturan dan ketetapan.
[78] Harus bayak mengucapkan terima kasih kepada senior IKPB yang dalam masa-masa sulit ini tetap bersedia meluangkan waktunya dalam menengahi permasalahan yang ada dalam IKPB walaupun pada saat itu mereka tidak lagi berstatus sebagai anggota IKPB. Adalah Bpk. Rahim Syarif dan teman-teman selaku alumni IKPB dan Bapak Nazwar Chalidin Amar yang menyusun secara pribadi LPJ saudara husni Husein dengan alat yang seadanya pada masa kurun waktu 1985 (terlampir).
[79] Meminjam istilah yang digunakan Paul Feyerabend dalam bukunya Against Method and Science in a Free Society. Bahwa kata anarki berarti meniadakan sesuatu yang dianggap lebih dari yang lain. Hal ini di lanjutkan dengan lahirnya konsep apa saja boleh “anything goes” yang paling terkenal dalam konsepnya.
[80] Konferensi ini dilakuakan dibelitung pada tahun 1996. Selang 9 tahun sejak saudara Taman Syah diangkat menjadi ketua pada era 1987-an. Meminjam bahasa yang digunakan saudara Ja’far Usman dlam selang waktu 9 tahun tersebut IKPB pada saat itu “mati suri” sehingga harus dilakukan tindakan yang tepat dalam upaya meyelamatkan IKPB dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sumber : Saudara Ja’far Usman dan Subardi Thalib.
[81] Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[82] Ibid,…

[83] Sapaan yang akrab untuk beliau biasa diucapkan oleh para pelajar yang tergabung dalam kepengurusan IKPB hingga saat ini. Pada tahun 2006 juga dengan andil besar Bpk Nazwar Chalidin Amar IKPB Cabang Yogyakarta sempat mengadakan kegiatan reuni Alumni IKPB Cabang Yogyakarta yang pada saat itu sempat dihadiri oleh perwakilan Pucuk Pimpinan daerah Belitung dan Bpk. Wakil Gubernur Bangka Belitung Bpk Suryadi Saman. (Foto Terlampir).
[84] Individualis merupakan suatu falsafah yang mempunyai pandangan moral, politik atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung Jawab dan kebebasan sendiri. Seorang individualis akan melanjutkan percapaian dan kehendak pribadi. Mereka menentang campur tangan dari pihak luar seperti masyarakat, negara dan segala badan atau komunitas yang lain. Oleh karena itu, individualis menentang segala pendapat yang meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Falsafah ini juga kurang senang pada segala standard moral yang dikenakan ke atas seseorang karena peraturan-peraturan itu menghalang kebebasan seseorang. Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual, maka terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya.
[85] Penting untuk di ketahui, penentuan posisi kepengurusan Pusat dalam organisasi IKPB terjadi saat berlangsungnya Musyawarah Nasional (MUNAS). Tiap-tiap pelajar yang dinilai aktif dan memiliki integritas serta kapasitas yang layak sebagai ketua, dan kemudian dia terpilih, maka posisi pusat secara otomatis di tempatkan pada letak tempat pelajar tersebut menempuh jenjang pendidikan.
[86] Salah satu alamat yang bisa diakses adalah : ikpb-center.blogspot.com, twitter.com/PelajarBelitong, asramabetiongyk.blogspot.com.
[87] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005). hlm. 139-140.
[88] Ibid, hlm. 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar