IKPB Sebagai Sebuah
Organisasi Wadah Kreatifitas Pelajar Belitung
”Pengusung, Pengagas
dan Penggerak Menuju Perubahan”
Melihat betapa cepatnya penulis berkerja, sementara
kita hanya mampu mengerutkan dahi. Seseorang mungkin baru berniat untuk
menyusun sebuah tulisan yang berkaitan dengan sejarah organisasi yang didirikan
57 tahun yang lalu ini tepatnya pada tanggal 13 Mei
1955, ternyata penulis lebih dulu menyusunnya. Hal ini secara pribadi
pada dasarnya sebuah kebanggaan sekaligus bersamaan dengan kekecewewaan bagi
saya pribadi karena diusia tua ini belum sempat untuk menulis sejarah tentang
organisasi yang membesarkan saya. Namun
demikian, di usianya yang uzur organisasi ini memang sudah seharusnya memiliki
sejarah yang dibukukan agar dapat dijadikan acuan dan landasan terutama bagi
generasi penerus guna menjaga keberlangsungan organisasi ini. Menjadi penting
juga, karena
tanpa adanya tulisan sejarah mengenai organisasi ini otomatis akan menimbulkan “kegelisahan” secara intelektal untuk mendapatkan jawaban sekitar semangat juang para perintis awal IKPB serta nilai-nilai yang disusung yang tentu saja hendak disampaikan. Inilah setidaknya yang dialami para anggota IKPB saat ini dari gelagat keseharian yang saya amati. Amat riskan rasanya, di abad nuklir ini, dimana seluruh sarana dan prasarana dalam bentuk komunikasi yang memudahkan seseorang mengakses masa lalu dan memprediksi masa depan IKPB sama sekali tidak memiliki cacatan baku mengenai sejarah nya sendiri, karenanya saya secara pribadi bersyukur karena adanya tulisan ini.
tanpa adanya tulisan sejarah mengenai organisasi ini otomatis akan menimbulkan “kegelisahan” secara intelektal untuk mendapatkan jawaban sekitar semangat juang para perintis awal IKPB serta nilai-nilai yang disusung yang tentu saja hendak disampaikan. Inilah setidaknya yang dialami para anggota IKPB saat ini dari gelagat keseharian yang saya amati. Amat riskan rasanya, di abad nuklir ini, dimana seluruh sarana dan prasarana dalam bentuk komunikasi yang memudahkan seseorang mengakses masa lalu dan memprediksi masa depan IKPB sama sekali tidak memiliki cacatan baku mengenai sejarah nya sendiri, karenanya saya secara pribadi bersyukur karena adanya tulisan ini.
Penulis dalam hal ini dengan segala kemampuan
intelektualnya, sudah barang tentu tidak terbebas dari kekurangan dan
kelemahan. Maka sudah menjadi hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak
dari hasil kerjanya ini. Masih dalam hal ini, selaku seseorang intelektual yang
mencari kebenaran sudah tentu akan memanfaatkan beragam sumber dan informasi
atas pemikiran dan pendapat yang dikemukakan. Hal ini saya saksikan dalam
tulisan ini. Penulis pada dasarnya tidak hanya menjabarkan sejarah (lihat
bagian ke 3 dan sebagian bagian 4). Namun juga memaparkan konstruksi
pemikirannya dalam bagian 1,2 dan sebagian dalam bagian lainnya dalam tulisan
ini. Saya menganggap hal ini adalah hal yang lumrah karena untuk mengetahui
semangat perjuangan dan tujuan dari berdirinya IKPB seseorang harus mampu
melakukan pembacaan terhadap latar belakang yang mengitarinya seperti sisi
historis, meminjam bahasa penulis “religiusitas” dan juga konstruksi yang dilakukan
dengan pemikiran para tokoh yang dianggap sesuai dengan semangat dan
nilai-nilai ke-IKPB-an.
Mengapa harus menuliskan sejarah mengenai IKPB ?
pertanyaan semacam ini sering kali saya dengar dan tentu saja ditujukan kepada
saya pribadi. Sejarah memang hanyalah masa lalu, bulukan dan usang. Namun meminjam bahasa dari Lakatos seorang
filsuf kenamaan Hungaria bahwa “Filsafat ilmu tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah kosong; sejarah
ilmu tanpa filsafat ilmu adalah buta”.
Menunjukkan kepada kita bahwa ilmu tanpa sejarah yang melekat padanya sama
sekali tidak bermakna apa-apa dan demikian sebaliknya. Maka disinilah letak
pentingnya sejarah dalam pandangan pribadi saya.
Dalam tulisan ini, jika saya amati
penulis berusaha untuk memberikan hasil bacaannya terhadap realitas intelektual
yang dalam bahasa penulis “kaum muda Belitung” dengan memberikan gambaran
mengenai sisi geografis dan mata pencaharian penduduk serta tidak terlepas sisi
dimensi religius masyarakat yang di bawah bayang-bayang kesemuanya ini sisi
intelektual terbentuk. Ternyata didapatkan
bahwa memang terdapat nilai-nilai yang diusung walau itu dilakukan, jika
menurut penilaian saya “dilakukan tanpa sadar” oleh kaum muda Belitung pada
masa era awal. Implementasinya tentu saja gagasan untuk melanjutkan jenjang
pendidikan ini pada akhirnya merupakan cerminan bagi rentetan generasi
setelahnya dan berjalan seiring waktu hingga kini. Karenanya disadari atau
tidak IKPB pada dasarnya dilahirkan dari tokoh-tokoh awal yang disampaikan oleh
penulis dalam tulisan ini. Akhirnya, saya secara pribadi mengakui bahwa
merekalah pengusung, merekalah pengagas dan merekalah pengerak kaum intelektual
Belitung hingga saat ini untuk sampai pada suatu perubahan. Saya berharap
tulisan ini dapat digunakan sebagai awal pengkajian mengenai ke-IKPB-an, tentu
saja IKPB sebagai sebuah organisasi yang kreatif dan memberikan dampak positif
kepada daerah asal tempat para pelajar dilahirkan ataupun dibesarkan.
Kepada penulis saya sampaikan salut
atas kerja keras dan jerih payahnya dalam menyusun tulisan ini. Selama ini
memang belum ada tulisan yang saya nilai berbobot perihal sejarah organisasi
IKPB. Sehingga dengan adanya tulisan ini setidaknya dapat menyejukkan para
aktor intelektual yang haus akan sejarah IKPB yang selama ini menjadi pertanyaan.
Yogyakarta, 25 Juni 2012.
Nazwar
Chalidin Amar
Kata Pengantar
Boleh
dibaca boleh juga dilewati saja
Membuat sebuah kata pengantar untuk tulisan yang
berkaitan dengan sejarah masa lalu tidaklah selalu mudah, apa lagi dengan
adanya keterkaitan batin dan intelektual dengan sejarah tersebut. Namun demi
rasa hormat yang sangat kami harus seobjektif mungkin menggambarkan keseluruhan
fakta yang tentu saja dengan merendahkan hati dan diri seraya menyadari bahwa
adanya unsur ketidak mungkinan dari penulis untuk memberikan kenyataan fakta
sejarah yang sesunguhnya. Meminjam bahasa yang digunakan Immanuel Kant[1] bahwa manusia pada dasarnya hanyalah mampu menggambarkan
sebagian fenomena dari sebuah peristiwa dan tidak mungkin menggambarkan
keseluruhan fenomena, karenanya kami menyadari bahwa tulisan ini
hanyalah sebagian kecil dari usaha yang mungkin suatu saat akan disempurnakan
oleh generasi penerus yang bersedia masuk dan terjun dalam peristiwa sejarah
ke-IKPB-an.
Hal ini perlu mengingat perjalanan sejarah yang
selama ini kita yakini sebatas pada masa lalu pada dasarnya juga adalah
rangkaian dari perjalanan masa yang akan datang dan rangkaian perjalanan waktu
tersebut akan melekat padanya sebuah peristiwa-peristiwa penting yang hendaknya
dicatat agar dapat menjadi acuan dan pengajaran bagi generasi-generasi yang
akan datang. Melihat begitu panjangnya rentang waktu yang akan menjadi
pembahasan dalam tulisan ini, mungkin akan tampak jelas keterbatasan dan dengan
banyaknya kekurangan disana-sini sehingga diperlukan sikap kritis karena dengan
segenap kemampuan intelektual dari penulis sudah tentu tetap saja tidak
terlepas dari kekurangan.
Tulisan ini diharapkan menjadi salah satu tulisan
yang komprehensif dalam menggambarkan kelahiran dan perkembangan IKPB. Tulisan
ini juga diharapkan menjadi sebuah tulisan yang mampu menggambarkan sejarah
kelahiran dan perkembangan IKPB tidak sebagai sebuah sejarah yang mati, namun
sepenuhnya tulisan ini berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu dalam
tulisan ini juga digambarkan secara estafet peristiwa sejarah dan perkembangan
IKPB bahkan hingga detik peristiwa ketika tulisan ini di buat.[2]
Akhirnya kepada alumni, anggota serta simpatisan
IKPB kami sampaikan maaf yang sebesar-besarnya jika tulisan ini tidak mampu
untuk menggarkan semangat dan esensi yang sesungguhnya dari nilai-nilai yang
hendak disampaikan oleh IKPB. Terima kasih juga kami sampaikan kepada
senior-senior (tidak mungkin kami sebutkan satu persatu) telah memberikan data
dan informasi serta sesepuh kami Bapak Nazwar Chalidin Amar yang bersedia
meluangkan waktu dan tenaga dalam penyusunan serta bersedia merevisi tulisan
ini. Kepada Allah kami berserah, semoga setiap usaha dan kebaikan selalu
terlaksana demi tegaknya “untaian kebaikan”
dalam diri kami dan IKPB kami.
Yogyakarta, 1 Juni 2012.
Lukman Hakim
Daftar Isi
Sambutan Bupati
Belitung, Oleh: Ir. H. Darmansyah
Husein
Sebuah Pengantar: IKPB
Sebagai Sebuah Organisasi Wadah Kreatifitas Pelajar Belitung ”pengusung,
pengagas dan penggerak menuju perubahan” Oleh Nazwar Chalidin Amar
Kata Pengantar
Bagian Pertama
Belitung Era 1950-Pra
Tambang Inkonvensional
-
Kondisi Geografis
Belitung
-
Mata Pencaharian
Masyarakat
-
Religiusitas dan
pengaruhnya
-
Pengaruh religiusitas
pada kaum muda Belitung
Bagian Kedua
Refleksi Spirit
Perjuangan dan Pembebasan
-
Sprit Perjuangan Kaum
Muda Belitung (refleksi Nilai)
-
Spirit Pembebasan Kaum
Muda Belitung (refleksi Nilai)
Bagian Ketiga
Historisitas IKPB
-
IKPB dan Latar Belakang
Berdirinya
-
Nilai-Nilai yang disusung
-
Pembudayaan Nilai
Bagian Keempat
IKPB Saat Ini
-
Pasang surut IKPB
-
IKPB saat ini
-
Pemudaran nilai
-
Refleksi nilai
ke-IKPB-an dan manfaatnya
Kepustakan
Lampiran-lampiran
Riwayat Singkat Penulis
Bagian Pertama
Belitung Era 1950-Pra
tambang
inkonvensional
Belitung Era
1950- Pra Tambang inkonvensional
Sangat berkesan mengamati perkembangan yang terjadi
pada pulau Belitung. Sebuah pulau kecil yang letaknya masuk dalam gugusan
kepulauan andalas dalam tanah Air. Melayu yang menjadi identias kesukuan dan
Melayu juga yang menjadi bahasa keseharian menjadikan Belitung masuk dalam
rumpun kesatuan bersama pulau-pulau Sumatra lainnya baik dari sisi kultur dan
bahasa. Namun demikian, harus diakui multi dimensi juga ikut tumbuh dan
berkembang di pulau Belitung.
Faktanya, walau Melayu menjadi entitas yang dominan
namum social and cultural encounter
juga terdapat dalam pulau tersebut. Etnis yang dapat ditemui dan menjadi
pemandangan yang biasa adalah etnis Tionghua[3]
yang juga turut mendiami pulau Belitung sejak lama bahkan bisa dikatakan hingga
kini kedua etnis hidup dan saling melakukan interaksi tanpa adanya konflik.[4]
Melihat fakta yang demikian sepertinya konsep Freud mengenai thanatos[5]
tidak terjadi dalam kehidupan masyarakat Belitung. Ungkapan ini memang terkesan
berlebihan, namun setidaknya konflik dalam sekala besar yang berkaitan dengan
persoalan etnik belum terjadi di Belitung.
Dengan memperhatikan kondisi masyarakat Belitung
yang plural dari segi kultur dan religi menjadi bukti betapa besarnya potensi
dan kekuatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan jika tentu saja proses
integrasi terus terlaksana dan tidak menghadapi hambatan. Namun akan menjadi
mala petaka yang dahsyat jika multi dimensi ini disikapi dengan latah dan tidak
bertanggung Jawab, atau adanya kecendrungan memperjuangkan kepentingan individu
dan golongan tertentu.
Fenomena ini sangat positif setidaknya untuk
memberikan gambaran awal kita mengenai semangat juang masyarakat Belitung,
terlepas dari segala keterbatas pemahaman dan konsep mengenai teori-teori
interaksi namun kemudian secara alami dapat menjalin kebersaman. Tampaknya
tanpa harus melirik tulisan-tulisan yang berkaitan dengan sistem dan struktur
teori masyarakat, kita akan dapat menemukan pola rancang kehidupan yang
harmonis dalam kehidupan masyarakat Belitung.
A.
Kondisi
Geografis Belitung
Gambar 1.1.
Letak Pulau Belitung
dalam Peta Indonesia
(Sumber: www.
earth. google.com)
Secara astronomis, Kabupaten Belitung terletak
antara 107008’ BT sampai 107058’ BT dan 02030’
Lintang Selatan sampai 03015’
Lintang Selatan, dengan luas seluruhnya 229.369 ha atau kurang
lebih 2.293,69 km2. Secara keseluruhan, dalam peta dunia Pulau Belitung
dikenal dengan Billitonit yang
bergaris tengah Timur-Barat kurang lebih 79 km dan garis tengah
utara selatan kurang lebih 77 km. Adapun secara geografis, batas-batas
Kabupaten Belitung adalah sebagai berikut :
-
Sebelah Utara :
Berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
-
Sebelah Timur :
Berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur,
-
Sebelah Selatan :
Berbatasan Dengan Laut Jawa,
-
Sebelah Barat :
Berbatasan Dengan Selat Gaspar.
Secara
topografi, daerah yang paling tinggi Pulau Belitung adalah diketinggian 500 m
yakni pada puncak Gunung Tajam. Sedangkan daerah hilir (pantai) terdiri atas
beberapa daerah aliran sungai (DAS) utama yakni :
1. Sebelah
Utara : DAS Buding,
2. Sebelah
Selatan : DAS Pala dan Kembiri,
3. Sebalah
Barat : DAS Brang dan Cerucuk[6].
Kedaan
permukaan tanah pulau Belitung juga penting untuk kita ketahui, karena dari
satu sisi ini kemudian akan diketahui bagaimana cara yang ditempuh masyarakat
untuk bertahan hidup. Keadaan tanah pada permukaan Kabupaten Belitung pada
umumnya didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alivial dan batuan granit.
Menurut letaknya keadaan tanah yang demikian menyebar merata dan hampir
menyeluruh di permukaan tanah kepulauan Belitung. Dalam riset yang pernah
dilakuakan Fakultas kehutanan Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan
Pemerintah Kabupatem Belitung pada tahun 1983 dikatakan,
“secara umum
tanah di Kab Belitung memiliki tingkat produktifitas yang rendah sampai sedang
karena miskin unsur hara dan bahan organic, bereaksi masam (pH rendah),
kapasitas atau kemampuan penukaran kation (KPK) dan kejemuhan basah yang
rendah. Karena sifat-sifat tersebut, maka tanah ini diperlukan pengapuran,
pemupukan dan pengawetan tanah…”[7]
Sedangkan secara topografi mengenai aliran sungai,
Pulau Belitung pada umumnya bergelombang dan berbukit-bukit mengakibatkan
terbentuknya pola aliran sungai yang bersifat sentrifugal, dimana sungai-sungai
yang ada berhulu didaerah pegunungan dan mengalir kedaerah pantai. Sedangkan
daerah aliran sungai mempunyai pola aliran sungai berbentuk pohon[8].
Pengaruh yang demikian mengakibatkan kreatifitas
masyarakat menjadi jauh lebih berkembang dengan berbagai macam aktivitas
seperti bebanjor (memancing ikan
dengan sistem inap), nanggok (menangkap
ikan dengan menggunakan alat yang terbuat dari bambu atau rotan yang berbentuk
seperti loyang dimana bentuk pola seperti saringan) dan ngembubu (memasang
jerat atau perangkap ikan di dalam air yang mengalir).
Dalam kaitannya dengan iklim, Pulau Belitung secara
keseluruhan memiliki iklim tropis dan basah dengan curah hujan bulanan pada
tahun 2006 antara 3,3 mm sampai dengan 691,6 mm dengan jumlah hujan antara hari
1 sampai 30 hari tiap bulannya[9].
Dalam kedaan iklim yang demikian,
maka otomatis bentuk hutan yang ada pada Pulau Belitung secara keseluruhan
dapat dikategorikan sebagai hutan hujan tropis. Biasanya hutan hujan tropis
memiliki ciri-ciri yang otentik baik dalam bentuk pohon dan rerumputan.
Bentuk pepohonan yang ada pada dataran Pulau Belitung
(setelah terjadi penebangan) adalah pohon yang memiliki ukuran medium (sedang),
sedangkan pepohonan yang memiliki ukuran sangat besar hanya terdapat pada hutan
yang jauh dari pemukiman dan hutan yang belum pernah digunakan sebagai ladang
(kebun) oleh warga.
B.
Mata
Pencaharian Masyarakat Belitung
Melihat topografi pulau Belitung dan keadaan iklim
yang ada, didapatkan beberapa aktivitas utama yang menjadi sumber kehidupan.
Pada dasarnya kehidupan masyarakat Belitung dari sisi mata pencaharian tidak
jauh berbeda dengan kebanyakan masyarakat di nusantara. Namun ada keunikan
tersendiri sesuai dengan nilai dan kultur budaya yang berkembang.
Kita ambil contoh dan sejalan dengan yang di
ungkapkan A.A Fyzee bahwa pulau Jawa
yang memiliki budaya sawah maka budaya dan nilai yang berkembang akan berbeda
dengan pulau Belitung yang tidak memiliki budaya tersebut. Dalam sisi ini
Belitung dengan keadaan geografis yang yang berbeda akan lebih cocok dengan
konsep kebudaan tegalan yang kemudian melahirkan dampak sosial dan psikologis
yang berbeda dengan konsep budaya sawah. [10]
Berbeda dengan sistem pertanian yang ada di pulau Jawa
dan daerah yang lain diluar pulau Belitung, masyarakat di pulau ini tidak
menggunakan[11]
konsep sawah dalam praktek pertanian namun lebih tepat menggunakan konsep
ladang.[12]
Kondisi permukaan tanah yang terdiri dari
kwarsa dan pasir, batuan alivial dan batuan granit memang tidak tepat
jika menggunakan konsep sawah.
Gambar
1.2
Pembukaan Lahan untuk Perkebunan
Sumber: Observasi Lapangan
Namun ada satu sisi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut,
walau masyarakat Belitung memiliki kemandirian dalam bidang pertanian, terdapat
sistem budaya yang menempatkan seorang Dukun
Kampong[14]
yang memiliki andil besar dalam kehidupan keseharian masyarakat Belitung. Sosok
ini tidak hanya masuk dalam lini mata pencaharian saja namun juga pengaruhnya
masuk dalam sendi kehidupan yang lain, dalam bahasa yang berbeda masyarakat
Belitung tidak tunduk dan patuh pada pemerintah namun lebih tunduk dan patuh
pada nilai-nilai budaya yang dengan unsur metafisik spiritual.[15]
Selain pertanian sebagai mata pencarian masyarakat
pulau Belitung, ada beberapa mata pencaharian yang lain yang juga menjadi
sumber kehidupan semisal masyarakat yang tinggal pada daerah pesisir, secara
otomatis akan menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Selain itu
juga sejak masuknya Belanda ke Belitung sekitar awal abad ke 19 M dengan tujuan
mengeksplorasi sumberdaya alam Belitung telah ada masyarakat lokal yang menjadi
pekerja yang direkut secara langsung oleh Pemerintah Belanda dan ini
berlangsung hingga masa eksplorasi yang dilakukan Belanda usai karena
kemerdeaan RI dan bahkan setelah pengambil alihan fungsi eksplorasi timah oleh
Pemerintah Indonesia masyarakat lokal masih ada yang menggantungkan hidupnya
dari timah dengan menjadi pekerja pada Perusahaan Timah. Hanya saja
persentasenya sangat kecil dibandingan mata pencaharian utama masyarakat Belitung
pada umumnya dan masyarakat yang bermata pencaharian ini berpusat pada
daerah-daerah yang menjadi tempat eksplorasi timah.
C.
Religiusitas
dan Pengaruhnya
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. yang telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang paling pemurah, yang
mengajarkan (manusia) dengan perantra pena.” (Q.S Al-alaq 1-4)
Berbicara mengenai religiusitas[16]
berarti berbicara mengenai tata nilai yang berkembang di masyarakat. Baik itu
Islami maupun “non” Islami. Religiusitas merupakan juga denyut jantung kehipan
masyarakat, dia tumbuh dan berkembang seiring dengan pertubuhan budaya dan
peradaban yang merupakan hasil stimulus dari kebudayaan. Religiusitas akan
terus berproses dan dalam sifatnya yang kemudian bertransformasi mejadi sebuah
bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah sistem sosial.
Jika religiusitas yang juga berfungsi sebagai tata
nilai maka ia berkaitan erat dengan “pola pikir” yang hidup dalam masyarakat
sehingga erat pula kaitannya dengan kebudayaan itu sendiri. Dalam perspektif
ini, tata nilai yang melandasi gerak dan aktivitas individu dalam masyarakat
ada hubungannya dengan literatur, pola pendidikan, wejangan-wejangan,
idiom-idiom, kitab suci, buku-buku keagamaan, wasiat leluhur dan lain
sebagainya yang digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan pola pikir dan
bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Itulah tata nilai yang tumbuh
dimasyarakat tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari realitas sosial yang
melingkarinya.[17]
Selama ini kecacatan tata nilai kebanyakan terjadi
akibat gagalnya proses dialogis yang mengabaikan satu sisi penting, yakni
mengabaikan dimensi sejarah sehingga sehingga terkesan timbulnya gap dari tata nilai yang seharusnya (ought) dengan realitas yang ada (is). Jika gap yang ada di biarkan maka akan menimbulkan anarki pola pikir
yang berdampak pada terbentuknya sistem sosial yang tidak menguntungkan bagi
masyarakat itu sendiri.
Bentuk tata nilai yang ada dalam masyarakat Belitung
tergolong berasal dari banyak sumber. Tidak hanya agama yang menjadi pembentuk
utama namun sesuai dengan adat dan tradisi Melayu, banyak nya idiom-idiom yag
tersebar di masyarakat baik dalam bentuk ajaran-ajaran moral dan mitos turut
mempengaruhi pola pikir masyarat Belitung. Ajaran-ajaran moral yang berkaitan
dengan bentuk penghormatan terhadap alam misalnya merupakan paketan tradisi
leluhur yang turun-temurun yang tetap terjaga pada era tahun 1950-an hingga
berakhir pda maraknya eksplorasi timah yag dilakukan masyarakat lokal dalam
bentuk tambang inkonvensional.[18]
Sebuah fakta yang juga tidak bisa diabaikan, Melayu
dalam sekalanya yang lebih luas, dikenal oleh dunia Islamic studies sebagai salah satu sember referensi utama mengenai
kajian disiplin keilmuan Tasawuf
selain India dan Parsi (sekarang Iran), namun sayangnya nili-nilai mengenai
satu kajian dalam Islamic studies ini
tidak menajadi tren sentra dalam keseharian masyarakat Belitung atau mungkin
karena keterbatasan data yang didapatkan penulis sehingga belum mencium adanya
tata nilai mengenai dimensi Tasawuf.[19]
Religiusitas sebagai tata nilai terkesan bersifat diaspora, tanpa adanya kejelian dalam
melakukan kajian tidak menutup kemungkinan potongan-potongan dimensi yang
memiliki andil dalam pembentukan religiusitas tidak terdeteksi. Belitung
seperti yang telah disinggung sebelumnya memiliki sosio kultural yang berbeda
dengan budaya lain. Kita tidak dapat dengan serta merta menyamakan unsur
religiusitas masyarakat Belitung dengan masyarakat Pulau Jawa karena mereka memiliki
nilai sosio kultural yang berbeda. Namun demikian, kenyataannya unsur ketidak
samaan ini dominan pada sisi partikular (matter)
dan terdapat kesamaan-kesamaan pada sisi universal (form). Sehingga diharapkan para pengkaji unsur religiuitas tidak
terjebak pada tataran partikular saja namun juga harus melirik pada nilai-nilai
universal yang terbangun.
Sebagian pemahaman masyarakat Belitung mengenai
religiusitas yang berkaitan dengan nilai dogmatis dan teologis muncul tidak
hanya berasal dari doktrin-doktrin kegamaan semata. Namun juga terdapat idiom
dalam bentuknya yang baku, buah dari tradisi leluhur yang tersampaikan secara
oral dan turun temurun.
Dalam prakteknya nilai religiusitas pada dasarnya
memiliki tujuan dan kepentingan untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi
tindakan manusia. Tindakan yang benar,
apakah tindakan politik, keagamaan maupun sosial. Kata benar disini di pandang
sebagai pengeJawantahan bentuk pengabdian kepada Tuhan. Karena itu religiusitas
sebagai tata nilai mengutamanakan semua penekatan-penekanan moral dan faktor-faktor
psikologis yang melahirkan kerangka berfikir yang benar bagi tindakan. Tata
nilai ini kemudian memeperingatkan kepada manusia terhadap kesombongan dan rasa
cukup-diri (self-sufficiency), yakni
humanism murni.[20]
Dewasa ini kita menyadari bahwa perubahan sosial
adalah sesatu yang tidak mungkin terhindari. Kemajuan IPTEK yang dipandang
sebagai bagian dari modernitas juga bak getah, melakat pada setiap individu
masyarakat Belitung. Jika dulu anak-anak masa usia bermain menggunakan
alat-alat yang sederhana dalam permainan mereka, kini sudah jauh berbeda. Jika
dulu sepulang sekolah anak-anak usia bermain meyempatkan diri untuk datang
kerumah “guru ngaji”, kini juga sudah
demikian halnya.
Untuk menanamkan nilai religiusitas sebagai tata
nilai bukan berarti IPTEK dan modernitas bukan pasangan yang cocok, namun
menurut hemat penulis, hendaknya ada kesadaran diri pada setiap individu untuk
menggali lebih jauh potongan-potongan pembentuk unsur religiusitas yang kelak
akan mejadi identitas masyarakat Belitung.
--“Why should I claim to guide men before I
myself am guided”--
(King
Akbar)
D.
Pengaruh
Religiusitas Pada Kaum Muda Belitung
Melalui kacamata sejarah, setidaknya ada 12 teori
yang dapat teridentifikasi hingga saat ini yang menceritakan tentang pross
masuknya Islam ke nusantara. Dari 12 teori yang diungkapkan salah satu teori
yang dominan dan selama ini kita kenal adalah teori Gujarat yang oleh Ahmad
Mansur Suryanegara disebut sebagai teori lama. Teori ini mendapat kritik dari
HAMKA[21]
pada tahun 1958 yang melahirkan teori baru yang disebut dengan teori Mekkah.
Koreksi HAMKA ini disampaikan dalam Pidato Dies Natalis ke-8 Perguan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAI)[22]
Yogyakarta pada tanggal 26 September 1959. Kritik ini pulalah yang disampaikan
dan diperkuat oleh HAMKA dalam Seminar Sejarah Masuk Islam ke Indonesia di
Medan pada tahun 1963.[23]
Terlepas dari perdebaan perihal masuknya Islam di
nusantara, HAMKA sendiri pada dasarnya menolak konsep klasik dengan meyakini
bahwa masuknya Islam pada abad 13 di nusantara karena pada kurun waktu tersebut
telah berdiri kekuasaan politik Islam yang saat itu bertempat di Samudra Pasai
(sekarang aceh). Dengan demikian, pengaruh yang kuat dari Samudra Pasai akan
sampai pada daerah yang lain yang masuk dalam lingkup pulau Sumatra termasuk
Belitung walaupun data yang berkaitan dengan masuknya Islam di Belitung pertama
kali belum di dapatkan.
Perkiraan ini memang terkesan spekulatif, namun
setidaknya jika memang masuknya Islam di Belitung terjadi setelah kurun waktu
abad 13, tetap saja nilai dan pengaruh Samudra Pasai lebih dominan walau
digantikan dengan sistem politik Islam yang lain (baca : Kerajaan Islam lain
yang berdiri di Sumatra-Penulis).
Pada kurun waktu tahun 1950 agama yang berkembang di
Belitung didominasi oleh Islam dan hingga kini masih tetap sama. Proses
penyampaian paham keagamaan didapatkan secara turun temurun dari orang tua dan
belajar secara langsung dengan “guru
ngaji” walau entitas pertemuan tidak terlalu intens.[24]
Pemerintah dalam hal ini, pada kurun waktu tahun
1950-an juga telah membuat madrasah yang bertujuan memberikan pemahaman
keagamaan dengan mendatangkan tenaga pengajar yang dominan dari Padang Pandang
(Sumatra Barat), dan sebagian juga ada yang berasal dari pulau Jawa Khususnya
Yogyakarta.[25]
Pengaruh religiusitas pada akhirnya akan mengarah
pada tujuan yang berpangkal kepada kebajikan. Salah satu unsur yang ada semisal
kehidupan yang “sakinah” (kedamaian)
baik dalam tataran keluarga dan bermasyarakata hal ini telah disinggung dalam
poin sebelumnya dalam tulisan ini bahwa religiusitas berarti berkaitan dengan
tata nilai, namun tidak membicarakan bagaimana bentuk tata nilai tersebut.
Sebagai tata nilai, dengan keterbatasan sumber akses
keagamaan pada kurun waktu 1950-an di Belitung, tidak menyurutkan niat dan
semangat sebagian kaum muda pada saat itu untuk terus menggali potensi dalam
bentuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun secara
persentase jumlah yang memiliki keinginan untuk meneruskan pendidikan relative
kecil dibandingkan yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang
lebih tinggi. Namun setidaknya semangat sebagian orang ini dikemudian hari
menjadi contoh bagi generasi-generasi setelahnya.[26]
Disinilah kita temukan fakta bahwa pengaruh religiusitas
yang kemudian membentuk tata nilai tidak hanya cukup pada sisi konsepsi saja,
namun juga harus di telurkan dalam bentuk praktis, dimana setiap orang yang
dalam masa on going process dapat melihat
contoh-contoh yang kemudian mengantarkan dirinya pada tindakan dan tujuan
akhir.
Religiusitas pada akhirnya tidak hanya sekedar dalam
tataran konsepsi metafisik semata, namun juga dapat didekati secara ilmiyah.
Tindakan dari segelintir kaum muda Belitung yang memberanikan diri jauh dari kedua
orang tua dan sanak saudara oleh sebagian kalangan biasa disebut dengan the science of religion, atau the scientific study of religion atau
juga sering disebut dengan the
comparative study of religion. Karena nyatanya kaum muda tersebut (pada kurun
waktu ini) dalam perjalanannya tidak hanya mempelajari kajian-kajian yang
berkaitan dengan Islamic studies namun juga mengkaji kajian keilmuan yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu yang “non” Islamic studies.
Dengan demikian jika Ernest Gallner[27]
menandai era postmodernisme dengan maraknya studi tentang fundamentalism,
relativism dan deconstructionism, maka kaum muda Belitung pada masa itu sudah
melakukan hal serupa dengan melakukan interkoneksi keilmuan yang baru-baru ini
marak sekali diperbincangkan.
Kajian dalam sub judul ini secara akademik bukan
bertujuan untuk memberikan batasan-batasan studi keilmuan yang di lakukan oleh
segelintir kaum muda Belitung pada kurun waktu 1950-an tetapi lebih dimaksudkan
untuk menerangkan implikasi dan konsekuensi religiusitas yang ada dalam diri
kaum muda pada saat itu kemudian akan mampu kita kaitkan dengan keadaan
realitas saat itu dan implikasinya hingga saat ini.
Dengan demikian, setelah kita mengetahui bagaimana
kondisi sosial masyarakat Belitung pada saat itu mulai dari keadan geografis,
mata pencarian, kondisi religiusitas dan juga bagaimana konsepsi pendidikan.
Kini kita dapat membayangkan bagaimana usaha dan semangat yang ada pada
segelintir kaum muda yang memberanikan diri meninggalkan pulau Belitung jauh
dari orang tua dan sanak keluarga guna meneruskan jenjang pendidikan. Akhirnya,
deskripsi bagaimana spirit dan semangat juang mereka akan di uraikan dalam
bagian kedua dari tulisan sederhana ini.
Bagian Kedua
Refleksi Spirit
Perjuangan dan
Pembebasan
Refleksi Spirit Perjuangan dan
Pembebasan
“Didiklah dan persiapkan generasi penerusmu
untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman
yang bukan zaman mu” (Ali bin Abi Thalib)
Pesan dari Kalifah Ali bin Abithalib di atas sengaja
saya kutip untuk menggambarkan spirit perjuangan dan pembebasan kaum muda
Belitung generasi awal untuk meneruskan jenjang pendidian ke tanah rantau
meninggalkan keluarga dan sanak saudara demi sebuah kata “cita-cita”.
Di balik pesan Khalifah Ali secara tersurat maupun
tersirat pada dasarnya menggarkan betapa pentingnya arti dari sebuah pendidikan
baik bagi diri sendiri maupun bagi generasi penerus yang juga kelak akan
berorientasi pada sebuah kemajuan peradaban. Tidak lah ada satupun peradaban di
muka bumi ini yang tidak bertopang pada ilmu pengetahuan baik empiris rasioanl
maupun mistik metafisik semuanya merupakan satu kesatuan dalam kerangka besar
ilmu pengetahuan. Mereka kaum muda generasi awal, adalah embrio semangat dan
perjuangan para kaum muda saat ini dalam menempuh jalur dan jenjang pendidian.
Kini dapat kita saksikan arus perubahan yang sangat signifian dari hasil semangat
juang dan pemebebasan dari kaum muda generasi awal dalam dunia pendidikan.
Mau tidak mau, rela atau terpaksa hal ini telah
menjadi fakta sejarah bahwa kini segenap jajaran Pemerintahan Belitung telah
diisi oleh orang-orang yang berpendidikan. Cerdas secara akademik dan kenyang akan
pengalaman. Mereka, hampir secara keseluruhan adalah aktor-aktor penerus
semangat muda generasi awal yang juga melakukan hal yang sama. Meninggalkan
Belitung, jauh dari orang tua dan sanak saudara demi merasakan jenjang
pendidikan yang lebih baik.
Hendaknya di garis bawahi, tidak semua kaum muda
Belitung memiliki latar belakang keluarga yang sama. Ada sebagian dari kaum
muda hingga saat ini hanya semata-mata “bondo
nekat”[28]
demi mencapai cita-citanya. Semangat kaum muda seperti inilah yang harus kita
berikan apresiasi yang lebih dan kaum muda seperti inilah yang justru bisa
lebih mampu meresap makna spirit perjuangan dan pembebasan kaum muda generasi
awal.
Masih terngiang dalam benak penulis hingga saat ini
ketika dalam percakapan kecil dengan salah satu senior yang kini bisa tersenyum
riang buah dari usahanya yang lalu. Beliau bukanlah orang berada pada masanya.
Kedua orang tua yang petani dimana hasil dari pertanian hanya cukup untuk
menafkahi kehidupan sehari-hari nyaris memupuskan keinginan beliau untuk
menempuh jenjang pendidikan selepas lulus SD di Belitung.
Selepas lulus SD tawaran sederhana di lontarkan orang
tua laki-laki beliau pada saat itu dengan berkata “jang ko nak nyangkul ki bapak ape nak sekula” sambil tersenyum
beliau meneruskan, entah waktu itu karena masih masa kanak-kanak atau karena
memang adanya keinginan yang besar untuk terus sekolah bilau menjawab “sekulah pak”. Jawaban ini bukan tanpa konsekuensi.[29]
Setelah mendengar Jawaban beliau kemudian orang tua beliau melanjutkan
percakapan
“mun ko nak
sekulah, ke Jawe gilah ikut abang ko nok kereje bejual koran. Bantuk-bantuk
belau lah disanak sambil ko sekulah. Jangan lupak shalat, belajar pandai-pandaila,
bagi waktu juak pandai-pandaila, maaf misal bapak dak dapat ngirimek ko duit
tiap bulan. Kini bapak bawaek ko surat kidang abang ko, mun la sampai sanak ko
berik kan surat ini kan belau.”
Perkataan ini terbatas dalam bentuk kalimat, namun secara
maknawi perkataan ini seperti tak terbatas menembus dimensi ruang dan waktu.
Waktu itu penulis tidak bisa membayangkan seorang anak berusia 12 tahun pada
saat itu harus meninggalkan keluarga demi sebuah cita-cita. Dengan kehidupan
yang keras, bekerja sambil terus sekolah. subuh hari beliau loper Koran siang
hari beliau ngasong di terminal dan terkadang di stasiun.
Cerita ini hanya sekelumit dari sekian banyak kisah
yang di alami para kaum muda Belitung dalam menempuh jenjang pendidikan di
tanah rantau. Namun dapat dipastikan setiap hati orang tua selalu menginkan
anaknya mendapat pendidikan yang terbaik. Bukan demi kepentingan mereka tetapi
demi masa depan anak-anak mereka yang lebih baik. Bukan untuk menjadikan
anak-anak mereka sebagai tempat bersandar bagi mereka dimasa tua layaknya
parasit. Namun agar anak-anak mereka tidak memiliki nasib yang sama dengan
mereka. Alangkah sangat disayangkan jika generasi penerus kaum muda saat ini
telah mengalami reduksi nilai yang akut seperti yang kita saksikan saat ini.
Karenanya, pengkajian nilai dari manapun sumber data yang didapat sangat
penting kita lakukan dan menjadi tanggung jawab bersama.
A.
Spirit
Perjuangan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
“tidak ada yang abadi di dunia selain
perubahan” (Heraclitus)[30]
Dewasa ini kita sering menemukan berita dengan tema
“perjuangan” di media informasi baik cetak maupun elektronik. Perjuangan dalam
makna nya, secara universal adalah usaha menuntut perubahan untuk menuju kepada
sesuatu yang lebih baik. Sedangkan nilai partikular “perjuangan” bisa dalam
bentuk apa saja. Pendidikan, penuntutan hak yang berkaitan dengan keadilan,
usaha melepaskan
diri dari kolonialism dan lain
sebagainya adalah bentuk-bentuk perjuangan yang bersifat partikular semata.
Untuk melakukan suatu perubahan, sudah semestinya
diawali dengan perjuangan karena perubahan tidak terjadi dengan sendirinya.
Pada titik inilah letak kesulitan-kesulitan dan kesiapan dalam menerima segala
bentuk konsekuensi. Inilah salah satu nilai penting yang harus di hayati kaum
muda Belitung saat ini.
Sejak kurun waktu 1950-an hingga saat ini telah
banyak kaum muda yang memutuskan untuk
meneruskan jenjang pendidikan, namun sangat dikhawatirkan karena adanya
pergeseran paradigma (shift paradigms)
dalam perjalanannya. Jika perjuangan kaum muda era 1950-an murni berusaha untuk
menciptakan perubahan baik pada diri dan lingkungan, namun kini mulai bergeser
pada materi sebagai tujuan.
Pergeseran paradigma ini oleh sebagian sejarawan
diyakini sebagai bagian dari perjalanan sejarah, meminjam bahasa dari Manuel
Castello, bahwa dunia terus mengalami perubahan dengan ditunjukkan kemajuan
dari segala sisi seperti kemajuan teknologi informasi dan jaringan komunikasi
yang kini terjadi secara global dan mempengaruhi segala bentuk persendian dalam
kehidupan. Akibatnya kini manusia menjadi terintegrasi kedalam sistem
pemahaman yang pluralistik. Manuel
Castelo memberikan bahasa untuk fenomena ini dengan istilah “Network Society” yang dicirikan dengan
ragam aktivitas yang terkait dengan perekonomian, kemudahan pola komunikasi dan
transformasi sejarah.[31]
Pada dasarnya bukanlah bertujuan memberikan penghakiman pada
sebagian orang yang meyakini materi sebagai satu-satunya jalan keluar bagi
permasalahan dalam kehidupan. Jika pemahaman ini dapat kita arahkan pada nilai
dasar dari tujuan yang semestinya, maka shifting
paradigms dalam maknanya tidak perlu terjadi. Setiap orang boleh saja tetap
pada pendiriannya materi atau perubahan diri, namun tetap tidak melupakan nilai
universal dari perjuangan, apa dan untuk apa perjuangan tersebut.
Perjuangan kaum muda Belitung dalam bidang
pendidikan pada dasarnya adalah sesuatu yang memang dan harus dilaksanakan. Hal
ini bertujuan agar kita dapat mempersiapkan diri pada segala bentuk perubahan
saat ini dan masa yang akan datang. Mungkin kita sering menanyakan, mengapa
kaum muda harus berjuang terutama dalam bidang pendidikan ?, sedangkan
perjuangan ini belum tentu dapat kita nikmati di masa kini. Untuk menJawab
pertanyaan ini mari kita kembalikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa
perjuangan yang dilakukan adalah bertujuan melakukan perubahan dan perubahan
terjadi memang bukan pada saat ini namun secara berangsur sesuai dengan
seberapa besar perjuangan kita.
Disisi lain, pendidikan juga sangat penting guna
menghadapi permasalahan-permasalahan di masa depan yang di prediksi akan
dipenuhi dengan isu kemiskinan dan kesenjangan di era globalisasi.[32] Kaum
muda Belitung, kaitannya dengan isu ini diharapkan mampu memantapkan kembali
tujuan dari perjuanganya dalam bidang pendidikan. Menyiapkan sejak dini akan
arus global yang penuh akan sosial and kultural
encounter dalam bentuk interaksi.
Isu ini juga disinggung oleh Ahmad Tafsir dengan
mengatakan,“kita akan memasuki pasar bebas. Ini berarti akan terjadi suatu
interaksi antar Negara di dalam investasi, bisnis barang maupun jasa.
Masyarakat Indonesia akan membuka diri bagi interaksi degan bangsa-bangsa lain.
Interaksi ini menuntut bangsa Indonesia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan
peningkatan kemandirian, kerja keras serta etos kerja yang tinggi dan sifat
tahan uji bahkan tahan banting. Mengharapkan proteksi dari manapun akan
sia-sia. Pasar bebas ini tidak hanya akan mempengaruhi aspek ekonomi, tetapi
juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan baik langsung maupun
tidak langsung.”[33]
Disinilah letak makna perjuangan yang
dilakukan para kaum muda Belitung sejak masa awal (diharapkan hingga saat ini)
era 1950-an. Menjadikan dirinya menjadi orang-orang yang mandiri, memiliki etos
kerja yang tinggi dan tahan uji dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Karena
mereka menyadari bahwa hanya dengan berjuang demi pendidikan yang lebih baik
maka akan menjadikan mereka orang-orang yang siap, ulet dan tahan banting.
Dalam mengahadapi perjuangan dalam dunia pendidikan,
kaum muda Belitung berhadapan langsung pada 3 (tiga) hal yang penting yakni
proses selama menempuh pendidikan, “network
society” dan dirinya sendiri di sisi yang lain. Dalam menyikapi kondisi ini
kaum muda Belitung harus mampu menempatkan diri bersama kedua hal yang lainnya
dengan saling berhubungan.
Bagan 1.1 Pembentuk
Tata Nilai Universal
Pendidikan
|
Kaum
muda Belitung
|
Network Society
|
Tata nilai Universal
|
Ket :
-
Kaum Pemuda Belitung
ditempatkan sebagai aktor sejarah pembentuk tata nilai universal.
-
Pendidikan sebagai salah
satu hal yang sangat penting harus diperjuangkan sehingga diberikan tanda garis
panah penuh (tidak putus-putus).
-
Pluralitas keilmuan menuntut
kaum muda Belitung tidak hanya terpaku pada satu disiplin keilmuan semata,
namun diharapkan juga menguasai basik-basik keilmuan yang lain.[34]
-
Digambarkan panah tidak
penuh (putus-putus) menunjukkan bahwa masing-masing konsep dari keilmuan sangat
bermanfat dalam kehidupan dan tidak ada dikotomi keilmuan, karena masing-masing
konsep keilmuan bersifat kondosional dan kontekstual. Dalam bahasa lain tidak
ada eksklusifitas keilmuan.
-
Kaum muda Belitung
sebagai aktor sejarah akan selalu menghalami perjumpan (encounter) dengan
kondisi sosial kekinian dan masa depan, dihubungakan dengan garis tidak penuh
(putus-putus) bermakna, dengan tingkap pendidikan yang memadai dan tinkat
religiusitas yang baik maka penaruh yang timbul di masa depan (network
society), dapat disaring
dan dambil sisi manfaat yang juga dapat digunakan dalam penbentukan tata nilai.
B.
Spirit
Pembebasan Kaum Muda Belitung (refleksi Nilai)
Bagi kaum muda saat ini mungkin sub judul ini tidak
memiliki makna yang berarti. “Spirit pembebasan”, apa yang harus di bebaskan,
terkungkung dari apakah sehingga diperlukan pembebesan ?, jika memang
diperlukan pembebesan, lalu pembebesan dari sisi apa dan apa yang dilakukan agar
pembebasan tersebut terwujud.
Dalam realitas global saat ini yang di dalamnya
meminjam bahasa Manuel Castello segai “network
society” segla bentuk informasi komunikasi dipermudah. Setiap manusia dapat
melihat realitas fakta yang terjadi dari segala penjuru dunia manapun tanpa
lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Hal yang hanya menjadi mitos jaman dulu
kini menjadi kenyataan fakta dengan bantuan teknoligi. Seseorang tanpa harus memindahkan
jasmaninya ke Inggris untuk mengetahui keadaan ekonomi dan politik yang terjadi
disana semua dapat diketahui melalui media E-Net yang kini juga sudah bukan
barang langka.
Ini semua bagian dari pross perjalanan sejarah yang
menempatkan manusia sebagai aktor yang menjadi pelaku dari semua kemajuan dan
peradaban yang terbentuk. Sejak Aristoteles[35]
yang membangkitkan semangat rasional keilmuan dengan jargonnya “al-insan hayawan an-natifun”, bahwa
manusia adalah hewan (baca : Mahkluk-penulis) yang berfikir, landasan ilmu
pengetahuan hingga abad ini pada dasarnya hanyalah catatan kaki yang
dikembangkan dari rumusannya yang dicetuskan pada 2300 tahun yang lalu.
Konsep ini memang bukan tanpa
kritik, karena rasional bukan lah satu-satunya cara untuk mencapai kebenaran,
dalam hal ini Ghazalai menambahkan bahwa manusia bukan hanya mahkluk yang
berfikir namun juga berahklak karena adanya landasan nilai spiritual yang
langsung berasal dari Tuhan melalui utusan-utusannya. Karenanya manusia dalam
hal ini harus mempu menempatkan dirinya secara bijak terhadap sumber-sumber
keilmuan tersebut.
Kaum muda Belitung dalam hal ini
hendaknya juga berlaku bijak dalam menyikapi sumber keilmuan agar tidak ada
kesan pengunggulan satu sumber keilmuan sehingga mengenyampingkan sumber
keilmuan yang lain. Pembenaran terhadap satu sumber keilmuan saja akan
menumbuhkan sifat sombong dan meremehkan orang lain, serta berakhir pada
pembanggaan diri. Dalam hal ini Qur’an sendiri menegur dengan keras orang-orang
yang demikian dalam (Q.s Al-a’raf :166, An-nisa’ : 36, Ibrahim : 21 dan
lain-lain).
Fokus pembebasan kaum muda Belitung,
selain membebaskan dirinya dari kebodohan dengan jalan pendidikan juga
membebaskan dirinya dari kehidupan euforia
yang akut yang kebanyakan terjadi belakangan ini. Dalam hemat penulis, spirit
pembebasan tidak akan pernah terwujud jika dua hal ini masih menjadi bagian
keseharian dalam kehidupan kaum muda Belitung. Kebodohan yang dipertahankan dan
sifat euforia yang bahkan dianggap
oleh sebagian kalangan sebagai salah satu budaya. Jika sudah menjadi budaya
maka sudah dengan sendirinya menjadi peradaban, jika sudah menjadi peradaban
maka sudah dengan sendirinya menjadi tata nilai. Pikiran-pikiran sempit
sebagian kalangan inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi kaum muda dalam
upayanya melakukan pembebasan.
Upaya kaum muda dengan membebaskan
dirinya dari kebodohan pada dasarnya adalah upaya untuk mengarahkan dirinya
kepada hakekat sesungguhnya sebagai manusia dan pendidikan dalam ini adalah
cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan pendidikan manusia mampu
membentuk diri seutuhnya, mampu mengerti, mengenal dan memahami realitas sosial
yang dihadapi. Dengan pendidikan pula kaum muda Belitung mampu menyadari
potensi diri sebagai mahkluk yang berfikir (hayawan
an-natifun), merasakan kehadiran jiwa spiritualnya dengan adanya interaksi
dan rasa serta adanya kesadaran secara jasmaniah dengan memaksimalkan potensi
diri yang dimiliki.
Melalui kaca mata pendidikan proses
pembebasan kaum muda Belitung dari kebodohan akan lebih mudah tercapai, dengan
pendidikan pula segala bentuk perubahan akan tercapai tentu perubahan kepada
yang lebih baik. Setidaknya demikian pendapat dari John Locke[36]
yang mengatakan “Sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat di
isi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan
pembentukan yang terus-menerus.” Karena dengan pendidikan kaum muda Belitung
dapat tercerahkan paradigm, sikap dan prilakunya.
Akan tetapi, selama ini kita sering
mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada pada
lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan
sebagai proses pendidikan. Jelas ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan.
Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dan
pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia, baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan
dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau
usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri
manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itu pun belum sepenuhnya mewakili diri
manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekadar transfer of
knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, melainkan dengan
adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami
eksistensi dan potensi yang mereka miliki.
Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni
melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses
pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan
struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi
gender, maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan
sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia.
Dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis
sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Faktanya, sering tanpa kita sadari poses
pembebasan dari kebodohan yang dilakukan kaum muda Belitung kehilangan nilai
yang paling fundamental. Pendidikan yang dalam cita-citanya bertujuan
memanusiakan manusia, justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem
pendidikan Barat yang dalam bahasa Paulo
Friere[37]
sebagai sistem pendidikan untuk kebebasan harus kita pertanyakan kembali. Makna
kebebesan hingga saat ini yang selalu sampai di telinga kita adalah makna
kebebebasan yang berasal dari Barat sebagai pengagas konsep. Jarang
pemikir-pemikir dalam dunia pendidikan, berpikir lebih jauh apakah konsep
mengenai kebebasan yang di lahirkan di Barat sesuai dengan kondisi Timur (Indonesia umumnya dan
Belitung pada khususnya) jika kita kontektualisasikan.
Dalam sudut pandang Friere kebebasan selalu terkait dengan
kepentingan-kepentingan di muka bumi yaitu kepentingan yang masih bersentuhan
dengan materialisme dan positivisme, tetapi belum mempunyai kaitan secara vertikal dengan wujud tunggal sebagai
pencipta alam semesta. Hal ini yang kemudian melahirkan gagasan konsep
pendidikan untuk kerja dan bukan pendidikan untuk pembebasan dari
kebodohan.
Dalam menyikapi hal ini, kaum muda
Belitung harus mampu mendialogkan konsep pendidikan yang berkembang hingga saat
ini dengan unsur religiusitas. Karena dialog unsur religiusitas sangat bermakna
dalam memberikan arti yang sesungguhnya terhadap pendidikan. Dengan sendirinya,
setelah berjalannya dialog antara hal tersebut akan timbul kesadaran bahwa
adanya kehadiran alam semesta adalah semata-mata sebagai realitas fisika yang
berasal dari yang metafisik. Secara rasional dapat dijelaskan dengan menggunakan
konsep Arestoteles “Unmoved mover.”[38]
Jika proses kesadaran ini telah terbentuk,
pendidikan dalam hal ini akan menemukan pakem yang tepat yakni cerdas secara
intektual, emosional dan
spiritual. Jika kaum muda Belitung sudah tercerdaskan secara emosi, intelek dan
spiritual maka berarti makna pembebasan telah berjalan sebagaimana mestinya.
“Yang tua
akan terganti, yang muda segeralah berbenah diri”
Bagian Ketiga
Historisitas IKPB
HISTORISITAS
IKPB
“Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah”
(Ir. Soekarno)
Ungkapan diatas disampaikan langsung oleh Bung Karno
dalam sebuah pidato yang dalam judul nya beliau singkat menjadi “Jas Merah”,
menandakan betapa penting dan berharganya sejarah[39].
Sejarah memang hanya sekedar peristiwa-periswa yang terjadi di masa lalu, usang
dan termakan oleh waktu, namun implikasi dari sejarah akan terus melekat pada
rentetan peristiwa lanjutan dari waktu ke waktu.
Tidak ada sebuah peradaban yang tidak didasari oleh
peradaban sebelumnya, tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa ada yang
menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penyebab peristiwa inilah yang kita sebut
dengan sejarah. Pengetahuan kita akan suatu peristiwa masa lalu (baca :
sejarah) akan membantu kita menentukan hal-hal yang akan kita laksanakan dimasa
kini dan mampu memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa datang.
Dalam kajian
agama-agama, seluruh agama-agama di dunia menekankan pentingnya mempelajari
kehidupan masa lalu terutama orang-orang yang shaleh dan memiliki pengaruh.
Dalam Islam kita dituntut untuk mengetahui sejarah peradaban Bangsa Islam pada
masa sebelum dan sesudah Nabi Muhammad, dalam Kristiani 4 (empat) injil utama
ditulis orang-orang yang mengalami langsung peristiwa hidup dan bersama Yesus,
dalam Yahudi bahkan di tekankan nilai pentingnya sejarah masa lalu yang masuk
dalam salah satu idiologi mereka. Demikian juga hal nya dengan agama-agama yang
lain seluruhnya menekankan pada pentingnya nilai sejarah.
Hingga saat ini disiplin keilmuan sejarah adalah hal
yang sangat menarik untuk ditelisik dan dikaji. Walaupun dewasa ini di bawah
dominasi pemahaman positivism terpaksa adanya pemisahan-pemisahan nilai-nilai
sejarah, namun sejarah tetap pada pakemnya, bahwa dia sebagai masa lalu adalah
bahan renungan para pelaku sejarah.
Para ahli sendiri pada dasarnya sepakat membagi
sejarah menjadi tiga hal yakni, pertama
sejarah sebagai peristiwa, kedua, sejarah
sebagai cerita dan ketiga, sejarah
sebagai ilmu. Dalam kaitannya dengan tulisan ini sekiranya sangat tepat jika
kita menempatkan sejarah IKPB sebagai peristiwa sekaligus ilmu yang diharapkan
dengannya banyak pelajaran dan warisan nilai yang didapat pada generasi sekarang
ini.
Sejarah sebagai peristiwa
sering juga disebut sejarah sebagai kenyataan dan sejarah serba objektif. Artinya
peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi yang didukung oleh
evidensi-evidensi yang menguatkan baik berupa saksi mata (witness) yang
dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources),
peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan
atau records.[40]
Selain itu dapat pula peristiwa itu diketahui dari
sumber-sumber-sumber yang bersifat lisan yag disampaikan dari mulut ke mulut. Setidaknya
ada dua macam untuk sumber lisan tersebut. Pertama, sejarah lisan (oral
history), ingatan lisan (oral reminiscence) yaitu ingatan tangan
pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh
sejarawan.
Kedua, tradisi lisan
(oral tradition) yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan
peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama
beberapa generasi. Apapun bentuknya, peristiwa sejarah, baru diketahui apabila
ada sumber yang sampai kepada sejarawan dan digunakan untuk menyusun peristiwa
berdasarkan sumber. Oleh karena suatu cerita sejarah sangat tergantung selain
oleh kemahiran sejarawan itu sendiri juga kelengkapan sumber yang tersedia.[41]
Sedangkan sejarah sebagai ilmu, dalam kenyataannya kita seringkali menemukan definisi sejarah
yang beraneka ragam. Baik yang menyangkut kedudukan sejarah dengan ilmu sosial
atau sejarah sebagai bagian dari ilmu humaniora. Sejarah sebagai ilmu pada
kerangka konseptual yang dilahirkan oleh para ahli sejarah.
A. IKPB dan Latar Belakang
Berdirinya
Pada kurun waktu 1950-an adalah tonggak awal
perjuangan kaum muda Belitung dalam menempuh jenjang pendidikan di tanah rantau.
Tiga tokoh pelopor yang meneruskan jenjang pendidikan, tidak sama halnya dengan
keadaan kaum muda Belitung pada saat ini. Adalah Bpk. Abdul
Kadir Hamid, Bpk. Husein Syarif dan Bpk. Hamdani Ali[42]
yang ketiganya berasal dari daerah Gantung (pada saat ini masuk dalam wilayah
Belitung Timur) memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikan di Mualimin
Muhammadiyah Yogyakarta (setingkat SLTA).[43]
Dalam perjalanannya, dari ketiga tokoh ini pada
akhirnya memiliki masa depan yang berbeda. Bpk. Abdul Kadir Hamid yang notabene
adalah anak dari Petinggi Timah[44]
memilih untuk kembali ketanah kelahiran dan sebagai tenaga pendidik. Sedangkan
tokoh yang kedua, Bapak Husein Syarif sekembalinya kembali ketanah kelahiran
memilih berprofesi pegawai di Perusahaan Timah.
Sedangkan tokoh yang terakhir, Bpk. Hamdani Ali
mendapat takdir yang berbeda. Karena ketekunan dan kerja keras beliau
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Padang Pandang (Sumatra Barat)
dengan bermodal beasiswa dari kepengurusan Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta
serta meneruskan jenjang pendidikan ke al
azhar Mesir. Tidak ada data yang otentik yang penulis dapatkan mengenai
sepak terjang beliau selama menempuh pendidikan di Padang Pandang (Sumatra Barat)
hingga akhirnya berhasil meneruskan ke al-azhar,
bahkan keluarga beliau pada saat itu tidak mengetahui dimana dan bagaimana
kondisi beliau.
Sekembalinya
dari tanah rantau, Bpk. Hamdani Ali disambut dengan suka cita oleh pihak
keluarga, hal ini dapat dimaklumi karena beliau kembali dengan kebanggaan.
Tidak tanggung-tanggung pada kurun waktu 1950-an beliau mampu menyelesaikan
jenjang doktoral di al-azhar sebuah
Universitas keagamaan Islam yang masih menjadi kebanggan umat Islam hingga saat
ini. Dari hasil kerja kerasnya, tentu
saja beliau memiliki masa depan yang cerah, selain menjabat sebagai Badan Pemb.
Dalam Departemen Agama (kini Kementrian Agama) Pusat, beliau juga pernah
menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN Syarif HidayaTullah).
Sebuah prestasi akademik yang membanggakan dan hendaknya dapat digunakan
sebagai motivasi kaum muda Belitung saat ini.[45]
Walau tidak ada kaitannya dengan IKPB, namun tiga
tokoh inilah yang kemudian sangat berpengaruh dengan memberikan spirit dan
nilai kepada kaum muda Belitung setelah nya. Pada kurun waktu setelahnya 1950
akhir hingga kini geliat akademik kaum muda Belitung mulai nememukan ruh nya.
Istilah celotehan orang Belitung yang biasa kita dengar dengar “nak di kemuluik”[46]
benar-benar diperankan oleh tiga tokoh awal tadi.
Tidak hanya Yogyakarta sebagai tujuan studi kaum
muda Belitung pada generasi kedua ini, namun juga daerah-daerah yang lain di
pulau Jawa seperi Jakarta dan Bandung. Jika kita tilik dari sisi historis pada
masa itu sangat beralasan mengapa kaum muda Belitung pada akhirnya memilih
daerah atau tempat selain Yogyakarta, yang salah satunya adalah adanya sokongan
yang sangat memadai baik dari sisi biaya dan kesehatan dari Perusahaan Timah
kepada kaum muda yang orang tuanya bekerja sebagai karyawan di Perusahaan
tersebut.[47]
Dalam
perkembangannya, pada kurun waktu 1952 kaum muda Belitung akhirnya membentuk
keplompok-kelompok kecil yang bersifat diaspora, baik yang ada di Jakarta,
Bandung maupun Yogyakarta . Kelompok-kelompok ini dalam sarana yang ala
kadarnya[48]
masih mengusung spirit perjuangan dan pembebasan sehingga pada masa ini jugalah
embrio kesadaran akan kebersamaan tumbuh dan berkembang yang pada puncaknya
ditandai dengan terbentuknya IKPB sebagai satu-satunya organisasi Pelajar
Belitung.
Sebelum membahas bagaimana dan apa alasan yang ada
di balik berdirinya IKPB kita akan membahas dua organisasi kaum Muda Belitung
yang sempat ada dan terbentuk sebelum adanya IKPB. Setidaknya sebagai refleksi
diri dan pengetahuan bahwa kedua organisasi tersebut telah ada dan mengapa
kemudian secara kenamaan menghilang.[49]
a.
Organisasi
IPB (Ikatan Pelajar Belitung)
Setidaknya ada 3 (tiga) daerah tujuan kaum muda
Belitung yang sebelumnya telah disinggung yakni Jakarta, Bandung dan Yogyakarta
sebagai tempat tujuan meneruskan jenjang pendidikan. Hendaknya diketahui, pada
kurun waktu ini 1950-an kaum muda Belitung masi meneruskan jejang pendidikan
pada tingkat SLTA.[50]
Dengan latar belakang pola komunikasi dan adanya
interaksi yang sulit antar pelajar pada saat itu muncullah tokoh-tokoh yang
menyumbangkan idenya agar dibuat sebuah wadah yang dapat mengurangi
kesulitan-kesulitan tersebut.[51] Walaupun
ide ini telah ada sejak tahun 1950-an, namun ide ini baru terwujud pada tahun
1952 di Jakarta. IPB (Ikatan Pelajar Belitung) adalah nama dari organisasi
tersebut yang berpusat di Jakarta pada tahun 1952.[52]
Karena inisiatif ini juga bertujuan mengatasi sulitnya pola komunikasi dan
interaksi antara pelajar yang ada di Jakarta dan Bandung, maka kemudian dalam
perkembangannya IPB (Ikatan Pelajar Belitung) terdiri dari dua cabang yakni;
1. IPB
Cabang Jakarta
2. IPB
Cabang Bandung
Namun
pusat dari organisasi ini tetap di tempatkan di Jakarta dengan berbagai alasan
salah satunya selain sebagai ibu kota, juga lebih mudahnya pola interaksi
komunikasi dan penyebaran informasi.
Selain
itu, beberapa tokoh organisasi IPB (Ikatan Pelajar Belitung) angkatan awal yang
dapat kami sebutkan antara lain :
1. Bpk.
Moh. Kiram
2. Bpk.
Harun Smith
3. Bpk.
B.A Djaya
4. Bpk.
Daud Ali
5. Bpk.
K.A Ahmad dll
Layaknya sebuah organisasi lainnya IPB (Ikatan
Pelajar Belitung) dalam bentuk formalnya mengadakan rapat pertama. Dalam rapat
pertama ini diulas perihal kepengurusan dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
dalam catatan yang didapat tempat kegiatan pertemuan pertama yang dilakukan IPB
(Ikatan Pelajar Belitung) bertempat di Perguruan taman Siswa Jln. Garuda
Jakarta.[53]
a.
Organisasi
KPB (Keluarga Pelajar Belitung)
Sebagai salah satu tujuan studi kaum Muda Belitung
di era 1950-an Yogyakarta adalah satu pilihan utama dari 2 (dua) daerah yang
lain seperti Jakarta dan Bandung. Karena geliat akademik yang berkesinambungan
dan adanya semangat yang besar dari kaum muda Belitung pada kurun waktu itu,
maka di Yogyakarta setidaknya ada puluhan kaum muda Belitung yang meneruskan
jenjang pendidikannya di kota ini.
Latar belakang berdirinya KPB (Keluarga Pelajar
Belitung), berbeda dengan latar belakang berdirinya IPB di Jakarta. Timbulnya
organisasi KPB (Keluarga Pelajar Belitung) dalam hal ini didiorong oleh adanya
keinginan pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta untuk memiliki satu tempat
hunian yang menjadi identitas budaya sekaligus tempat sentra kegiatan pelajar
Belitung yang ada di Yogyakarta. Suatu tempat hunian yang menjadi identitas
budaya dan sentra kegiatan pada akhirnya mewujud menjadi Asrama yang hingga
kini masi terjaga.
Secara kepengurusan KPB pada generasi pertama
organisasi ini memiliki susunan pengurus antara lain :
Ketua : Bpk. B. Hamdani
Ali
Sekretaris : Bpk. Zainudin Aba
Bendahara : Bpk. Abdullah Sani Hamid (saat itu juga
merangkap sebagai ketua Asrama)
Anggota : Ibu. Hasnah
Bpk Hasyim dll
Anggota
keseluruhan dari KPB generasi pertama ini berjumlah 30[54]
anggota dimana dari 30 anggota 22 tercatat sebagai anggota Asrama. Pada masa
awal KPB ini karena sebagian besar anggota tinggal di asrama maka proses
komunikasi lebih mudah dan pola interaksi terus terjaga, karenanya tidak
didapatkan kendala berarti ketika akan diadakan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan organisasi.
Asrama pelajar Belitung pada generasi pertama ini
tidak lah sama baik dari sisi letak dan bentuk seperti Asrama Belitung yang ada
saat ini dengan segala fasilitas yang kesemuanya disediakan oleh Pemerintah
Daerah. Awalnya, Asrama pelajar pertama kaum muda Belitung di Yogyakarta
bertempat di Patangpuluhan D 11/40,[55]
dengan status kontrak. Tidak seperti halnya saat ini dimana Asrama sudah
berstatus (aset) Pemerintah Daerah Belitung.
Karena tempat yang dihuni oleh para
pelajar Belitung masih berstatus kontrak maka pada tahun pertama keorganisasian
KPB ini, mereka dibebani biaya sebesar Rp. 2500 sebagai biaya sewa selama 5
tahun. Dalam hal ini KPB langsung turut andil mengatasi permasalahan dan
mencarikan solusi. Adalah Bpk. Muhammad Ali saleh yang pada saat itu bersedia
meminjamkan uang sebesar yang dibutuhkan kepada pelajar Belitung untuk membayar
cikal bakal Asrama di Yogyakarta tersebut.[56]
Berkaitan dengan kegiatan, KPB lebih
menitik beratkan pada kegiatan yang bersifat mengasah potensi diri. Baik dalam
bentuk jasmaniah (olah raga) dan religiusitas-rohaniah (adanya pelatihan pidato
keagamaan). Kegiatan-kegiatan ini berjalan dengan lancar karena adanya peran
Bpk. Abdullah Sani Hamid selaku Ketua asrama dan sekaligus Bendahara KPB.
b.
Berdirinya
IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung)
IPB dan KPB sebagai organisasi yang independen
dengan latar belakang yang berbeda jika dilihat dari sejarah berdirinya pada akhirnya
menemukan moment yang tepat pada tahun 1955 untuk bergabung (berfusi) menjadi satu dibawah satu
bendera keorganisasian. Dalam proses penyatuan tersebut, ditahun yang sama para
pelajar Belitung sekaligus pengurus kedua organisasi ini berkumpul guna
membahas ide penyatuan dua organisasi ini menjadi satu organisasi yang
mengayomi dan menjadi wadah inspirasi para pelajar Belitung.
Dalam pembahasan awal ide ini, terdapat perdebatan
yang sengit antara masing-masing perwakilan. Namun karena adanya kesamaan
tujuan, akhirnya kedua organisasi pelajar ini sepakat untuk difusikan menjadi
satu ikatan dalam organisasi yang tunggal bagi para pelajar Belitung. Lebih
lanjut pada saat memasuki masa-masa libur sekolah, dibentuklah kepanitiaan
konferensi yang pada saat itu sepakat menunjuk Bpk. Abdullah Sani Hamid sebagai
Ketua Panitia. Dipilihnya beliau sebagai Ketua Panita konferensi[57]
selain pengalaman beliau sebagai Ketua Asrama dan pengurus KPB juga beliau
memiliki kemampuan retorika yang baik, sehingga diharapkan konferensi ini dapat
berjalan dengan lancar.
Pada bulan Mei 1955
konferensi dilaksanakan. Lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Kepala Kampit,
lebih tepatnya di gedung MPB[58]
Kecamatan Kelapa Kampit . Seperti halnya
konferensi lainnya, dalam pelaksanaan agenda bersejarah ini dilengkapi dengan
susunan kepanitiaan yang lengkap. Tokoh yang tercatat selain Bpk. Abdullah Sani
Hamid selaku Ketua Panitia dalam konferensi adalah Bpk.
Baharuddin Ibrahim dan Bpk. Jamluddin Syarif
yang keduanya masuk dalam kepanitiaan konferensi.
Masing-masing organisasi sebelum ketuk palu sebagai
perlambangan keabsahan fusi IPB dan
IKPB, dihadiri oleh perwakilan antara lain,
-
IPB Cabang Jakarta : Bpk. Sobron,
Bpk. Daud Ali dan lain-lain
-
IPB Cabang Bandung : Bpk. Djamaluddin
Syarif dan lain-lain
-
KPB Yogyakarta : Bpk. Abdullah
Sani hamid, Bpk. Abdullah Majid Hamid, K.A
Sulaiman
Yusuf dan lain-lain[59]
Dari
data yang penulis dapatkan mengenai jalannya peristiwa bersejarah dalam IKPB
ini memang tidak sesempurna yang
diharapkan, namun setidaknya dan yang paling penting dalam sudut pandang
penulis adalah hasil yang dicapai dari konferensi tersebut.
Hasil dari konferensi yang diadakan
di MPB kecamatan kelapa
Kampit pada tanggal 13 Mei 1955
memutuskan penyatuan organisasi IPB yang berpusat di Jakarta dan KPB yang
berpusat di Yogyakarta dengan memberikan nama IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar
Belitung) sebagaimana hasil dari fusi
kedua organisasi tersebut. Nama ini dinilai adil karena dianggap mewakili nama
dari kedua organisasi awal yang difusikan. Dalam konferensi ini juga diputuskan
Bpk. Abdullah Sani Hamid sebagai ketua pertama
IKPB. [60]
Penting untuk diketahui, pasca
pelaksanaan konferensi dana yang masih tersisa saat itu adalah sebesar Rp.
50.000, dana ini berikutnya digunakan untuk membayar biaya kontrak Asrama Pelajar
Belitung yang ada di Cibinong Jawa Barat. Dengan berdirinya IKPB pada tanggal 13 Mei 1955, maka dimulailah perjalaan sejarah IKPB
degan berpijak pada satu tujuan bersama yakni memperjuangkan
dan membebaskan kaum muda Belitung dari kebodohan dan berbuat yang terbaik demi
kemajuan Belitung dimasa datang.
Sebagai sebuah oraganisasi yang baru
terbentuk, IKPB sentak langsung mengadakan beberapa kegiatan yang pelaksanaannya di lakukan pasca
konferensi. Fokus kegiatan pada saat itu adalah mengupayakan agar para pelajar
yang ada di tiga tempat tujuan utama para pelajar dapat terbangun Asrama yang
kemudian diharapkan dapat mempermudah proses belajar dan pusat kegiatan bagi
para pelajar.
Beberapa
kegiatan yang tercatat dalam tulisan Bpk. Sulaiman
Razak adalah,
-
Pagelaran
malam kesenian yang diadakan para pelajar Belitung
dengan tujuan pengumpulan dana.
-
Mengadakan
pendekatan Kepada Pemerintah Daerah, sebagai salah
satu upaya mencari dukungan pemerintah dalam bentuk materiil.
Hasilnya,
dari beberapa kegiatan awal yang dilakukan di tanah asal ini setidaknya para
pelajar generasi pertama ini akhirnya berhasil mewujudkan rencana awal berdirinya
Asrama di 3 (tiga) kota yang menjadi basis tujuan para pelajar pada saat itu
dan hingga saat ini. Menjadi penting untuk diketahui keberhasilan dari
berdirinya 3 (tiga) Asrama yang di rintis oleh generasi pertama pelajar
Belitung ini juga tidak terlepas dari dukungan yang diberikan Pemerintah
Daerah. Tiga Asrama tersebut dapat kami sebutkan antara lain,
-
Asrama pelajar Belitung
yang ada di Jakarta tepatnya di Jln. Kemayoran kecil.
-
Asrama pelajar Belitung
yang ada di Bandung tepatnya di Jln. Supratman.
-
Asrama pelajar Belitung
yang ada Yogyakarta tepatnya di Jln. Bumijo-Lor.[61]
A.
Nilai-Nilai
Yang Diusung
Dalam sejarah terbentuknya IKPB yang merupakan fusi antar dua organisasi pelajar
Belitung yang ada di tempat yang berbeda, terdapat nilai-nilai yang dapat
dipetik sebagai pembelajaran bagi generasi yang akan datang. Inilah setidaknya
makna dari ungkapan yang dimaksud dari Bung karno dengan “jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Nilai-nilai yang ada memang
tidak dalam bentuk tulisan-tulisan yang dapat dengan mudah kita dapatkan. Namun
nilai-nilai ini tersirat dalam bentuk laku dan semangat yang disusung para
pelajar Belitung generasi pertama. Semangat kebersamaan, kesamaan asal dan
adanya kesadaran saling membutuhkan sebagai bagian dari fitrah manusia adalah
hal yang tidak bisa dihindari sehingga dibawah pondasi kesadaran inilah maka
IKPB terbentuk.
Dalam IKPB tidak pernah melihat perbedaan latar
belakang keluarga, perbedaan aksen bahasa lebih-lebih latar belakang yang
berkaitan dengan keyakinan. IKPB semata-mata organisasi para pelajar Belitung
yang hendak mengembangkan dirinya, mau berjuang dan semangat dalam pembebasan
diri dari kebodohan. Jika kembali melirik sejarah terbentuknya IKPB mungkin
kita akan tersentak, bagaimana keterbatasan sarana dan alat komunikasi yang
kini tidak dialami, tidak menjadi penghalang bagi mereka melakukan sebuah
gebrakan demi terciptanya tata nilai yang dicita-citakan. Tidak tergambar
egoisitas diri, tidak terlihat gambaran kepentingan-kepentingan pribadi, yang
terlihat adalah usaha untuk membangun diri bersama berangkat dari kesamaan
nasib dan cita-cita.
Belitung, sebuah pulau yang dibatasi oleh lautan
jika kita lihat dari sisi manapun bukan lah penjara yang dapat membatasi gerak
para kaum muda. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya kaum muda Belitung yang
memberanikan diri keluar dari tempat asalnya ketempat yang mungkin belum
sekalipun pernah dia pijak sejak kurun waktu 1950-an, bahkan hingga saat ini
tradisi ini terus berjalan seiring dengan berkembangan kesadaran walau
dibarengi dengan beragam kepentingan. Sebagian dari kita mungkin pernah
merasakan, bagimana rasanya ketika bertemu dengan orang sekampung halaman
ketika berada di tanah rantau. Kita bisa dengan leluasa menggunakan bahasa ibu
kita, juga bisa dengan leluasa bertingkah sesuai dengan adat dan kultur kita
dan perasaan ini adalah hal yang sangat tidak ternilai harganya.
Dengan adanya IKPB yang telah didirikan oleh para
pelajar Belitung sejak tanggal 13 Mei 1955, para pelajar dapat saling
berinteraksi dengan pelajar yang juga berasal dari Belitung di tanah rantau
hingga detik ini. Tidak hanya berinteraksi tentu saja, para pelajar memiliki
kesempatan mengembangkan dirinya, berkarya dan melakukan terobosan-terobosan
yang bermanfaat bagi dirinya dan daerah asalnya.
Selain itu, Secara kodrati manusia adalah mahkluk
yang memiliki kehendak atas dirinya sendiri. Kehendak ini kemudian mengejawantah
dalam bentuk tindakan dan laku keseharian yang kemudian akan terkait dengan
sistem nilai (etika, estetika). Manusia sebagai mahkluk yang otonom pada saat
yang bersamaan juga pada dasarnya akan membutuhkan individu yang lain dalam
melaksanakan kehendaknya. Inilah yang kemudian mendorong manusia untuk saling
berinteraksi dan berkerjasama.
Lebih lanjut, jalinan interaksi
akhirnya membentuk pola sosial sehingga manusia dalam hal ini juga disebut
sebagai mahkluk sosial. Hal ini ditandai dengan kebutuhan manusia terhadap
manusia yang lain dalam kehidupannya. Sering kita melihat adanya individu yang
memilih untuk meninggalkan kehidupan dunia, mengasingkan diri dari keramaian
dengan alasan mencari hahkekat dirinya yang sesungguhnya. Pola pikir yang
seperti ini pada dasarnya tidak salah, hanya saja kurang tepat jika alasan
untuk mengasingkan diri adalah justru untuk mencari hakekat dirinya.
Progresifitas diri hanya bisa dicapai dengan adanya pola interaksi dan
komunikasi antar individu. Pembacaan yang continue
terhadap diri dapat dilakukan secara bersamaan dengan pola interaksi.
Bpk. A. Kiram
dan Bpk. Harus Smith[62]
misalnya, adalah tokoh yang peka terhadap keadaan dan kondisi pelajar Belitung
pada saat itu. Di era tahun 1950-an adalah masa-masa sulit karena sarana dan
prasarana yang terbatas, sehingga diperlukan adanya sebuah organisasi yang
mampu mewadahi para pelajar di Jakarta dan Bandung sehingga dengan semakin
mudahnya interaksi, kebersamaanpun akan terjalin dengan sendirinya. Usaha
generasi awal pelajar Belitung ini mencapai puncaknya pada tanggal 13 Mei 1955
dengan berdirinya IKPB sebagai organisasi pelajar Belitung. Dapat kita lihat
bagaimana kebersamaan ini di bangun, pelajar Belitung yang berada di tanah
rantau saling bahu-membahu dan melengkapi tidak ada konflik dalam skala besar
yang berarti, perbedaan daerah tempat rantau juga tidak menjadi permasalahan.
Mereka duduk bersama, guna mencapai satu tujuan yang hingga kini hasil dari
perjuangan dan usaha para “senior” IKPB ini hendaknya menjadi pelajaran bagi
pelajar Belitung saat ini dan masa yang akan datang.
B.
Pembudayaan
nilai
Selanjutnya kita akan mendekati nilai-nilai yang disusung
oleh IKPB dengan pendekatan SRP (Sciencetific
Research Program) Imre Lakatos[63],
dalam upaya memahamkan potongan-potongan nilai yang diusung oleh IKPB. Dalam Sciencetific Research Program yang
ditawarkan Lakatos setidaknya ada 3 poin yang dapat diimplikasikan dalam
kaitannya penerapan nilai-nilai yang diusung oleh IKPB. Metode ini dinilai pas
dalam mengarahkan pola pikir dan semangat pelajar saat ini agar tidak bergeser
dari tujuan awal para pendiri IKPB.
Dalam
konsep Lakatos setidaknya ada ada 3
(tiga) hal penting yang hendaknya dipahami terlebih dahulu, yaitu inti pokok
program, heuristik negatif, heuristik positif.
a. Inti-pokok program merupakan sesuatu yang menentukan ciri-ciri suatu
program, sebagai hipotesa teoritis yang sangat umum yang menjadi dasar program
yang akan dikembangkan.[64] Sebagai contoh inti-pokok astronomi Copernicus merupakan asumsi bahwa
bumi, planet-planet mengitari matahari, dan bumi berputar pada porosnya sendiri
sekali sehari.
b.
Heuristik
negatif inti pokok program merupakan program terperinci yang menetapkan
asumsi-asumsi dasar yang melandasi program itu, seharusnya jangan sampai
ditolak atau dimodifikasi. Inti pokok program dilindungi dari ancaman
falsifikasi oleh suatu lingkaran pelindung (Safety
belt). Yang terdiri atas hipotesa-hipotesa pendukung kondisi awal.
c. Heuristik
Positif meliputi bimbingan garis besar yang menunjukkan bagaimana program riset
itu dapat dikembangkan. Perkembangan itu memerlukan perlengkapan bagi
inti-pokok program dengan asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena yang sudah dikenal lebih dahulu dan meramalkan
fenomena baru. Berhasil atau tidaknya
program riset itu sangat tergantung pada seberapa jauh program riset itu sukses
atau gagal melakukan temuan baru.[65]
Dalam penerapan konsep Laktos bagi nilai dasar yang
diusung oleh IKPB kita akan menempatkan nilai dasar tersebut pada “hard core”
(kebersamaan, saling membutuhkan dan progresifitas) dan “protecting belt” kita
menggunakan pluralitas disiplin keilmuan yang di menjadi kajian studi para
pelajar Belitung saat ini, kita kategorikan saja mejadi tiga kategori seperti
Kajian Science, Sosial, Agama.
Langkah pertama,
“hard core” hendaknya kita pahami sebagai sesuatu yang menentukan cirri-ciri
program, sebagai hepotesa teoritis yang sangat umum yang menjadi dasar program
yang akan di tuju dan dikembangkan. Kebersamaan, rasa saling membutuhkan dan
progresifitas adalah “asumsi“ sebagai
konsep umum yang akan di tuju dan di kembangkan.
Langkah kedua,
heuristic negative. Setelah memahami “hard core” yang melandasi program, pelaku
riset hendaknya tidak melakukan penambahan dan perubahan terhadap “hard core”
yang telah ditentukan serta tidak terjerumus dalam modus tollens[66],
dalam hal ini Lakatos mengatakan,
“The idea of `negative heuristic' of
a scientific research programme rationalizes classical conventionalism to a
considerable extent. We may rationally decide not to allow `refutations' to
transmit falsity to the hard core as long as the corroborated empirical content
of the protecting belt of auxiliary hypotheses inerceases”.[67]
Sebagai
gantinya kita akan menggunakan kemampuan akademik dari masing-masing disiplin
keilmuan untuk mengartikulasikan dalam upayanya membentuk hipotesis pendukung,
yang mana suatu lingkaran pelindung mengelilingi inti pokok dan kita harus
mengarahkan kembali pada modus tollens
pada hipotesis pendukung (masing-masing disiplin keilmuan pelajar Belitung).
Poin ketiga, pada tahap ini
kemudian tampak bagaimana progress dari penerapan “protecting belt” (masing-masing disiplin keilmuan pelajar
Belitung). Perkembangini akan mengarah pada pebudayaan “hard core” yang akan terlihat pada fenomena keseharian. Nantinya
dari fenomena-fenomena yang ada dapat di ramalkan bentuk perkemgan-perkembangan
yang baru.tentu saja perkembangan-perkembangan yang ada tetap tidak melenceng
dari “hard core” yang telah ditentukan.
Skema Pembudayaan Nilai
Melalui Konsep SRP
Merupakan hipotesa pendukung
yang melindungi hard core
|
Hard
core
|
“protecting
belt”
Penerapan kosep Lakatos di atas pada
dasarnya adalah salah satu upaya agar nilai-nilai yang terkandung dalam IKPB
dapat dibudayakan dengan maksimal oleh para pelajar Belitung yang ada di tanah
rantau baik pada saat masuk dalam kepungurusan atupun telah keluar dari
kepengurusan ditandai dengan berakhirnya masa studi. Diharapkan dengan
melekatnya nilai para pelajar Belitung mejadi pelajar yang memiliki tingkat
progresifitas yang tinggi pada bisangnya masing-masing. Bagi penulis sendiri
kata progresif yang digunakan pada dasarnya masih menjadi suatu polemik. Karena
ketika kata ini dikaitkan dengan keorganisasian term dari keorganisasian itu sendiri adalah progresifitas.
Sebenarnya pemilihan kata progresifitas dari penulis tidak berupaya
menghapus fakta unsur progresifitas yang ada pada IKPB sebagai sebuah
organisasi yang senantiasa berkembang dan berharmonisasi (dalam beberapa sisi)
dengan time and place. Namun lebih
untuk mewakili semangat untuk menantiasa berkembang dan berharmonisasi tidak
saja pada terjadi pada time and place
masa lalu namun juga saat ini, dengan membawa seluruh pola nilai masa lalu dan
kembali di kontekstualisasikan. Tidak dalam bentuknya yang baku namun dalam
bentuk nilai yang pada dasarnya bersifat universal.
Selain itu, sebagai salah satu wujud
alternative dari sebagian konsep penerapan, penulis sengaja memilih SRP gagasan
Lakatos sebagai salah satu konsep yang pas dalam pembudayaan nilai. Hal ini
bukan berarti membatasi bagi sebagian orang yang memiliki pandangan yang
berbeda (personal piety). Namun
setidaknya konsep ini dapat membantu di tengah fakta pluralnya disiplin
keilmuan yang dimiliki oleh para pelajar Belitung.
Nilai penting dari pembudayaan nilai
ini adalah keteguhan hati dalam merangkul segala bentuk perbedaan pemikiran
yang sekiranya memiliki tujuan yang sama. Hal ini menjadi penting karena adanya
perbedaan-perbedan pemikiran ini maka sebuah organisasi jadi lebih memiliki
warna. Dengan semangat dalam menangungi kemajemukan yang ada dalam organisasi,
maka dengan secara sendirinya mengarahkan organisasi pada kemajuan dan
tercapainya cita-cita dari organisasi tersebut. Tidak perlu dikhawatirkan,
karena perbedaan pola pikir dan gagasan pada dasarnya tidak hanya terjadi dalam
IKPB sebagai organisasi pelajar, namun seluruh organisasi juga mengalami hal
yang sama. Justru disinilah letak pembelajaran, sejauh mana kita mampu
mengembangkan dan mempersiapkan diri dalam menerima segala perbedaan pandangan
dalam berorganisasi.
Bagian Keempat
IKPB Dahulu, Kini dan Nanti
IKPB saat ini
Manusia pada hakekatnya adalah mahkluk sosial. Ia
memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menjamin kelanjutan
hidupnya diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan sosial atau biasa disebut
dengan the sosial needed. Berbeda
dengan kebutuhan lain yang dimiliki manusia bahwa kebutuhan sosial hanya dapat
dipenuhi dengan kerjasama dengan manusia lain. Dengan pengertian lain manusia
tidak dapat memuaskan semua kebutuhan hidupnya dalam dengan kesendirian, hal
ini merupakan suatu aspek yang melahirkan berbagai bentuk kerjasama antar
sesama manusia. Hal inilah yang menjadi inspirasi dari Bpk. A. Kiram dan Bpk.
Harun Smith sebagai pengagas IPB dan Bpk. Hamdani Ali dan kawan-kawan
mendirikan KPB di Yogyakarta.
Kerjasama beberapa orang yang memiliki kesamaan
tujuan inilah yang kemudian biasa kita sebut dengan organisasi.[68]
Organisasi lahir merupakan kehendak manusia itu sendiri mahkluk yang dalam
hidupnya selalu memiliki rasa saling ketergantungan untuk mencapai kepuasan.
Dari kelompok kerjasama yang pada mulanya sederhana, semakin berkembang manusia
semakin terdorong untuk meningkatkan bentuk organisasinya dalam upayanya menjawab
tantangan dalam memenuhi kebutuhan sosial kehidupannya.[69]
IKPB dalam
hal ini, sejak pertama didirikan hingga saat ini telah berupaya memenuhi segala
bentuk kebutuhan yang diperlukan oleh para pelajar Belitung yang ada di tanah
rantau. Ini dapat dilihat dengan agenda pertama para pendiri dengan berupaya
mendirikan Asrama mahasiswa yang kini bisa dinikmati para pelajar Belitung.
Sebagai sebuah organisasi
pelajar, IKPB pada kurun awal pada dasarnya telah menghasilkan sebuah
pencapaian yang luar biasa. Selain mampu memobilisasi para pelajar Belitung yang
terpisah pada masanya juga mampu menggerakkan para pelajar untuk bersatu dalam
satu kegiatan yang dampaknya tidak hanya bermanfaat pada masanya namun juga
dapat dirasakan hingga kini. Semangat inilah yang setidaknya harus di ketahui
oleh para pengurus yang ada di IKPB hingga masa yang akan datang. Hal ini dapat
diketahui dengan membaca kembali sejarah para pendiri dan bagaimana semangat
yang diusung.
IKPB sejak kurun waktu 1955 adalah satu-satunya
organisasi pelajar yang menaungi seluruh pelajar Belitung. Perlu disampaikan
bahwa kata pelajar tidak hanya identik dengan “mahasiswa” namun juga jenjang
pendidikan yang berada di bawahnya dalam bentuknya secara struktural
pendidikan. Hal ini harus disampaikan guna penegasan atas pemahaman yang
berkembang bahwa IKPB hanya milik “mahasiswa” dan pelajar yang “belum”
mahasiswa tidak berhak menjadi bagian dari IKPB. Itulah sebabnya mengapa para
pendiri IKPB dulu menggunakan kata “pelajar” dalam kaitannya dengan IKPB dan
bukan “mahasiswa” dan bahkan dua organisasi sebelumnya yang pada 13 Mei 1955
difusikan mejadi IKPB juga menggunakan kata yang sama yakni “pelajar”.
Guna lebih memantapkan pemahaman kita mengenai
organisasi dan memudahkan para pelajar Belitung yang saat ini akan dan atau
sedang masuk dalam kepengurusan organisasi maka setidaknya ada beberapa hal
yang hendaknya dipahami antara lain,
-
Organisasi sebagai
suatu sistem
-
Pondasi-pondasi
organisasi
-
Proses pengorganisasian
-
Hierarki organisasi
Pertama,
Orgisasi sebagai suatu sistem. Pengkajian mengenai organisasi sebagai suatu sistem
pada dasarnya dapat diketahui melalui definisi
dari organisasi yang telah disampaikan diatas. Dalam suatu sistem telah banyak
dikemukakan bahwa organisasi adalah suatu kelompok elemen-elemen yang saling terhubung
dan berkaitan satu sama lain. Organisasi sebagai suatu sistem dapat digambarkan
dalam bentuk diagram berukut ini :
Organisasi Sebagai
Suatu Sistem
Lingkungan
Input
Output
|
proses
|
suatu
sistem memiliki tiga komponen atau elemen utama yaitu (1) Input, (2) proses dan (3) output. Ketiga komponen
ini dalam sistem saling terkait satu sama lain, sehingga beberapa hal atau
kenyataan dalam ala mini dapat disebut sebagai suatu sistem. Misalnya seekor
semut, seorang manusia, sebuah jam tangan dan lain sebagainya.[70]
Kedua,
pondasi-pondasi organisasi. Setiap organisai ternasuk IKPB pada dasarnya
berupaya agar dalam menjalankan roda organisasinya dapat dijalankan dengan
lancar agar sampai pada tujuan yang hendak dicapai. Salah satu sarana yang
dipandang cukup penting adalah dibangun suatu yang efektif serta mempunyai
ketahanan yang kuat. Efektivitas dan ketahanan suatu organisasi selalu
berkaitan dengan kesanggupan para Pembina
organisasi dalam mempergunakan berbagai prinsip atau landasan yang biasa
disebut dengan pondasi-pondasi organisasi. Banyak istilah yang digunakan untuk pondasi
organisasi misalnya ada para ahli yang menggunakan istilah asas-asas
organisasi, prinsip-prinsip organisasi atau landasan-landasan organisasi.
Kelemahan dalam penerapan dasar organisasi dapat merupakan sumber yang sangat
mempengaruhi perwujudan tujuan organisasi walau dalam prosesnya mempunyai
dukungan material dan sarana yang memadai.[71]
Ketiga,
proses pengorganisasian. Merupakan proses menyusun organisasi formal dengan
melakukan aktivitas merancang struktur, menganalisa pekerjaan,
mengkoordinasikan pekerjaan serta memantau pelaksanaan pekerjaan. Adapun tiga
langkah sebagai
prosedur pengorganisasian antara lain,
- Pemerincian
pekerjaan yaitu menentukan tugas-tugas yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan organisasi
- Pebagian
beban pekerjaan kepada orang-orang yang memiliki kualifikasi yang tepat dan
dengan beban yang rasional, tidak over
loaded dan tidak terlalu ringan agar mencapai pelaksanaan secara efektif
dan efisien.
- Pengadaan
dan pengembangan mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan.[72]
Menjadi penting untuk diketahui bahwa koordinasi
sangat diperlukan agar terjadi kesatuan tindakan dalam usaha sehingga dalam upaya
pencapaian tujuan dapat lebih mudah di capai. Jika proses koordinasi mengalami
permasalahan maka juga dalam perjalanannya keorganisasian akan mengalami
hambatan.
Koordinasi
adalah :
pengaturan
tata hubungan yang dilakuakan secara bersama
|
Untuk
memperoleh kesatuan tindakan dalam usaha pencapaian
tujuan
|
Koordinasi
antara lain bertujuan untuk mencegah,
-
Konflik dan
kontradiksi.
-
Persaingan yang tidak
sehat.
-
Pemborosan.
-
Kekosongan ruang dan
waktu.
-
Terjadinya perbedaan
pendekatan dalam pelaksanaan.[73]
Keempat,
setelah kita membahas tentang berbagai pondasi yang diperlukan dalam suatu
organisasi agar dapat berjalan dengan lancar, maka dalam bagian ini kita
mencoba untuk menelaah secara lebih rinci tentang jenjang organisasi atau “herarchi”[74]
organisasi sebagai salah satu asas yang tidak kalah pentingnya. Tujuan
organisasi akan menentukan struktur organisasinya, yaitu dengan menentukan
seluruh tugas dan pekerjaan, hubungan antar tugas, batas wewenang dan tanggung jawab
untuk menjalankan masing-masing tugas tersebut.
Bila dikaji lebih jauh hahekat suatu jenjang
organisasi atau hierarkinya adalah perbedaan antara peranan dari status atasan
dan bawahan. Dengan kata lain pengurus yang posisinya lebih tinggi berhak
menggunakan wewenanag sesuai denga posisinya terhadap bawahan. Sebaliknya
bawahan diharapkan dapat menerima wewenang dan mempertanggung jawabkan
pelaksanaan wewenang kepada atasannya, demikain prosesi secara hierarki
kepengurusan dalam keorganisasian.
Sebelumnya telah disinggung bahwa hierarki adalah
asas yang penting dalam suatu organisasi terutama dilihat dari pendekatan
pembagian tugas, wewenang dan tanggung Jawab kepada masing-masing pengurus.
Tanpa hierarki organisasi yang jelas maka wewenang dari semua individu dalam
organisasi tidak jelas sama sekali. Jika terjadi ketidak jelasan, maka
kemungkinan terjadi over-laping
sangat besar, yang kemudian akan mengakibatkan iklim organisasi akan semakin
tidak menentu dan pada akhirnya akan menghambat pencapaian tujuan pada
organisasi itu sendiri.
Berdasarkan kepraktisan kerja dalam organisasi
sebaiknya jangan terlalu panjang dan luas, karena jenjang organisasi yang
terlalu panjang dapat mengakibatkan hambatan. Dikatan hambatan karena perintah,
petunjuk, putusan dari pucuk pimpinan akan membutuhkan waktu yang lama untuk
sampai kepada kepengurusan yang ada di bawahnya. Sebaliknya laporan atau
pertanggung Jawaban dari bawah memerlukan waktu yang lama untuk sampai kepada
atasan sehingga menimbulkan kecenderungan pimpinan akan mengadakan hubungan
langsung dengan struktur kepengurusan yang berada dibawahnya tanpa terkontrol. Tentang
struktur yang jumlahnya sedikit dan jenjang yang pendek, Peter Drucker
mengatakan,
“Hardlly less
important is the requirement that the organization structure containt the least
possible number of management levels, and forge the shortes possible chain of
command.”[75]
A.
Pasang
Surut IKPB
Dalam sub ini akan dipaparkan
beberapa data sejarah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di dalam
kepengurusan IKPB. Baik yang berkaitan dengan peristiwa yang mengancam
keberlangsungan organisasi maupun yang mendukung keberlangsungan
keorganisasian. Paparan data sejarah bersifat random metod karena sejak IKPB didirikan pada tahun 1955 tidak
banyak data sejarah yang dapat diselamatkan. Arsip mengenai data sejarah yang
terakhir dapat diselamatkan dan sampai ke tangan penulis berasal dari Bpk.
Nazwar Chalidin Amar dan Bpk. Sulaiman Razak (Alm) tercatat pada kurun waktu
1983-1985.
Sangat disayangkan, sejarah IKPB
selama kurun waktu 1955-1980-an tidak banyak yang dapat diselamatkan sehingga
gambaran yang dapat penulis sampaikan terasa kurang lengkap. Diharapkan suatu
saat ada para penerus anggota IKPB yang bersedia meluangkan diri lebih intens
dalam mengumpulkan data-data yang mungkin tercecer sehingga penjabaran mengenai
sejarah IKPB yang berkaitan dengan pasang surutnya organisasi ini dapat lebih
lengkap.
a.
IKPB
dan Isu Politik
Tercatat peristiwa ini terjadi pada kurun waktu
1980-an dimana pada saat itu IKPB Jakarta di ketuai oleh saudara Murdifi. Pada masa kepemimpinannya, IKPB Jakarta yang
biasa disebut dengan IKPB Djaya mulai ada kecederungan memasukkan organisasi
ini ke ranah politik pada saat itu. Hal ini di tunjukkan pada beberapa
kebijakan antara lain menebarkan isu dualism makna huruf “P” pada IKPB menjadi
dua arti yakni “pelajar dan pemuda”.[76]
Konsekuensi dari dualism pemaknaan ini akhirnya menimbulkan kerancuan yang pada
masa itu benar-benar dirasakan oleh kepengurusan Asrama yang ada di
Jakarta.
Asrama IKPB yang ada di Jakarta dimana seharusnya di peruntukkan bagi
para pelajar yang meneruskan jenjang pendidikan.[77]
Justru dengan adanya makna dualism pada huruf “P” kini juga didiami oleh para
pemuda Belitung yang tidak dalam masa-masa pendidikan. Akibatnya dapat di tebak,
polemik akhirnya tidak bisa dihindarkan. Pemuda yang ada di Jakarta
berbondong-bondong menghuni asrama. Ada yang sudah berkerja, ada yang masih
berstatus pengangguran dan lain sebagainya. Pada akhirnya kepengurusan asrama
sendiri merasa keberatan.
Melihat gelagat yang demikian, pada akhirnya IKPB
sebagai organisasi induk dan tunggal yang dimiliki para pelajar Belitung
melakukan tindakan dengan mengadakan pertemuan yang diwakili oleh tiga utusan
dari masing-masing daerah Cab IKPB. Pertemuan itu dihadiri perwakian dari IKPB
Jakarta sendiri, IKPB Cab Bandung dan IKPB Cab Yogyakarta. Bertempat di Asrama
IKPB Cab Yogyakarta Wisma “Calamoa”. Data sejarah yang masih ada menyebutkan
adalah saudara Abdullah dkk pad asaat itu
mewakili IKPB Jakarta, saudara Hadi Ajin dkk
yang pada saat itu mewakili IKPB Cab Bandung dan saudara Harnaeli dkk yang mewakili IKPB Cab Yogyakarta. Dari
pertemuan itu akhirnya diputuskan untuk meritul (memberhentikan) saudara Murdifi
sebagai ketua IKPB Jakarta dan mengembalikan makna “P” sebagai Pelajar dengan
menghilangkan dualism pemaknaan serta mengembalikan fungsi Asrama IKPB Jakarta
sebagaimana mestinya.
Setelah
mengadakan diskusi yang intens antara penulis dan beberapa nara sumber sejarah,
didapatkan bahwa keputusan saudara Murdifi mengalirkan beberapa kebijakan yang
terkesan spekulatif bukan tanpa latar belakang. Pada kurun waktu itu isu
politik memang sedang marak-maraknya dengan ditandai peminimalan partai menjadi
tiga partai. Selain itu muncul nama yang dianggap turut berperan dalam setiap
kebijakan yang diambil oleh saudara Murdifi pada saat menjabat. Adalah saudara Muaz yang memiliki andil dalam mengalirkan isu dualism
huruf “P” degan tujuan menyatukan seluruh komponen masyarakat Belitung yang ada
Jakarta. Hal ini berlanjut pada usaha beliau melakukan tujuan yang sama yang
nantinya akan di bahas dalam isu-isu yang lainnya berkaitan dengan pasang surut
IKPB.
b.
IKPB
dan Masalah Kepemimpinan
Disadari atau tidak, setiap kepengurusan selalu
memiliki peristiwa tersendiri yang terkaitan dengan keberlangsungan organisasi.
Demikian halnya dengan IKPB selalu mengalami pasang surut dalam kepengurusan.
Namun sebagai pemimpin organisasi terdapat tanggung Jawab yang besar dalam memberikan
warna terhadap organisasi yang di pimpinnya. Kita tidak bisa dengan serta merta
memberikan nilai pada setiap pemimpin dengan warna penilaian “hitam putih”,
namun setidaknya ada pembelajaran yang dipetik dalam kaitannya dengan bagaimana
seseorang menggunakan kemampuannya dalam memimpin sebuah organisasi. Sebagaimana
organisasi yang lain IKPB dalam hal ini juga pernah mengalami masa-masa sulit.
Baik berkaitan dengan isu politik seperti yang penulis singgung pada poin
pertama dan berkaitan dengan pola kepemimpinan yang akan penulis singgung dalam
sub kajian ini.
Dalam membaca fenomena ini penulis menemukan
penilaian yang pada dasarnya semua kasus kepemimpinan ini memiliki akar masalah
yang sama. IKPB sebagai organisasi perlajar yang dipimpin oleh pemuda yang juga
berstatus pelajar otomatis memiliki masa kepemimpinan yang dalam hal ini di
atur dalam AD/ART organisasi. Permasalahan yang sering dihadapi adalah ketika
ketua telah selesai melaksanakan jenjang studinya yang terbatas, dihadapkan
pada tanggung Jawab kepengurusan dalam organisasi, disinilah ditemukan banyak
kasus dan hampir seluruh kasus bernada sama.
Tercatat adalah saudara Husni
Husein, Saudara Taman Syah, Saudara Yul Haidir adalah para ketua IKPB yang menghadapi
permasalahan yang sulit tersebut. Ketika masa studi telah berakhir namun tidak
dibarengi dengan berakhirnya masa kepemimpinan dalam organisasi akhirnya
menimbulkan permasalahan yang kompleks. Data yang penulis dapatkan permasalahan
berkaitan dengan tema ini ada sejak tahun 1985 (LPJ kurun waktu 1985
terlampir).[78]
Pada masa
kepemimpinan saudara Taman Syah yang kebetulan pada saat itu IKPB Yogyakarta
bersetatus IKPB pusat sempat mengalami anarki[79]
kepemimpinan. Hal ini diakarenakan yang bersangkutan tidak melakukan serah
terima jabatan dengan di tandai pelaksanaan LPJ namun langsung kembali ke Belitung pasca
pelaksanaan studi di Yogyakarta. Sentak pada saat
itu Bpk. Nazwar Chalidin Amar selaku sesepuh IKPB langsung melakukan tindakan
sigap dengan mengutus tiga tokoh antara lain,
-
Saudara Widi Utoyo
-
Saudara Ja’far Usman
-
Saudara Fitrianto
Untuk
meminta kesediaan mereka melakukan tindakan penggulangan keorganisasian. Lebih
lanjut, di utuslah saudara Fitrianto untuk kebelitung guna memepersiapkan
konferensi (saat ini biasa disebut dengan Munas) dan dilakukan pemilihan
kembali ketua IKPB Pusat.[80]
Secara defacto pada dasarnya saat ini
IKPB sempat hilang. Namun dengan adanya semangat dari tiga tokoh ini IKPB
hingga kini masih dapat kita jumpai dan rasakan manfaatnya.
c.
Mereka
Yang Tak Boleh Dilupakan
Sejarah memang tidak pernah mengisahkan tentang dirinya
sendiri, disilah peran sejarawan untuk mengungkap peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi dimasa lampau. Namun dengan keterbatasan dirinya sebagai manusia
sejarawan hanya mampu mengisahkan peristiwa-peristiwa yang sampai kepadanya
dalam bentuk data dan fakta yang terjadi. Pengisahan itu juga pada akhirnya
hanya bersifat parsial dan terbatas Karena seorang sejarawan hanya mampu
menangkap fenomena yang terjadi dan
tidak mengetahui nomena dari
peristiwa.
Beberapa tokoh yang hendaknya di ketahui oleh segenap
pengurus IKPB hingga kapan pun adalah mereka yang memiliki andil yang besar
dalam keberlangsungan organisasi IKPB. Walaupun status mereka sebagai alumni,
simpatisan atau lainnya. Dalam bagian ketiga tulisan ini kita telah mengenal
para pendiri IKPB dan pendiri dua organisasi yang menjadi cikal bakal IKPB dan
kini kita akan membahas tokoh-tokoh yang memiliki andil dalam kepengurusan
IKPB.
Pertama.
Adalah Bpk Rahim Syarif. Beliau secara berkesinambungan
masih membimbing organisasi IKPB, walaupun beliau sekarang berstatus sebagai
Alumni namun semangat dan kecintaan beliau terhadap IKPB tidak pernah rentan
oleh waktu. Untuk menunjukkan kecintaan beliau terhadap IKPB, beliau mendirikan
badan Alumni bagi seluruh Anggota IKPB (BAMUS: Badan Musyawarah Alumni). Badan
Alumni ini memang tidak bergiat dalam organisasi pelajar, namun dengan adanya
BAMUS Alumni IKPB para pelajar yang tergabung dalam IKPB dapat berkomunikasi
dan belajar banyak mengenai keorganisasian.
Bpk. Rahim Syarif selaku ketua BAMUS Alumni IKPB
dibantu oleh ketua-ketua lainnya serta dilengkapi dengan komisaris-komisaris
yang berada di tiap-tiap wilasi dan kecamatan. Salah satu kegiatan yang pernah
beliau adakan dan tercatat hingga kini adalah diadakannya Reuni alumni anggota
IKPB yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli
1985, bertepatan dengan LPJ saudara Husni Husein
selaku ketua IKPB Pusat.[81]
Peran serta para Alumni yang tergabung dalam BAMUS
Alumni ini antara lain memberikan bantuan baik berupa materi ataupun lainnya
kepada Asrama IKPB. Selain itu juga memberikan Beasiswa kepada pelajar Belitung
yang qualified.[82]
Penting juga untuk diketahui, pada saat Reuni Alumni yang diadakan pada tanggal
6 Juli 1985, para Alumni memberikan kesempatan kepada saudara Arwin Ahmad
yang pada saat itu baru selesai melaksanakan studinya di Yogyakarta dan baru
selesai diwisuda untuk memberikan pesan dan kesan beliau. Uniknya dalam
memberikan pesan dan kesan ini saudara Arwin Ahmad masih mengenakan Toga lenkap
dengan atributnya.
dalam peristiwa bersejarah ini para Alumni seketika
mengumpulkan dana untuk kepentingan akademik para pelajar Belitung yang ada di
Yogyakarta. Setelah dana tersebut terkumpul, kemudian dari dana itu dibelikan
kumpulan Ensiklopedi yang saat ini di tempatkan di Asrama IKPB Yogkarta wisma
“Calamoa”. Dari penelusuran penulis, beberapa Ensiklopedi masih bisa di temukan
di Asrama IKPB Yogyakarta wisma “Calamoa”, namun ada beberapa jilid yang
hilang, hal yang patut untuk disayangkan.
Pengalaman pribadi penulis bertemu dengan Bpk. Rahim Syarif hingga kini memberikan kesan yang
tersendiri. Saat itu IKPB Pusat yang berada di Jakarta mengadakan pertemuan
bersama beberapa tokoh Alumni tepatnya di Kantor Bpk. Abdullah
Fatah dan dihadiri beberapa tokoh yang lain termasuk Bpk. Rahim Syarif.
Beliau menyempatkan diri untuk hadir dan berbicara panjang lebar mengenai
keorganisasian. Beliau
memiliki nada bicara yang tegas, sehingga tergambar bagaimana masa-masa muda
beliau ketika tergabung dalam keorganisasian IKPB. Beliau juga membawa beberapa
arsip keorganisasian yang sempat diperlihatkan kepada penulis baik dalam bentuk
foto dan arsip-arsip yang lain. Dimasa tua beliau, dengan keterbatasan fisik
dan tenaga beliau masih mau dengan segenap kemampuannya memberikan masukan
kepada IKPB saat itu. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi para generasi muda
pelajar Belitung saat ini dan masa yang akan datang.
Kedua.
Bpk. Nazwar Chalidin Amar. Sipapun yang pernah
tergabung dalam organisasi IKPB Yogyakarta kurun waktu 1965
hingga kini pasti mengenal beliau. Posisi beliau sebagai sesepuh IKPB
Yogyakarta hingga kini belum tergantikan. Beliau juga mendirikan sebuah
perkumpulan masyarakat Belitung yang ada di Yogyakarta serta mengadakan
kegiatan rutin bulanan yang bertujuan mengumpulkan seluruh masyarakat Belitung
yang menetap di Yogyakarta. Ajang silaturahmi ini hingga kini masih tetap
berjalan dan IKPB dalam hal ini juga terlibat secara langsung walau secara keorganisasian
merupakan organisasi yang terpisah.
Konsen beliau terhadap IKPB hingga kini juga masih
tetap berlanjut, walau status beliau kini sebagai Alumni. Salah satu keputusan
beliau yang denganya para pelajar Belitung masih bisa mengenal IKPB dan bahkan
masuk dalam kepengurusan adalah ketika beliau membentuk 3 (tiga) tokoh yang
penulis sebutkan dalam sub kajian sebelumnya. Disamping itu sama seperti halnya Bpk. Rahim
Syarif, beliau juga memegang Arsip-arsip yang berkaitan dengan IKPB, mungkin
kini kita bisa mengakategorikannya sebagai data sejarah karena arsip-arsip ini
merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam organisasi IKPB dimasa lalu.
Penting untuk dicatat dan sebagai koreksi bagi
kepengurusan IKPB saat ini maupun yang akan datang. Penulis sendiri merasakan
bagaimana kesan pada saat pertama kali bergabung dalam organisasi pelajar
Belitung ini. Minimnya pengetahuan mengenai sejarah dan nilai-nilai yang
diusung oleh pendiri organisasi ini, membuat organisasi ini kini
seolah-olah berjalan tanpa tujuan yang jelas. Karenaya pemahaman kita terhadap
sejarah IKPB menjadi layak dan penting untuk di ketahui.
Dalam diskusi yang panjang bersama Pak Nazwar[83],
disinilah mulai adanya keinginan untuk menulis sejarah singkat mengenai IKPB.
Penulis menilai data-data awal yang beliau miliki dan pengalaman beliau selaku
saksi sejarah cukup memadai sehingga penulis semakin bersemangat untuk menyusun
tulisan ini sedikit demi sedikit. Sejarah mengenai IKPB memang tidak didapatkan
secara rinci dari kepengurusan IKPB sendiri bahkan hingga tulisan ini di susun,
semoga dengan adanya pengetahuan yang seadanya dari sejarah IKPB para pengurus
dapat menjalankan keorganisasian dengan baik dan sesuai dengan cita-cita para
pendiri IKPB dimasa lalu.
Bpk. Nazwar Chalidin Amar, dalam masa tua beliau
sampai saat ini selain tetap konsen dalam kaitannya dengan kepengurusan IKPB
juga memiliki perhatian pada pelajar yang ada di Yogyakarta. Beliau, dalam
beberapa hal langsung terlibat dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan para
pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta. Sebagai manusia dan kondisi jiwa yang
labil sering kali pelajar Belitung yang ada di Yogyakarta mengalami
permasalahan-permasalahan. Dalam hal ini sebagai sesepuh sekaligus orang tua beliau
tidak segan-segan dimintai bantuan oleh pelajar Belitung lebih-lebih para
pelajar yang tergabung dalam kepengurusan IKPB.
Kedua tokoh di atas merupakan beberapa contoh para
Alumni yang hingga kini tetap konsen terhadap IKPB. Penulis meyakini bahwa selain
dua tokoh di atas, masih ada tokoh-tokoh alumni yang tidak diketahui namanya
juga memiliki perasaan yang sama. Mereka sebagai saksi sejarah mengalami secara
langsung bagaimana
bentuk kebersamaan dan nilai yang kemudian terbangun dari adanya IKPB sebagai
wadah yang mengakomodir semangat para pelajar Belitung yang ada di tanah
rantau.
“Saat
ini mereka adalah sejarah dan kelak kita yang ada saat ini akan menjadi sejarah.”
Berangkat dari ungkapan diatas, sudah menjadi
keharusan bagi para pengurus IKPB saat ini untuk merenungkan sejarah apa yang
akan di tulis yang kelak bisa menjadi bacaan para generasi penerus pelajar
Belitung yang tergabung kepengurusan IKPB. Baik atau buruk adalah sebuah kriteria
penilaian yang kelak disandangkan
kepada kepengurusan saat ini oleh kepengurusan yang akan datang. Inilah
setidaknya makna yang ingin disampaikan Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya dengan
konsep yang biasa kita sebut dengan Asobiah. Sejarah dalam perjalanannya
laksana spiral, dia akan berputar. Saat ini kita sibuk dengan mengkaji masa
lalu dan kelak mereka akan sibuk mengkaji kita sebagai masa lalu.
B.
IKPB
Saat Ini
Waktu terus berjalan, sehingga banyak kalangan agamawan
menggambarkan waktu sebagai mahkluk yang senantiasa baru. Sebagai mahkluk yang
baru dan sekaligus tempat melekatnya setiap peristiwa dia tidak pernah kembali
dalam bentuk yang sama. IKPB kini telah berusia setengah abad lebih, usia yang
telah memasuki masa tua jika kita sandangkan usia itu pada manusia. Namun usia
tua ini semoga tidak sama seperti halnya
semangat yang ada di IKPB sendiri, dia harus tetap muda dan dan mampu menampung
seluruh aspirasi para pemuda Belitung yang kini semakin kompleks.
IKPB
cukup lama berdiri, kini pelajar Belitung sudah tidak lagi mengalami hambatan yang
berarti dalam bentuk pola komunikasi
dan interaksi, namun timbul permasalahan yang justru lebih intens dan perlu
dilakukan pengkajian yang lebih jauh perihal berbagai bentuk permasalahan yang
ada saat ini. Jika dulu para pendiri organisasi IPB dan KPB sebagai cikal bakal
IKPB didirikan berkat sulitnya komunikasi dan interaksi serta bertujuan
membangun kebersamaan akibat dua hal tersebut, maka kini yang terjadi justru
sebaliknya. Pola “network society”
yang menjadi jargon dari Conelly sebagai gambaran mudahnya pola kumunikasi dan
interaksi moderen berbanding terbalik dengan kecenderungan pelajar Belitung
saat ini.
Tidak bisa dikesampingkan begitu saja,
perkembangan sikap pelajar yang kini mengarah pada sisi individual[84]
sangat tampak terlebih-lebih terlihat ketika mereka masuk dalam kepengurusan
IKPB. Akibatnya banyak kesalah pahaman yang timbul dalam setiap kegiatan dalam
kepengurusan. Gejala ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga pada
cabang-cabang dari IKPB. Akibat sifat ini ada dua gejala yang biasanya terjadi.
Pertama, kegiatan yang hendak
dilakukan oleh kepengurusan menjadi terkendala karena adanya sebagian pengurus
maupun anggota yang kurang respect
terhadap kegiatan tersebut, kedua.
Justru dalam kepengurusan tersebut terjadi fakum dan sama sekali tidak ada
kegiatan selama masa kepengurusan. Hal ini hendaknya diantisipasi oleh seluruh
kepengurusan IKPB baik yang ada di pusat maupun cabang.
Harus dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai reduksi nilai moral yang terjadi pada kaum muda Belitung saat ini.
Perlu kembali mengumpulkan data-data dan terlibat secara langsung dengan unsur sosial
yang ada sebagai input
pembentuk pola pikir dan sifat kaum muda Belitung. Perlu diambil sebuah
tindakan yang tepat dalam menangani
masalah ini. Setidaknya sesegera mungkin solusi dan penanggulangan dalam bentuk
aktif menjadi fokus seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya tugas pemerintah,
guru dan kalangan agamawan, namun juga tugas dan sudah seharusnya menjadi
kesadaran kita semua.
1.
IKPB dan Kepengurusan
Hal yang sangat patut di syukuri, di balik segala kendala
yang ada IKPB tetap bertahan dan tetap eksis hingga kini. Bahkan kemudian, sentralisasi
tujuan utama pendidikan mulai bertambah sehingga IKPB pun mulai berkembang dan
menambah cabang-cabang baru. Adalah Semarang, Bogor, Palembang, Lampung, Bangka
dan Belitung yang telah menyematkan dirinya sebagi cabang-cabang IKPB yang
menandakan semakin berkembangnya organisasi ini.
Juga dengan kerja keras IKPB Pusat yang kini
bertempat di Jakarta dibawah pimpinan saudara Teguh Trinanda dan kawan-kawan[85],
akses dan informasi seputar IKPB akan dengan mudah kita dapatkan melalui media
E-Net sehingga dalam hal ini penulis sengaja tidak menuliskan secara rinci
mengenai struktur dan kepengurusan IKPB pusat yang ada di Jakarta. Selain itu,
beberapa Asrama IKPB juga turut menggunakan media ini dalam upaya penyebar
luasan informasi.[86]
2.
Kegiatan
Sebagai sebuah organisasi, IKPB dalam hal ini telah
banyak melakukan kegiatan-kegiatan baik yang berkaitan dengan upaya pengenalan
kepada publik mengenai seni dan budaya juga dalam bentuk olah raga yang juga
kerap kali diadakan oleh IKPB dibawah kepengurusan cabang. Tidak luput geliat
akademik juga mewarnai keorganisasian IKPB dengan diadakannya kegiatan bedah
buku, film dan talk show yang juga dilakukan oleh beberapa cabang dalam
kepengurusan IKPB.
Data yang dapat dukumpulkan oleh penulis, IKPB Cab
Yogyakarta pernah mengadakan Pentas Seni dan Budaya yang bertempat di Taman
Budaya Yogyakarta pada tahun 2009. Di bahwa kepemimpinan saudara Andi Fitrianto
(Basa Bakti 2008-2010). Atas inisiatif dari saudara Iqbal dan kawan-kawan.
Pentas ini juga berlanjut ke Belitung pada tahun yang sama.
IKPB Cabang Bandung juga acapkali mengadakan
kegiatan yang berkaitan dengan departemen olahraga. Perhelatan turnamen futsal
persahabatan misalnya, dalam kegiatan ini tentu saja melibatkan beberapa cabang
IKPB yang ada. Tercatat pada tahun 2010 dan 2012, IKPB Cabang Bandung
mengadakan kegiatan ini.
Beberapa kegiatan di atas hanyalah
sekelumit dari sekian banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh IKPB saat ini. Ini
bahkan belum termasuk agenda-agenda yang telah menjadi perencanaan IKPB baik pusat
maupun cabang. Lebih-lebih kegiatan-kegiatan dalam lingkup ke-asrama-an yang
juga memiliki ragam kegiatan. Namun setidaknya tulisan ini dapat digunakan
sebagai pengantar pemahaman kita seputar IKPB.
C.
Pemudaran
Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa
itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bawa nilai merupakan sesuatu
yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang disukai dan diinginkan , singkatnya nilai adalah sesatu yang baik. Konsep nilai sendiri dari
sisi sejarah dan mulai menjadi perdebatan yang hangat dan baru sejak pada kurun
waktu akhir abad ke-19. Namun secara implisit konsep nilai sudah ada sejak
Plato menempatkan ide “baik” paling atas atas gradasi ide-ide.[87]
Salah satu cara yang paling sering
digunakan dalam kaitannya dengan nilai adalah melakukan perbandingan dengan
fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada dan berlaku begitu saja, sedangkan nilai
adalah sesuatu yang mengikat atau menghimbau kita. setelah kita mengetahui apa
yang terjadi secara “begitu saja” kita dapat melakukan perbanding dan sehingga
didapatkan bentuk nilai dari hasil perbandingan tersebut.
Terlalu banyak konsepsi tentang
nilai dan untuk mnghindari kerancuan pemahaman kita akan berusaha untuk
menfokuskan pada satu kajian konsep nilai yang kita sebut dengan “nilai yang
berkaitan dengan tanggung Jawab kita.” nilai ini merupakan suatu nilai yang
berkaitan dengan tanggung jawab sebagai manusia, sehingga dalam konteks ini
kita bisa mengatakan bahwa bentuk laku dan tindakan yang menunjukkan nilai
adalah berasal dari manusia itu sendiri. Dengan mempertanggung Jawabkan bentuk
tindakan yang dilakukan kemudian akan terlahir pemahaman berkaitan dengan
kebaikan dan keburukan dari sudut pandang moral.
Lebih lanjut, Kant kemudian dalam hal ini memberikan
perbedaan dalam bentuk nilai moral yakni, imperatif hipotesis dan inperatif
kategoris. Bagi Kant setiap nilai moral selalu terkandung unsur imperatif
(perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan
imperatif hipotesis. Artinya kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai lain
maka kita harus menempuh jalan tertentu.[88]
Contoh, kalau ingin mejadi juara kelas, maka kita harus belajar dan seterusnya.
Terkait dengan IKPB konsep Kant mungkin dapat kita
gunakan sebagai gambaran bahwa nilai yang ada dalam IKPB secara keseluruhan
adalah berbentuk imperative kategoris. Kebersamaan misalnya sebagai salah satu
nilai universal yang diusung IKPB adalah bentuk imperative kategoris, selain
konsep nilai kebersamaan adalah bentuk “perintah” dia juga hendaknya
diusahakan.
Suatu nilai tidak akan terbentuk tanpa ada yang
membentuk, seorang anak tidak akan dapat tumbuh besar tanpa ada yang
mengurusnya. Demikian juga nilai
kebersamaan yang ada di IKPB, dia tidak dapat terwujud dan hanya akan menjadi
sebuah nilai yang semu tanpa adanya para pelajar Belitung yang tergabung dalam
IKPB yang mewujudkan. Jika suatu nilai bersifat universal maka berarti dia
harus berlaku dimapun dan kapanpun, mustahil nilai universal hanya berlaku
secara parsial dan sepihak. Kebersamaan sebagai salah satu nilai yang diusung
oleh IKPB adalah nilai universal yang berlaku dimanapun dan kapanpun. Para
pelajar dengan memahami nilai-nilai yang diusung oleh IKPB pada hakikatnya
dilatih untuk mampu bersikap dalam menyerap
nilai, sehingga ketika sekembalinya ke tanah kelahiran atau menetap disuatu
daerah yang bukan Belitung dia mampu mengusung nilai-nilai universal ini
sehingga tidak terlalu banyak menghadapi kesulitan.
Jika pada kurun waktu 1950-an awal kaum muda Belitung
murni mengandalkan pendidikan sebagai alat bantu untuk memahami realitas dan
dalam upaya pembentukan nilai, kaum muda Belitung pasca berdirinya IPB dan KPB
dan kemudian berfusi mejadi IKPB lebih terbantu dalam upaya pemahaman tersebut.
Disinilah letak harapan yang hendak dicapai baik oleh para pendiri,
senior-senior dan juga pengurus IKPB saat ini. IKPB tidaklah hanya sebuah nama,
namun IKPB adalah wadah para pelajar. Didalamnya tidak ada nilai materi yang
dihasilkan, karena IKPB adalah organisasi pembelajaran dan wadah mengembangkan
diri. Jika ada sebagian anggota yang berharap bahwa dengan bergabung ke dalam
kepengurusan IKPB maka akan terjamin secara materi, maka siap-siaplah untuk
kecewa.
D.
Refleksi
Nilai ke-IKPB-an dan Manfaatnya
IKPB
adalah organisasi yang memiliki tata nilai dengan tujuan mengarahkan para pelajar
Belitung yang ada di tanah rantau untuk tetap saling berkomunikasi dan
membangun kebersamaan. Pengenalan sejarah IKPB masa lalu bukanlah bertujuan
menimbulkan rasa pengkultusan terhadap kebaikan-kebaikan yang ada dimasa lalu,
namun setidak nya dengan mengetahui bagaimana usaha yang dilakukan oleh para
pendiri dan pengurus IKPB saat ini mendapatkan gambaran kemana tujuan
organisasi ini diarahkan.
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, mungkin kepengurusan IKPB saat ini memiliki
permasalahan yang berbeda dengan kepengurusan IKPB masa awal. Jika dulu sulit
sarana dan prasarana serta sistem komunikasi yang belum memadai, sekarang para
pengurus IKPB cukup tercukupi dalam bentuk sarana dan sistem komunikasi juga
sudah dapat dilakukan dengan banyak cara terutama dengan mengunakan alat
komunikasi modern.
Setiap
masa pasti memiliki kendala yang berbeda. Jika kita amati, permasalahan yang
dihadapi oleh IKPB pada saat ini justru lebih komplek dan derajat kesulitannya
juga berbeda, selain menghadapi faktor sosial masyarakat yang sudah mengalami
reduksi moral yang akut terutama di Belitung sebagai tanah kelahiran sehingga
output yang dihasilkan juga sebanding dengan keadaan sosial tersebut, para
pelajar juga di tuntut untuk mampu menyumbangkan pikiran dan tenaga sebagai
bentuk perhatian terhadap Belitung sebagai tanah kelahiran.
Sudah
menjadi tanggung jawab seluruh kepengurusan dalam IKPB baik pusat maupun cabang
untuk mendidik dan memberikan suntikan pemahaman nilai kepada para pelajar yang
baru masuk ke pengurusan IKPB. Mereka sebagai output sosial “Belitung”, seperti
yang telah disinggung sebelumnya, mungkin dalam pemberian pemahaman akan lebih
mengalami kesulitan. Namun disinilah letak tantangan bagi para pengurus IKPB
masa kini dan yang akan datang. Bahwa melakukan perubahan tidak selalu mudah,
perlu adanya usaha dan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran.
IKPB,
pada dasarnya juga berpeluang besar dalam menciptakan suatu tata nilai. Hal ini
dimungkinkan karena IKPB selain sebagai organisasi pelajar Belitung, juga
merupakan komunitas yang di anggotai oleh pelajar yang berasal dari satu daerah
yang memiliki bahasa, kultur dan semangat yang sama. Tata nilai sendiri
bukanlah hal yang kaku dan harus ditunggu sehingga kita sebagai manusia
terkesan pasrah. Dia bisa dibentuk, dia bisa diformulasikan dan bentukan serta
formulasi ini tentu saja tidak boleh terlepas dari nilai-nilai universal.
Salah satu pola pikir yang hendaknya menjadi
budaya bagi para pelajar Belitung yang tergabung dalam kepengurusan IKPB
adalah, pola pikir yang bernuansa intelektual religius.
Ungkapan ini bukanlah sekedar harapan semata, namun setidaknya ini adalah
tujuan yang menjadi landasan keberlangsungan IKPB. Penulis menyadari bahwa
untuk mewujudkan harapan tersebut bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan sebuah
kerja keras para pelajar untuk memposisikan dirinya pada pergulatan paradigm
yang semakin kompleks, seperti halnya yang terjadi pada saat ini.
Pola
pikir yang telah mengakar sebelumnya yang merupakan bawaan, dimana pola pikir
itu adalah bentukan dari sosial kultural masyarakat Belitung, seperti hal yang
telah disinggung sebelumnya (mengalami reduksi nilai moral). Pekerjaan ini
harus dimulai dengan menumbuhkan rasa empati terhadap kemampuan diri dan
realitas asal. Menjadikan diri sebagai mentalitas yang haus akan data-data,
fakta empiris sehingga dengannya greget keiingintahuan dalam berorganisasi
semakin besar dan berupaya untuk merealisasikan semua pengalaman dalam
berorganisasi pasca pelaksanaan studi di tanah rantau.
Terdapat
keunikan dalam setiap kajian akademik yang berkembang baru-baru ini. Anjuran
untuk melihat kembali tokoh-tokoh klasik sebagai dari sejarah sangat ditonjolkan. Hal ini bertujuan untuk memelihara kesinambungan mata
rantai khazanah keilmuan. IKPB dalam hal ini, dalam bentuk peristiwa sejarah
yang berusia setengah abad lebih, memang bisa dibaca dengan singkat. Namun
dalam pemahaman nilai sekaligus menerapkannya butuh seumur hidup dan itu pun
belum tentu dapat dilaksanakan secara keseluruhan.
Bahasa dan budaya yang kita
dapatkan selama proses pendidikan sekaligus selama tergabung dalam kepengurusan
IKPB hendaknya mampu untuk menjadi tali penghubung antara Belitung sebagai
daerah yang berkembang dan daerah-daerah di tanah air lainnya yang sekiranya
pada sisi tertentu lebih dari apa yang daerah kita miliki. Mungkin kita sering
terperanjak ketika mendengarkan betapa luasnya pengetahuan masyarakat dari
daerah lain tentang khazanah budaya dan sejarah yang ada di daerahnya, sebuah
pengetahuan yang penulis yakin sangat minim dimiliki oleh pelajar Belitung yang
bahkan saat ini berstatus sebagai mahasiswa dan bahkan sarjana. Hal ini
disebabkan karena minimnya data mengenai sejarah mengenai Belitung baik yang
berkaitan dengan budaya, Agama dan sosial kultural lainnya.
Disinilah
letak kompleksitas tugas yang diemban oleh IKPB. Namun demikian, tugas-tugas
yang ada hendaknya tidak menjadi beban bagi para pelajar dalam menjalankan aktivitas
studinya. IKPB adalah organisasi yang mengusung nilai kebersamaan, kesulitan
satu anggota akan dirasakan oleh anggota yang lainnya. Hal ini terbukti dengan
adanya tindakan nyata dari IKPB dalam melakukan pengumpulan dana bagi
teman-teman yang sedang mengalami musibah. Diharapkan hal-hal seperti ini tetap
dipertahankan dan ditelurkan kepada generasi-generasi penerus IKPB.
KEPUSTAKAAN
Buku:
Abdullah
Amin dkk, Islamic Studies Dalam Paradigm
Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), Yogyakarta : SUKA Press, 2007.
Abdullah
Amin, Studi Agama Normativitas atau
Historositas ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Bertens
K., Etika, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
BPS
Kab Belitung, Belitung Dalam Angka, Belitung
: BPS Kab Belitung, 2006.
Castello
Manuel, The Power of Identity, Oxford:
Blackwell Publishing, 2004.
Chalmers, A.F, , Apa
itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terj: Hasta Mitra, What is
this thing called Science?, Jakarta:
Penerbit Hasta Mitra,
1983.
Engkoswara,
Administrasi Pendidikan, Badung:
Alfabeta, 2010.
Ensiklopedi
Indonesia, Jakarta 1980,
jilid II, hlm. 868.
Harris
William, Heraclitus The Complete
Fragments, Middlebury College, 1994.
Lakatos Imre, “Science
and Pseudoscience”, dalam Philosophy
of Science: The Central Issues, ed.: Martin Curd & J.A.Cover,
W.W.Norton & Company, New York. 1998.
p. 21.
M.
Herujito Yayat, Dasar-Dasar Manajemen,
Jakarta: PT. Grasindo, 2006.
Rahman
Fazlur, Islam, Bandung : Pustaka,
2003.
Samsuddin,
Metodologi Sejarah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
Sitompul
Agussalim, Usaha-usaha Mendirikan Negara
Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Nusantara, Jakarta : CV Misaka Galiza,
2008.
Studi Kelayakan Tanah
Untuk Pemanfaatan Tanaman Pangan dan Perkebunan Di Daerah Tingkat II Kabupaten
Belitung, Yogyakarta : Fakultas Kehutanan UGM,
1983.
Supardan
Dadang, Pendidikan Sejarah, dalam, Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan, Bandung : PT. Imperial Bakti Utama, 2007.
Tafsir
Ahmad, Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Marwan Sarijo (ed), Mereka Berbicara pendidikan Islam Sebuah
bunga Rampai, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009.
World
Council of Churches, Alternative
Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document.
Geneva: WCC, 2006.
Berkas dan wawancara :
Bpk.
Nazwar Chalidin Amar
Bpk.
Sulaiman Razak (Alm)
Saudara
Ja’far Usman
Saudara
Subardi Thalib
[1] Immanuel Kant
dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant,
seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna
Regina Kant. Dalam perjalanan karir kehidupannya Kant dikenal sebagai filsuf
yang memiliki pemikiran brilian pada zamannya hingga kini. Dalam bukunya ini ia
“membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui
manusia” hanyalah potongan-potongan dari kebenaran dan bukan kebenaran itu
sendiri.
[2] Usaha ini sudah
barang tentu tetap dengan keyakinan penulis dalam awal kata pengantar ini bahwa
tetap tidak akan mampu menggambarkan keseluruhan fenomena yang terjadi.
[3] Data
sejarah mencatat bahwa keberadaan etnis Tionghua di Belitung sudah ada sejak
abad 19 awal dimana keahlian mereka dalam mengolah timah dimanfatkan oleh
Belanda.
[4] Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
[5] Freud yang menyatakan bahwa manusia
secara alami telah memiliki kecendrungan untuk berbuat jahat (thanatos), sekaligus secara alami
menyadari bahwa kekerasan (perbuatan jahat) hanyalah akan menimbulkan kekerasan
(perbuatan jahat) yang lebih tinggi intensitasnya. Dari tesis Freud tersebut dapat di maknai bahwa
melakukan tindakan kekerasan merupakan masalah psikologis dimana adakalanya
manusia tidak mampu membawa dirinya secara normal yang bisa di akibatkan oleh
banyak faktor seperti ketidak biasaan manusia mengatasi konflik dalam kehidupan,
ketidak sanggupan meng hadapi tekanan depresif-refresif sehingga memunculkan
sifat frustasi yang akut.
[6] BPS Kab Belitung, Belitung Dalam Angka, (Belitung : BPS
Kab Belitung, 2006), hlm 5.
[7] Studi Kelayakan Tanah Untuk Pemanfaatan Tanaman Pangan dan Perkebunan
Di Daerah Tingkat II Kabupaten Belitung, (Yogyakarta : Fakultas Kehutanan
UGM, 1983), hlm. 21.
[8] Bercabang-cabang.
[9] Ibid, hlm 4.
[10] Guna memperjelas
konsep A.A. Fyzee ini kami akan
memberikan analogi yang dapat menggambarkan pembentukan psikologis masyarakat
Belitung yang terbangun secara alamiah. Dalam realitas bahkan hingga sat ini,
jika kita amati letak lokasi rumah satu kepala keluarga dengan kepala keluarga
lainnya memiliki jarak yang cukup jauh (5-10 m), keadaan ini berbanding terbalik
dengan keadaan pemukiman yang ada di pulau Jawa khususnya daearah-daerah yang
cukup lama di duduki oleh Belanda seperti Batavia (Jakarta) dan Yogyakarta.
Pola interaksi yang terjadi dengan kerapatan pemukiman berdifat kontinue dan
tak terputus sehingga timbul adanya ikatan yang erat antar satu kepala keluarga
dengan kepala keluarga yang lain. Kedekatan ini pada akhirnya akan berkelindan
sifat santun dan lebut antar warga. Sedangkan bentuk psikologis yang terbangun
pada masyarakat Belitung adalah sebaliknya, jarak pemukiman satu kepala
keluarga dengan kepala keluarga yang lain membentuk kehidupan yang mandiri dan
tegas. Semisal seorang ibu pada malam hari kehabisan korek api untuk menyalakan
pelita, mau tidak mau ibu tersebut harus meminjam kepada tetangga dimana dalam
perjalanannya harus melewati area yang gelap (karena belum adanya lampu pada
saat itu), kondsi ini tanpa sadar akan membentuk diri ibu tersebut menjadi
tegas dan pemberani. Sifat inilah yang kemudian turun temurun dibawa hingga
saat ini.
[11] Istilah yang tepat
sebenarnya tidak dapat karena melihat
kondisi tanah yang ada sehingga dalam praktek kesehariannya masyarakat lebih
menitik beratkan pada konsep ladang (baca : tegalan-Penulis).
[12]
Istilah lebih tepatnya adalah agroforestry atau jika di indonesiakan menjadi wanatani arti
sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini telah
dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad,
misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah
(pekarangan) dan padang penggembalaan. Namun dalam konsep Fyzee makna ini lebih dipersempit.
[13] Dalam konsep A.A. Fyzee, masyarakat dengan mata
pencaharian pertanian yang menggunakan sistem sawah akan memiliki
ketergantungan kepada pemerintah karena pengaturan irigasi berada sepenuhnya di
tangan pemerinta (pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda). Konsep ini memang
sengaja di gunakan oleh pemerintah guna mengatur kondisi psikologis agar lebih
penurut dan terkesan menerima keadaan.
[14]
Dukun dalam kenyatannya hanya dianggap sebagai tokoh yang memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi dengan yang gaib dan juga pemilik kekuatan sakti. serta
hanya dibutuhkan jika seseorang atau individu tersebut terdesak dalam
hubungannya dengan dua hal yang menjadi keahlian dari Dukun. Dengan demikian
peran dukun disini terbatasi dengan beberapa kriteria yang menjadi definisi
awal yang telah disebutkan. Namun tidak demikian halnya anggapan masyarakat
Melayu Belitung dalam menyikapi kata tersebut. Kata Dukun yang melekat pada
kalimat Dukun Kampung justru tidak hanya memberikan kontribusi dalam perubahan
realitas masyarakt, Namun juga sekaligus berubah menjadi sosok yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Melayu Belitung. Dukun Kampung yang juga merangkap
sebagai pemangku adat (dalam bahasa Melayu Belitung biasa dikenal dengan
sebutan Dukun Kampong) bagi
masyarakat Melayu Belitung adalah simbol pelestari keseimbangan antara
kehidupan jasmani (materi) dan Rohani
(Immateri), karena Dukun Kampong
tidak hanya menjaga keamanan lingkungan kampong dari hal-hal yang terlihat
saja, namun juga sekaligus dari hal yang bersifat lebih sepiritual. Hal ini
berlangsung tidak hanya sejak era 1950 namun berlangsung lama dan hingga saat
ini Dukun Kampung tetap menjadi bagian dari masyarakat. Mengenai arti kata
Dukun dalam makna umum Lihat, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta 1980, jilid II, hlm. 868.
[15] Selengkapnya baca
konsep sejarawan A.A. Fyzee mengenai
sejarah dan perkembangan peradaban Islam. Walau konsep yang diungkap berkaitan
dengan sejarah dan peradaban Islam namun nilai yang di bangun dari konsep
tersebut juga mencakup akibat dan pengaruh dari masing-masing konsep pada
kondisi sosio kultural dan psikologis masyarakat.
[16]
Religiusitas berasal dari bahasa latin “relegare” yang berarti mengikat secara
erat atau ikatan kebersamaan. Religiusitas adalah sebuah ekspresi Spiritual
seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai serta hukum yang
berlaku dalambentuk ritual.
[17] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historositas ?,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004). hlm. 216.
[18] Penulis sengaja memberikan
batasan waktu, karena pada era tahun 1950 merupakan starting point embrio
terbentuknya IKPB yang dicetuskan oleh ebebrapa tokoh yang juga akan masuk
dalam pembahasan dalam bagian kedua dari tulisan ini. Hal ini penting untuk
disampaikan agar tidak terjadi pengkaburan nilai. Metode yang sama juga biasa
dilakukan dalam penulisa sejarah, semisal menggambarkan sejarah peradaban Islam
dimulai sejak Hijrahnya Nabi Kemadinah oleh beberapa penulis dan bukan dari
sejak dilahirkannya beliau. Atau metode penulisan Injil yang dimulai dari
kematian Yesus dan bukan dari Kelahiran Yesus. Sekiranya contoh-contoh ini
cukup memberikan gambaran.
[19] Hendaknya dibedakan
antara konsepsi tasawuf dan pemahaman mistik yang menyebar dalam pemahaman
masyarakat Belitung. hal ini penting guna mencegah adanya usaha-usaha penyaman
makna secara wujud dan sifatnya.
[20] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Pustaka, 2003), hlm.
354.
[21] Memiliki nama asli
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981). HAMKA merupakan singkatan dari
nama tersebut. HAMKA lahir di Maninjau, Tanjung
Raya,
Kabupaten
Agam,
Sumatera
Barat.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan
menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang
Minangkabau
yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa
Arab
yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
[22] Kini telah
bertrasformasi menjadi UIN sejak tahun 2004. Selengkapnya Lihat, Amin Abdullah
dkk, Islamic Studies Dalam Paradigm
Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta : SUKA Press, 2007).
[23] Agussalim Sitompul, Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam dan
Pelaksanaan Syariat Islam di Nusantara, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 2008),
hlm. 33.
[24] Jika kita bandingkan
dengan sistem pondok yang dibangun di pulau Jawa pada kurun waktu itu tentu
saja akan sangat berbeda dengan sistem pendidikan keagamaan yang didapat pemuda
Belitung. Penulis sendiri mengalami secara langsung perbedaan selama mengenyam
pengetahuan agama di Belitung dan di pulau Jawa memiliki konsep dan cirri yang
berbeda. Setidak nya perbedaan konsep dan ciri ini akan berkelindan pada
perbedaan bentukan kepribadian pada diri. Namun kini ada perkembangan yang
signifikan dengan adanya sarana-sarana yang memadai dan sumber-sumber tempat
pembelajaran niali-nilai agama di Belitung. Semoga dapat dipertahankan dan
bahkan dikembangkan, hanya saja jangan sampai sarana-sarana yang ada justru
melahirkan pemahaman-pemahaman Islam yang eksklusif. Hal ini menjadi penting
dan tidak boleh di abaikan begitu saja oleh Pemerintah Daerah Belitung.
[25] Dari hasil
penulusuran penulis, faktor inilah yang menjadi sebab mengapa banyak para
pemuda Belitung pada kurun waktu 1950-an memilih untuk meneruskan pendidikan ke
Yogyakarta maupun Ke Padang Pandang (Sumatra Barat). Meneruskan pendidikan
tidaklah sama dalam pandangan kita saat ini (meneruskan pendidikan berarti
kuliah). Namun pada waktu itu,
meneruskan pendidikan berarti meneruskan jenjang pendidikan ke SLTA
karena pada saat itu di Belitung belum berdiri SLTA. Sehingga pemuda Belitung
pada kurun tahun 1950-an yang memilih pulau Jawa sebagian meneruskan jenjang
pendidikan di Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.
[26] Setidaknya semangat
ini yang diusung oleh nabi, sebagai low
giver beliau tidak hanya sekedar menyampaikan konsep semata namun juga
memberikan contoh dalam bentuk praktek keseharian agar orang-orang yang berada
disekitar beliau dapat melihat secara langsung bagaimana bentuk penerapan
konsep dan tata nilai yang ada, perlahan-lahan terbangun dengan sendirinya.
[27] Ernest André Gellner (9 Desember 1925-5 November
1995) adalah seorang filsuf Inggris-Ceko dan antropolog
sosial,
yang digambarkan oleh The Daily Telegraph ketika dia meninggal sebagai
salah satu intelektual dunia paling berpengaruh.
[28] Memiliki arti “modal
nekat”, biasa kata ini merupakan pencitraan terhadap sosok yang sama sekali
tidak memiliki modal apapun namun tetap melakukan sesuatu di luar rencana dan
perkiraannya.
[29] Beliau lulus SD pada
tahun 2000 bahkan bisa dikatakan baru-baru ini dan bukan pada era tahun
1950-an. SMP dan SLTA pada tahun beliau lulus SD sudah ada di Belitung. Namun
karena keterbatasan kedua orang tua, beliau harus ke pulau Jawa untuk
melanjutkan jenjang pendidikan.
[30] Heraclitus adalah seorang filsuf yang
tidak tergolong mazhab apapun. Di dalam tulisan-tulisannya,ia justru mengkritik
dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh terkenal, seperti Homerus, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan
Hekataios.
Meskipun ia berbalik dari ajaran filsafat yang umum pada zamannya, namun bukan
berarti ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf itu. Heraclitus diketahui menulis satu
buku, namun telah hilang. Yang tersimpan hingga kini hanya 130 fragmen yang
terdiri dari pepatah-pepatah pendek yang seringkali tidak jelas artinya.
Pemikiran filsafatnya memang tidak mudah dimengerti sehingga ia dijuluki
"si gelap" (dalam bahasa Inggris the
obscure). Untuk mengetahui bagaimana konsep dan pemikiran Heraclitus Lihat,
William Harris, Heraclitus The Complete
Fragments, Middlebury College, 1994.
[31] Istilah “network society” menunjuk pada format baru
masyarakat yang disebabkan oleh revolusi teknologi informasi dan
restrukturisasi kapitalisme. Format baru masyarakat ini dicirikan antara
lain oleh globalisasi ragam aktivitas
ekonomi dan transformasi pondasi-pondasi kehidupan material, ruang dan waktu.
Lihat: Manuel Castello, The Power of
Identity (Oxford: Blackwell Publishing, 2004).
[32] Krisis ekonomi yang melanda
dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah
konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme. Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal
swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber
daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan
kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga pemerintahan nasional tidak berdaya
melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah
sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan,
kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang. World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples
and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006, p. 13.
[33] Ahmad Tafsir,
Pendidikan Untuk Masa Depan, dalam Marwan Sarijo (ed), Mereka Berbicara pendidikan Islam Sebuah bunga Rampai, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2009). hlm. 30.
[34] Di Indonesia wacana
tentang konsep integrasi keilmuan agama, sosial dan science mendapat momentum
yang tepat sekitar tahun 2000-an, bersamaan dengan konversi PTAI/IAIN menjadi
UIN di beberapa tempat di tanah air. Bahkan sebuah lembaga independen di
Jakarta. Center For Islamic Philosophical
Studies and information (CIPSI) dengan lantang menyuarakan akan pentingnya
membangkitkan (kembali) sains Islam, yang salah satunya melalui jalur
pendidikan agama Islam. Lihat, Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah
Antologi), (Yogyakarta : SUKA Press, 2007), hlm.205.
[35] Aristoteles (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato. Ia menulis berbagai
subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi
seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
[36] John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal
28
Oktober
1704 pada umur 72 tahun)
adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah
satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam
bidang filsafat politik, Locke juga dikenal
sebagai filsuf negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac
Newton,
Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan.
[37] Paulo Freire (lahir di Recife, Brasil 19
September
1921 - meninggal di Sao
Paulo,
Brasil 2 Mei 1997) adalah seorang tokoh
pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di
dunia. Sumbangan pemikirannya dalam dunia pendidikan adalah berkaitan tentang
filsafat pendidikan. Ia memberikan tesis bahwa konsep pendidkan yang kita
dapatkan bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis.
Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat
dibaca sebagai perluasan dari atau Jawaban terhadap buku Frantz
Fanon,
The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan
yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan
modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan
semata-mata perluasan budaya para kolonis).
[38] Konsep ini berusaha
untuk menggambarkan sumber dari segala sesuatu. Perdebata awal yang berkaitan
dengan Being (wujudiyah), adalah hal
yang lazim terjadi dalam dunia filsafat. Setidaknya ini terus berlangsung
hingga saat ini. Kesadaran ini kembali di kuat oleh Heidegger (1889-1876) denga
menulis tesis yang cukup tebal yang berjudul Being and Time (Jerman : Sein und Zeit, 1927).
[39] Istilah “sejarah” berasal dari bahasa
Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca” syajarah), yang emiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon
kayu” di sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang
sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada
pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata
“sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga”,
”asal-usul” atau ”silsilah”. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara
kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah
tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang
seseorang atau kejadian. Lihat, Samsuddin, Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 2.
[40] Dadang Supardan,
Pendidikan Sejarah, dalam, Ilmu dan
Aplikasi Pendidikan, (Bandung : PT. Imperial Bakti Utama, 2007). hlm. 345.
[41] Samsuddin, Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 78.
[42] Data penulis Dapatkan
dari Bapak Nazwar Chalidin Amar (sesepuh IKPB Cabang Yogyakarta sekaligus ketua
PMB Yogyakarta) sebagai salah satu saksi sejarah. Selanjutnya setiap data yang
penulis dapatkan dari sumber akan di tulis dalam format “Sumber : Bapak Nazwar
Chalidin Amar”.
[43] Jika melihat latar
belakang keluarga, dua tokoh yang kami sebutkan pertama meiliki latar belakang
keluarga yang sama dalam masalah mata pencaharian yakni sebagai karyawan PT.
Timah walau dalam jajaran kepangkatan ada perbedaan. Sedangkan tokoh yang
terakhir berasal dari latar belakang pedagang. Terkait dengan keadaan dunia
pendidikan kurun waktu 1950-an telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini
pada Bagian Kedua (Spirit Perjuangan
dan Pembebasan kaum Muda Belitung).
[44] Orang tua beliau
bernama Bpk. Abd. Hamid yang biasa akrab disapa (Kek cong) beliau juga memiliki
seorang adik bernama Abdullah Sani Hamid yang kemudian juga memiliki adil yang
sangat besar dalam IKPB.
[45] Di kemudian hari
Belitung setidaknya kemudian banyak melahirkan tokoh-tokoh yang brilian dalam
bidang akademik. Sengaja penulis tidak merinci secara keseluruhan agar alur
perjalanan sejarah tidak rancu.
[46] Sebuah istilah yang
dapat bermakna penegasan “harus diberikan contoh”.
[48] Masa itu tidak
sepetihalnya saat ini, dalam pola “network
society” dalam bahasa Castello yang di tandai dengan adanya kemudahan dari
bentuk sistem informasi dan komunikasi.
[49] Penulis sengaja
menggunakan istilah secara kenamaan
karena pada dasarnya ruh dari kedua oraganisasi tersebut masi tetap ada dengan
adanya IKPB.
[50]
Sejarah mengenai alasan mengapa meneruskan jenjang pendidikan masih sebatas pada
tingakat SLTA sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya dalam tulisan ini.
[51] Data
ini penulis dapatkan dari Bpk. Sulaiman Razak (anggota IKPB angkatan tahun
1985), dalam bentuk tulisan singkat yang arsipnya masih disimpan oleh Bapak
Nazwar Chalidin Amar hingga saat ini. Selanjutnya setiap data yang penulis
dapatkan dari sumber akan di tulis dalam format “Sumber : Bpk. Sulaiman Razak”
[52]
Adalah atas inisitif Bpk. A. Kiram dan dan Bpk. Harun Smith yang saat itu
berada di daerah Ciomas Jakarta (pada kurun waktu 1950-an daerah ini masi
berbentuk tanah lapang) untuk membuat sebuah wadah bagi para pelajar Belitung
yang ada di tanah rantau. Sumber : Bpk. Sulaiman Razak.
[54] Dari data yang masih
bisa diselamatkan, tidak disebutkan secara rinci nama-nama yang masuk dalam
keanggotaan KPB.
[55] Sumber : Bpk.
Sulaiman Razak.
[56] Dikatakan cikal bakal
hendaknya tidak dimaknai dalam artian fisik, karena faktanya tempat Asrama pada
kurun waktu itu berbeda dengan letak asrama pada saat ini. Namun sekiranya,
makna cikal bakal ini lebih diartikan sebagai warisan bentuk nilai yang hingga
kini pelajar Belitung merasakan buah dari semangat dan kerja keras pelajar
Belitung yang tergabung dalam KPB generasi pertama.
[57] Pemakaian istilah
konferensi merupkan ruh dari KAA (konferensi Asia-Afrika) yang juga
dilaksanakan pada tahun yang sama.
[58] MPB adalah singkatan
dari Medan Pertemuan Buruh. Gedung ini dibangun oleh Perusahaan Timah sebagai
sarana hiburan para pegawai timah biasa. Hal ini dapat dibedakan dengan gedung
yang disediakan dengan pegawai timah staf yang biasa di sebut dengan Wisma Ria.
Di dalam gedung MPB ini disediakan sarana seperti meja bilyard, pemutaran filem yang diadakan pada saat even tertentu dan
took-toko yang menjual kebutuhan para buruh yang bekerja di Perusahaan Timah.
[62] Kedua tokoh ini
adalah para pelajar Belitung yang penulis masukkan sebagai pelajar Belitung
generasi pertama yang melahirkan berdirinya suatu wadah organiasi untuk
mengatasi sulitnya pola interaksi dan komunikasi pelajar Belitung yang ada di
Jakarta dan bandung. Berangkat dari ide kedua tokoh ini akhirnya berdirilah IPB
yang berpusat di Jakarta dan Bandung sebagai salah satu Cabang pada kurun waktu
1952.
[63] Lakatos
(1922-1974 M) dilahirkan Lipschitz di Debrecen, Hungarian. menerima gelar
sarjana di bidang matematika, Fisika, dan filsafat dari Universitas Debrecen
pada tahun 1944. Dalam perjalanana karirnya kemudian memilih bergabung dengan
komunis selama perang dunia kedua yang kemudian mengalami krisis keyakinan diri
dalam argumentasi pemikiran ketika dipenjara selama tiga (3) tahun (1950-1953).
[64] Ibid, hlm 85.
[65] Chalmers,
A.F, , Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?,
Terj: Hasta Mitra, What is this thing called Science?, (Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983). Hlm. 84-85.
[66] Modus
tolendo tolens atau
menidakkan sebab berarti menidakkan akibat dan Modus ponendo tolens atau mengiakan sebab berarti mengiakan akibat.
[67] Ide `heuristik negatif
'dari program penelitian ilmiah merasionalisasi
konvensionalisme klasik hingga batas tertentu. Sisi rasional kami mungkin
dapat memilih untuk tidak mengizinkan “sanggahan-sanggahan” guna menyampaikan
kemungkinan kesalahan ke “hard core” selama dikuatkan dengan data-data empiris
dari lingkaran pelindung yang juga mendukung hipotesa. Imre
Lakatos, “Science and Pseudoscience”,
dalam Philosophy of Science: The Central
Issues, ed.: Martin Curd & J.A.Cover, W.W.Norton & Company, New
York. 1998.
p. 21.
[68] Kata organisasi pada
dasarnya memiliki makna yang berbeda tergantung dari masing-masing tokoh yang
memberikan makna terhadap kata organisasi tersebut. Namun setidaknya dari beberapa
tokoh ini dapat disimpulkan bahwa organisasi secara umum memiliki makna,
kerjasama sekelompok orang, yang mempunyai struktur dan hubungan kerja yang
jelas serta mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara bersama. Lihat, Yayat
M. Herujito, Dasar-Dasar Manajemen,
(Jakarta: PT. Grasindo, 2006). hlm. 110.
[70] Engkoswara, Administrasi Pendidikan, (Badung:
Alfabeta, 2010). hlm.143.
[71] Ibid, hlm. 144.
[74] Perkataan hierarki
yang berasal dari istilah bahasa inggris dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai jenjang organisasi, jenjang manajemen. Adapun yang dimaksud
dengan jenjang organisasi adalah tingkat-tingkat satuan organiasi yang
didalamnya terdapat kepengrusan yang memiliki tugas dan wewenang tertentu
sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
[75] Yang tidak kalah
pentingnya adalah bahwa struktur organisasi sedapat mungkin memiliki kandungan
jumlah yang sederhana dalam tingkat manajemen, sehingga pola rantai perintah
dapat lebih mudah dilaksanakan. Engkoswara, Administrasi Pendidikan, (Badung:
Alfabeta, 2010). hlm.151.
[76] Perlu untuk
diketahui, permasalahan ini hanya terjadi di IKPB Jakarta dan tidak terjadi di
dua organisasi IKPB di daerah lainnya seperti Bandung dan Yogyakarta.
[77]
Masyarakat umum juga pada dasarnya dieperbolehkan untuk menikmati fasilitas
Pemerintah Daerah ini hanya saja sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
telah di tetapkan oleh kepengurusan Asrama yang sebelumnya di koordinasikan
kepada IKPB sebagai organisasi induk. Hal ini menjadi penting untuk diketahui
agar tidak ada kerancuan pemahaman. Bahkan hingga saat ini Asrama IKPB yang ada
di daerah manapun mempersilahkan masyarakat Belitung yang dalam perjalanan
untuk singgah beberapa hari guna beristirahat, hanya saja tetap terikat pada
peraturan dan ketetapan.
[78] Harus bayak
mengucapkan terima kasih kepada senior IKPB yang dalam masa-masa sulit ini
tetap bersedia meluangkan waktunya dalam menengahi permasalahan yang ada dalam
IKPB walaupun pada saat itu mereka tidak lagi berstatus sebagai anggota IKPB.
Adalah Bpk. Rahim Syarif dan teman-teman selaku alumni IKPB dan Bapak Nazwar
Chalidin Amar yang menyusun secara pribadi LPJ saudara husni Husein dengan alat
yang seadanya pada masa kurun waktu 1985 (terlampir).
[79] Meminjam istilah yang
digunakan Paul Feyerabend dalam bukunya Against Method and Science in
a Free Society. Bahwa kata anarki
berarti meniadakan sesuatu yang dianggap lebih dari yang lain. Hal ini di lanjutkan
dengan lahirnya konsep apa saja boleh “anything goes” yang paling terkenal
dalam konsepnya.
[80] Konferensi ini
dilakuakan dibelitung pada tahun 1996. Selang 9 tahun sejak saudara Taman Syah
diangkat menjadi ketua pada era 1987-an. Meminjam bahasa yang digunakan saudara
Ja’far Usman dlam selang waktu 9 tahun tersebut IKPB pada saat itu “mati suri”
sehingga harus dilakukan tindakan yang tepat dalam upaya meyelamatkan IKPB dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Sumber : Saudara Ja’far Usman dan Subardi
Thalib.
[83] Sapaan yang akrab
untuk beliau biasa diucapkan oleh para pelajar yang tergabung dalam
kepengurusan IKPB hingga saat ini. Pada tahun 2006 juga dengan andil besar Bpk
Nazwar Chalidin Amar IKPB Cabang Yogyakarta sempat mengadakan kegiatan reuni
Alumni IKPB Cabang Yogyakarta yang pada saat itu sempat dihadiri oleh
perwakilan Pucuk Pimpinan daerah Belitung dan Bpk. Wakil Gubernur Bangka
Belitung Bpk Suryadi Saman. (Foto Terlampir).
[84] Individualis
merupakan suatu falsafah yang mempunyai pandangan moral, politik atau sosial
yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung Jawab dan
kebebasan sendiri. Seorang individualis akan melanjutkan percapaian dan
kehendak pribadi. Mereka menentang campur tangan dari pihak luar seperti
masyarakat, negara dan segala badan atau komunitas yang lain. Oleh karena itu,
individualis menentang segala pendapat yang meletakkan kepentingan umum diatas
kepentingan pribadi. Falsafah ini juga kurang senang pada segala standard moral
yang dikenakan ke atas seseorang karena peraturan-peraturan itu menghalang
kebebasan seseorang. Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk
individual, maka terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan yang
lainnya.
[85] Penting untuk di
ketahui, penentuan posisi kepengurusan Pusat dalam organisasi IKPB terjadi saat
berlangsungnya Musyawarah Nasional (MUNAS). Tiap-tiap pelajar yang dinilai
aktif dan memiliki integritas serta kapasitas yang layak sebagai ketua, dan
kemudian dia terpilih, maka posisi pusat secara otomatis di tempatkan pada
letak tempat pelajar tersebut menempuh jenjang pendidikan.
[86] Salah satu alamat
yang bisa diakses adalah : ikpb-center.blogspot.com, twitter.com/PelajarBelitong,
asramabetiongyk.blogspot.com.
[87] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005). hlm. 139-140.
[88] Ibid, hlm. 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar